Karena X

Selvi Diana Paramitha
Chapter #6

Tanya - jawab terjadi #6

Dua hari sudah Tari berada di apartemennya, ia menunggu pak Jojo menjemput karena pak Jojo pun pulang kampung selama Tari pemotretan. Sedangkan Feni memilih pulang lebih cepat, keluarganya menunggu di rumah. Dua minggu bukan waktu sebentar untuk meninggalkan rumah, terlebih untuk bekerja, ia pun memilih menggunakan travel ketimbang menunggu supir pribadi Tari yang entah kapan menjemput. Tentu Tari tidak keberatan, bahkan sudah hal ini terjadi berkali-kali saat pak Jojo membutuhkan waktu untuk menjemput sedangkan Feni harus segera pulang, terkadang Tari merasa bersalah kala tidak bisa mengantar Feni sampai rumahnya. 

Ia masih dibayang-bayang pekerjaan yang baru saja ia lakukan. Melakukan sesi foto dengan layar pemandangan sering ia dapatkan tak jarang menyebutnya dengan model semesta, model yang menyatu dengan alam semesta karena gerakannya sangat natural. Namun kali ini berbeda.

Setiap pemotretan mempunyai kesannya sendiri, pengalamnnya dan juga pembelajarannya tidak pernah berjalan tanpa ada sesuatu yang berbeda yah minimal dengan kru yang berbeda. Tari hanya pelengkap kali ini, pelengkap yang harus totalitas bukan sebagai objek. Kemampuan dalam meliuk-liukan tubuhnya di depan kamera tidak digunakan, ia harus mengimprovisasi sesuai dengan objek yang ada dan tidak pernah sama.

Bukan hanya Tari, Mario pun sama ia sama sekali tidak menggunakan kemampuannya dalam merias wajah, saat memulas wajah Tari seketika hujan tiba dan hancurlah lukisannya dalam wajah namun itulah yang digunakan.

“Pekerjaan macam apa ini, gue disuruh ngelukis kayak anak kecil di wajah Tari, si Tari hujan-hujanan kayak anak kecil.” Keluh Mario pada Hito dan Arifin. Namun setelah foto selesai dan gambar tertera Mario sendiri yang menangis seperti anak kecil melihat hasil riasnya yang menjadi dramatis.

Ia baru melewati hal besar dalam hidup, menjadi berbeda dan lain. Tari tahu bahwa hasilnya nanti tidak akan menunjukan siapa dia seperti pada pemotretan biasanya, ia hanya akan jadi bayang-bayang pelengkap dan objek adalah alam semesta. Tidak akan ada namanya, orang tidak akan mengenal dirinya dan juga tidak peduli namun bila ia tidak ada dalam foto tersebut bersamanya foto tak akan hidup.

Hal lain yang membuatnya masih tak percaya yaitu pertemuannya dengan Arifin. Pertemuan dalam sebuah pekerjaan jauh dari bayang-bayangnya walau profesi mereka berdekatan berkaita berkaitan satu sama lain. Seharusnya pertemuan ini lebih dulu ada, setidaknya pada acara yang sama, namun entah mengapa tidak pernah.

Arifin tentu bukan satu-satunya laki-laki dalam hidup Tari, bukan yang terakhir namun yang pertama awal sebuah karir. Tari kemudian mencari-cari artikel tentang Arifin melalui jejering dunia maya, ia tergerak seolah harus menemukan sosoknya yang sekarang. Lalu Tari memulai dari mencari tahu karya-karyanya, jejak rekam karir, hingga kahidupan pribadi. Dalam pencarian artikel Tari pun bertanya-tanya, apakah ia pernah melakukan hal yang sama. Mencari sosok dirinya, atau sama sedang melakukannya.

