Karena X

Selvi Diana Paramitha
Chapter #5

Bianglala #5

Sepuluh hari sudah. Langit tidak selalu baik-baik sedangkan sedang musim kemarau, dimana hujan tidak akan tiba, langit tidak mendung dan akan banyak serangga. Namun pemikiran tersebut meleset, langit tidak pernah bicara kapan ia akan menurunkan hujan, memendungkan warnanya dan serangga tidak serta merta keluar dari persembunyiannya. 

Lalu apakah yang salah, teknologi yang digunakan untuk mengetahui perubahan cuaca, atau memang pengetahuan mengenai cuaca yang tidak diperbaharui, namun pawang hujan lebih dipercayai ketimbang ilmu pengetahuan tentang cuaca. Seharusnya Hito menggunakan pawang hujan bukan weather forecast, untuk memastikan tidak akan terjadi hujan. Akan tetapi bisa saja seorang pawang hujan sedang memindahkan hujannya sehingga bagian yang seharusnya tidak hujan menjadi hujan begitu pun sebaliknya.

Matahari terkadang memperlihatkan warnanya, namun bukan yang diinginkan. Ia memiliki warna yang banyak hingga kita tidak dapat menduganya, diluar dugaan diluar pengetahuan tentang warna. Terkadang hanya bercahaya putih, menguning menjadi merah lalu menjadi kuning kembali, perubahan memang tak pernah memberikan aba-aba. 

Awan begitu putih hingga birunya langit tampak terlihat namun ia hanya hanya sekejap lalu berubah warna, warna begitu banyak hingga gradasi tampak berbeda-beda membedakan warna adalah hal yang ku benci ucap Arifin.

Dengan cepat para kru kembali membereskan segala perlengkapan untuk pemotretan. Mereka gaduh kala hujan semakin deras, perisapan sia-sia dan tenaga terbuang percuma tentu hasil tidak akan ada. Wajah kesal dan putus asa tampak pada semua orang, termasuk Arifin, Hito dan Tari. 

Perjalanan menuju tempat pemotretan kali ini tidak mudah, jalan berliku serta medan yang cukup sulit karena bebatuan dan jalan yang terjal menuju lokasi. Raut wajah Hito selaku agensi tampak merah padam, ia mulai sering murung akhir-akhir ini karena gagal mendapatkan foto sesuai yang diinginkan. Tetapi ia harus marah pada siapa, semua orang tidak menyinginkannya.

Bukan hanya itu, ia mulai panik saat ada kru yang jatuh sakit, tiba-tiba harus kembali ke Jakarta karena ada urusan keluarga, walau ia sangat profesional tapi wajahnya tak bisa berbohong bahwa ia merasa gagal dalam proyek ini. Ia mengizinkan untuk cuti jika terjadi hal-hal yang benar-benar penting, dan ketika ada yang sakit ia membawa ke rumah sakit terdekat juga tak lupa memberi libur pada semua krunya.

Dari semua kru hanya Arifin dan Tari yang tidak menggunakan kesempatan tersebut untuk cuti, bukan tidak mau namun tidak ada jeda untuk keduanya. Mereka orang paling penting dalam pemotretan, model dan fotografer. 

Berbeda dengan Hito yang mulai putus asa, Arifin lebih santai dalam menanggapi situasi yang terjadi. Ia tidak pernah berpikir akan tenggat waktu, ia tidak pernah berpikir semua menjadi masalah, tidak pernah. Memang gila kata tersebut yang Hito ucapkan kala Arifin membuat seusatu dengan hujan yang dapat membuat wajah Hito dan semua kru berubah.

Ia dapat menangkap sisi lain dari hujan yang berada di pantai, menyuruh Tari menggunakan gaun panjang berwarna coklat tua yang sudah disedikan oleh bagian kostum dengan lengan terbuka, membiarkan gaun membasahi tubuhnya, dan riasan wajah hanya pada bibir. Dengan gerakan seolah berlari tanpa alas kaki, namun Tari berlari sungguhan penuh totalitas. Ditengah hujan ia berlari ke pantai.

Lagi. Tepuk tangan hadir di sana, mereka tentu basah kuyup namun semua kru kembali pada posisinya. Gagal membereskan segala perlengkalan, dan kembali melakukan pemotretan. Tanpa sadar mereka kembali kering, dan langit berganti bergradasi, bianglala ada di sana.

Tari tentu tidak keberatan, ia melakukan semua apa yang diperintahkan oleh Arifin dan kru yang lain. Walau ia harus basah sekujur tubuh, tersapu air laut dan terhembus angin kencang ia tetap melakukannya. Proyek paling totalitas yang pernah ia kerjakan, dan untuk kali ini ia tidak marah-marah, tidak juga mengeluh.

“Gila Tar lu gila!” ucap Hito pada Tari seusai pemotretan.

Tari hanya terdiam melihat hasil yang baru saja mereka dapatkan tanpa memedulikan Hito yang sedang bicara. Feni sibuk menggosok bagian belakang tubuh Tari agar hangat, tanpa disuruh. Baru saja bosnya melakukan pekerjaan yang menurutnya tidak wajar.

“Tapi lebih gila lu Fin! Punya ide dari mana lu foto begitu, jauh dari konsep yang udah kita bicarain.”

“Gue enggak peduli! Awas aja kalau bos gue kenapa-napa, kalian berdua yang harus tanggung jawa!” Tanpa ada yang mengajaknya bicara sontak mereka semua melihat ke arah Feni yang masih membaluri bosnya.

“Saya tanggung jawab Fen, kamu tenang saja. Enggak usah khawatir, saya janji ini yang terakhir Tari melakukannya.”

“Enggak apa-apa kali Fen, demi pekerjaan dan hasil yang bagus.”

Feni terdiam, ia tetap tidak setuju atas pemotretan hari ini. Walau hasil yang didapat memang bagus luar biasa diluar dugaan, dan foto paling dramatis yang pernah dilihat komentar Tari.

“Gue enggak bisa berkata apa-apa lagi sumpah kalian duet paling edan yang pernah gue temui.”

“Kan lu yang mempertemukan kita Hit! Lu bosnya jadi lu lebih edan.”

“Enggak gitu Tar, kalau enggak kalian yang lakuin enggak mungkin kejadian kayak begini. Sial gue malah ngasih harga dibawah hasil.”

“Masih bisa nego dong harusnya.”

“Ya semoga masih bisa Tar.”

“Lu nanti bagi-bagi ya, kalau dapat.”

“Pasti!”

“Yuk kita kembali ke vila!”

“Santai dulu lah Fin, sekarang kan udah cerah. Maen-maen dulu di pantai.”

Lihat selengkapnya