Karena X

Selvi Diana Paramitha
Chapter #10

Keluarga Mardi Suryadinata #10

Urusannya sudah cukup dengan Feni, dengan dunia modeling dan pemotretan. Ia tidak lagi harus berhutang pada siapa pun, tidak lagi menjelaskan bentuk pekara yang sebenarnya terjadi antara ia dengan Feni. Lalu kabar yang sudah terlanjur berderar bukan lagi urusannya, dan akan kabar tersebut akan hilang begitu saja, pikirnya.

Bagaimana dengan Arifin yang ikut terseret pada permasalahannya dengan Feni, Arifin sempat menghubungi Tari melalui sambungan telepon lalu menanyakan kabar dan memberitahukan bahwa ia sudah tahu kabar tersebut. Arifin tidak minta penjelasan pada Tari namun ia tetap menjelaskan bagaimana kabar itu bisa terjadi.

“Saya percaya kamu, kamu enggak usah menjelaskan apa-apa sama saya karena saya enggak percaya apa yang mereka katakan.”

Begitu katanya, Tari merasa lega bahwa Arifin tidak terganggu dengan kabar yang beredar bahkan ia sama sekali tidak peduli. Arifin lebih khawatir dengan keadaan Tari, pada penyakit yang dideritanya. Pada profesinya menjadi model yang tiba-tiba berhenti.

“Saya enggak peduli, cuman kamu harus tahu kalau saya sudah tahu. Kondisi kamu gimana?”

Tari menjelaskan bahwa ia sedang tidak kenapa-napa, sehat, namun masih harus menyesuaikan dengan rutinitas baru dan tidak lagi menunggu kontrak kerja baik pemotretan atau lenggak lenggok di catwalk. Dan Arifin lebih mengkhawatirkannya ketimbang pemasalahan yang barubsaja usai dengan Feni.

“Kamu yakin?”

Arifin mencoba menanyakan berkali-kali atas keputusan Tari dan Tari menjawab dengan sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Arifin yang tidak pernah yakin akan keputusan yang baru saja ia buat. Pada akhir pembicaraan Arifin berjanji akan menemuninya sepulang dari Pulau Weh karena ia sedang ada pemotretan di sana. Tari pun mengiyakan ajakan Arifin walau entah kapan pertemuan akan berlangsung.

Setelah pembicaraan lewat telepon, Tari tidak mendapat kabar terbaru dari Arifin ia tidak menghubunginya kembali, walau ia berniat untuk mengirimkan pesan singkat pada Arifin namun hal tersebut tidak pernah terjadi. Ia hanya akan menganggunya saja pikir Tari, lagi pula hubungannya dengan Arifin hanya sebatas rekan kerja dan sudah berakhir. Tapi semenjak kedatangannya semua berubah, Arifin kembali memberi perhatian lebih mungkin karena ia sudah tahu siapa dirinya sekarang, siapa keluarganya sekarang dan segala yang terjadi padanya. 

Tari pun baru menyadari mengapa ia mau menceritakan semuanya pada Arifin, semua yang dibungkus rapih dan keluarga menyimpan dengan rapih. Namun pada Arifin orang yang kembali setelah belasan tahun ia menceritakannya. Mengapa tidak sejak dulu, mengapa baru sekaramg. 

Kembalinya Arifin, tidak sekedar untuk kembali beberapa teman masih menanyakan masalahnya dengan Feni walau sebulan sudah berlalu mereka termakan isu-isu yang beredar, mereka menyangka hubungannya dengan kerja kemarin lebih dari sekedar model dan tukang fotonya. Tari tidak menyayangkan hal tersebut karena memang caranya yang salah sehingga seperti bola liar dengan omongan yang kemana-mana bahkan diluar dari permasalahan sebenarnya. 

Ia tidak begitu menanggapi, dijawab semampunya, dijawab seadanya dan terserah. Tidak ada tenaga baginya untuk benar-benar membersihkan namanya jadi, biarkan. Jika menjelasannya dipercaya syukur jika tidak ya sudah, bukan urusannya untuk orang lain harus percaya. 

Tari masih harus merapihkan barang-barangnya di ruang wardrobe. Segala sesuatu berhunungan dengan dunia modeling ia simpan, sebagian yang benar-benar tidak dipakai ia berikan sebagian yang tidak layak pakai ia buang. Tari dibantu mba Inah membereskan semuanya, mba Inah sudah ikut bersamanya sebelum ia lahir yang akhirnya bersuamikan pak Jojo, supir pribadinya.

“Neng enggak sayang dibuangin?”

“Kalau mba Inah mau ambil, ambil aja.”

“Ya enggak mungkin diambil, saya enggak pantes pake baju beginian.”

“Siapa tahu di kampung ada yang mau.”.

“Mba simpen boleh?”

“Boleh, emang buat apa?”

“Kenang-kenangan.”  

Kehidupannya kembali lagi dimulai walau belum ada rencana untuk mengikuti bang Hadi kerja namun bisa menjadi alternatif karena ia tidak mungkin ikut kerja bersama ayah atau Mas Dio yang merupakan seorpang dokter. Ia pun tidak mungkin berdiam diri menunggu kematiannya.

“Mba Inah kalau enggak ada ayah mungkin saya sudah mati ya?”

“Ya takdir Tuhan neng, belum tentu.”

“Kalau enggak ada ayah saya tinggal sama siapa?”

Mba Inah hanya terdiam sambil melakukannya pekerjaannya, melipat-lipat baju lalu dimasukan ke dalam tas besar. Tari tidak melanjutkan pertanyaanya ia merapihkan pakainnya dadi yang paling baru sampai yang paling lama, memilah-milah lalu tugasnya mba Inah untuk merapihkan sampailah sepuluh tas besar. Memulai jam delapan pagi hingga menuju petang belum juga usai. 

Lihat selengkapnya