Tari tidak bisa menyembunyikan ketakjubannya pada karya-karya Arifin setelah ia menemukan sebuah website memuat artikel tentang karyanya yang mendunia. Tak jarang ia pameran untuk karya-karya dan berkolaborasi bahkan pameran untuk karyanya sendiri. Ke mana aja gue selama ini gumamnya. Sebagai model ia hampir memiliki dunia yang sama dengan Arifin, yang tak lain harus berhadapan dengan sebuah benda bernama, kamera. Harusnya ia menemukan Arifin lebih dulu ketimbang harus bekerja sama baru kembali mengenalnya. 

Namun ia tidak serta merta tidak tahu sama sekali, ia hanya tidak mau tahu seolah otaknya memblok nama Arifin. Tentu namanya berseliweran, para model dan juga fotografer lain sering membicarakannya, namun ia memilih tidak mendengar dan membiarkan pembicaraan tersebut berlalu.

Tapi bagaimana Arifin bisa melakukannya, modal utama dari pekerjaan ini adalah indera penglihatan bernama mata, sedangkan ia baru saja mengungkapkan bahwa ia buta warna. Lalu Tari berinisiatif menelepon mas Dio untuk menanyakan tentang buta warna, satu-satunya orang yang bisa ia tanyai mengenai mata walau ia bukan dokter spesialis mata. 

“Mas … sibuk enggak?” Tanya Tari diujung gawai. 

“Mau ada operasi setengah jam lagi kenapa?”

“Oh ya udah nanti aku telepon lagi ya, maaf ya kalau ganggu.”

“Enggak apa-apa kok masih ada waktu, kamu enggak kenapa-napa kan? Maaf ya mas enggak bisa jemput hampir setiap hari ada operasi.”

“Aku enggak apa-apa kok, aman.”

“Syukurlah, pulang-pulang kamu harus ke rumah sakit ya buat pemeriksaan.”

“Harus ya?” Bukannya berhasil menjawab tanyanya menjadi jawab, Tari diberikan kabar bahwa ia harus melakukan pemeriksaan. 

“Harus! Kayaknya pak Jojo udah berangkat jemput nanti langsung ke rumah sakit kita ketemu di sana ya.”

“Kok enggak ada yang ngasih tahu?”

“Emang enggak akan ada yang ngasih tahu karena enggak ada yang tahu.”

“Jadi mas Dio inisiatif sendiri buat daftarin pemeriksaan?”

“Iya Tar, kamu jangan marah. Mas kayak gini karena mas sayang kamu.”

“Iya aku tahu, oke deh kalau mas yang nyuruh aku nurut.”

“Bye adik manis, nanti kita ketemu ya di rumah sakit.”

“Bye juga jadi pertanyaanya nanti langsung aja.”

“Kayaknya serius nih, jadi penasaran. Mas masuk ruang operasi dulu ya bye!” 

Mas Dio menutup pembicaraan, Tari masih menggenggam gawainya, baru kali ini ia merasa malas untuk pulang seolah perjalanannya belum usai dan harus kembali ke rumah sakit melakukan serangkaian pemeriksaan, lagi. Tak lama ibu menepon, memberitahukan bahwa pak Jojo sudah menjemputnya, segera ia membereskan semua yang akan dibawa pulang sebelum pak Jojo tiba.

Kembali sudah pada dunia sungguhan tidak ada lagi improvisasi gaya berfoto, tidak ada lagi tawaran pekerjaan aneh yang menyenangkan, bisa jadi ini yang pertama dan terakhir seperti Arifin bilang.

***

Tari sampai di rumah sakit, ia disambut oleh ayahnya sendiri. Jadwal pemeriksaan sudah didaftarkan sehingga ia tidak perlu lama menunggu giliran. Ayah dibantu dokter lainnya serta beberapa suster mulai melakukan pemeriksaan pada Tari.

“Ayah ngapain sih harus periksa lagi, kan baru juga keluar dari sini.” Tanya Tari disela-sela pemeriksaan.

“Kata Dio kamu harus melakukannya, sudah sebulan lalu.”

Lihat selengkapnya