Beberapa hari setelah kedatangan Arifin, Tari harus kembali ke Jakarta bertemu Hito untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum usai. Satu hal yang salah dari perkataan Arifin yaitu mungkin mereka tidak bertemu lagi, ia melanggar kata-katanya sendiri datang dengan gagah tanpa takut menghadapi orang yang konon katanya melarang siapa pun untuk menjenguk Tari.
Tari masih berharap Arifin datang, masih berharap ia mendapat kerjaan yang sama, walau pada akhirnya ia berjanji akan menemui Tari kapan pun. Namun ia sadar tidak bisa memanggilnya kapan saja, setiap orang punya waktunya sediri seperti ia datang dari belasan tahun lalu.
Pemotretan memang sudah dilakukan tugasnya telah selesai, demi melihat hasil dan akan seperti apa nanti kelanjutannya maka pertemuan harus dilakukan. Bertemu Hito pertemuan seperti biasa-biasanya, namun ia teringat perkataan Feni yang menyebutkan bahwa Hito menyukainya, ah bagaimana bisa bukankah ia bukan tipe Hito. Hito sudah menikah namun belakangan terdengar hubungan dengan istrinya yang merenggang siapa lagi kalau bukan dari Feni, penyebab keretakan rumah tangga Hito yang santer terdengar dari dulu tidak kuatnya Laura menahan kebiasaan Hito melirik model-modelnya.
Pak jojo sudah menginjakan pedal gas mobil sedari pagi, Tari berjanji pada orang tua serta kedua kakaknya bahwa tidak akan menginap di apartemen dan akan langsung pulang jika urusannya sudah selesai. Keluarga tentu masih mengkhawatirkan kondisi Tari yang belum benar-benar pulih, dan akan terus menghawatirkan sampai Tari berhenti untuk menjadi model.
“Semua ini untuk mu agar kamu tidak bekerja keras.” ucap ibu saat Tari kembali menerima tawaran kembali untuk pemotretan. Tari hanya tersenyum memeluk ibu yang ia kenal sejak usianya tiga tahun.
Kamis pagi, tidak banyak mobil yang akan bermuara ke Jakarta lebih sedikit ketimbang hari Senin, sebaliknya akan ada hari kendaraan beriring-iringan menuju Bandung. Ketika Jakarta menjadi kota ambisi dan Bandung menjadikan kota realistis untuk Tari. Jakarta menjadikannya model papan atas kelas nasional yang sering mejeng di majalah internasional walau ia belum pernah secara eksklusif diundang sedangkan Bandung untuknya kembali dan beristirahat dari segala ambisi.
Tari pun sampai di tempat tujuannya, sebuah gedung pencakar langit kemudian pak Jojo memberhentikannya pada lobby yang sama sama sewaktu meeting pemotretan tempo kemarin, ia berjalan ke dalam dan masuk ke arah lift kemudian menekan lantai 25. Sampailah ia di gedung perkantoran, ruang kantornya dan ruangan khusus Hito.
Pembicaraan basi basi pun dilakukan Hito pada Tari yang mengatakan bahwa ia sangat mengkhawatirkan kondisi Tari, ia begitu mencemaskan dan sebalnya ia tidak bisa menjenguk. Bagaimana tidak seusuai pemotretan Tari tiba-tiba harus menjalani transfusi darah, sedangkan saat pemotretan berlangsung ia dalam keadaan baik-baik dan Hito memastikannya.
Kenyataan seharusnya ia memang butuh istirahat lebih banyak, lalu beberapa tahun terakhir ini mengapa tidak melakukan transfusi. Ayah menjawabnya dengan keajaiban, Tari begitu kuat menghadapi kondisi penyakitnya, ia sangat kuat menahan darah yang bentuknya tidak normal dari bentuk darah pada umumnya.
“Ahahaha pasti lu ngekhawatirin gue?” Tawa Tari sambil membuka blazer dan menaruhnya di atas kursi. Ia pun lantas duduk tanpa disuruh oleh Hito pemilik ruangan ini.
“Ya pastilah!”
“Lu takut gara-gara job gue ya?”
“Ada ketakutan kayak gitu tapi ya bukan karena kerjaan sih.”
“Ah Feni nih yang bikin semua orang khawatir!”
“Jangan marahin dia, Tar!”
“Enggak akan lah, nanti dia yang marah balik.”
“Gue baik-baik aja kok Hit, sekarang udah di sini.”
“Gimana baik-baik coba, sampai harus transfusi darah.”
“Emmmh.” Tari memejamkan mata lalu menghenduskan nafasnya, ia berpikir mulai darimana menjelaskan bahwa penyakitnya tidak separah yang dibayangkan, bagaimana menjelaskan bahwa ia enggak kenapa-napa, dan bagaimana menjelaskan keadaan seperti ini akan terus berlanjut entah sampai kapan.
“Gue aman dan baik-baik aja, mungki lu harus terbiasa dan kalau ada job tetep kasih ke gue!” Jawab Tari mempersingkat penjelasan tentang penyakitnya. Ia pun mengalihkan pembicaraan dengan memberikan topik baru seputar pekerjaan, karena hubungan dengan Hito hanyalah sampai pekerjaan tidak lebih.
“Pasti kalau sesuai.”
“Thankyou Hit.”
Hito membuka laptopnya, tampak ruangan desain interior minimalis co-working space. Jarak ia dengan para karyawan hanya dibatas oleh kaca, nuansa coklat dan hitam lalu beberapa tanaman yang membuat ruangan hidup. Walaupun harus menggunakan mesin pendingin tapi keberadaan tanaman menambah kesan natural pada kantor Hito.
“Cie ruangan baru, kantor baru nih.” Goda Tari sambil berkeliling ruangan.
“Kantor pusat lagi renov jadi pindah dulu ke sini.”
“Karyawan enggak semua di bawa?”
“Sebagian, sebagian masih dikantor lama.”
“Oh ya gimana kata klien?” Pandangan Tari tertuju pada leptop Hito yang sudah membuka foto-foto hasil jepretan Arifin.
“Mereka puas.” Senyum merekah Hito saat menunjukan hasil foto, lalu ia mengambil beberapa berkas dan menunjukannya pada Tari.
Hito menjelaskan mereka akan menggunakan foto yang mana saja, untuk apa saja dan di mana saja letak penggunaanya. Tari tidak tertarik mendengar itu semua, ia ingin pembicaraan segera berakhir lalu pergi dari ruangan Hito. Ia mempercepat pembicaraan mereka dengan mengiyakan saja, menyetujui saja tanpa benar-benar paham apa yang dikatakan Hito, sampai lah pada ujung pembicaraan mereka.
“Tar kita makan siang dulu gimana?”
Jangankan untuk diajak makan, pertemuan berkahir pun sudah syukur rasanya. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak makan siang bersama Hito, sedangkan untuk sampai pada meeting lain, 2-3 jam lagi waktu yang lama untuk Tari menunggu.
“Emmm gimana ya …”
“Ayolah sekali-kali.”