Halo. Arifin menyapa Tari lalu membukakan pintu mobilnya, dan dengan cepat menjawab kata yang sama. Setelah pekerjaanya selesai Arifin kembali menghubungi Tari, seperti sebuah keharusan ia menceritakan bahwa susahnya sinyal untuk di pulau-pulau kecil jadi tidak bisa mengabari apapun. Tari sama sekali tidak menunggu Arifin menjelaskan, ia tidak keberatan untuk tidak dihubungi walau walau akhir-akhir ini ia menunggunya.
“Saya izin orang tua kamu dulu ya.”
“Enggak usah saya sudah bilang kok, lagian umur juga udah tua.”
“Tetep aja, tunggu ya.” Arifin keluar dari mobilnya ia masuk ke rumah Tari, dan rasa cemas pun menghampirinya. Namun tak berselang lama Arifin pun muncul dan kembali pada kursi kemudinya.
“Lets go!” Saat Arifin menginjakan pedalnya, sembari memberikan senyum terbaiknya diantara kumis dan janggut yang bersatu.
Bandung dengan matahari yang sudah mengangkat ke atas, tidak lagi pagi, namun belum terlalu siang. Hawa dingin masih cukup terasa diantara sengat matahari yang mulai muncul.
“Kita mau ke mana Fin?”
“Belum tahu. Nanti kita lihat aja, kita akan ke mana.”
“Enggak berubah ya.”
“Berubah dong, dulu kan serba perencanaan sekarang kan enggak.”
“Ya, ya betul juga. By the way tadi apa kata Ayah sama Ibu?”
“Enggak bilang apa-apa, cuman bilang hati-hati.”
Ayah dan ibu mengizinkannya untuk pergi bersama Arifin. Walaupun ia tidak harus meminta izin namun mereka tetaplah kedua orangtuanya, dan ia tetap anak gadis bungsu yang akan selalu dikhawatirkan. Namun reaksinya berbeda, tidak menitipkan pesan atau rasa khawatir, membiarkan anak gadisnya pergi terutama ibu, baru kali ini ia tidak menitipkan mantra-mantra, lalu dibiarkannya pergi.
“Emmm karena saya enggak tahu mau ke mana, kalau kamu mau ke mana?” Tari menggelengkan kepalanya. “Enggak tahu, saya ikut aja.”
“Kalau gitu kita berangkat saja dulu.”
“Begitu lebih baik.”
Arifin membelokan arah mobilnya ke arah kanan dari perumahan rumah Tari lalu melewati dua kali lampu merah dan jalan toll menjadi pilihan. Arifin menyalakan suara radio dengan suara kecil dan membiarkan hening hadir diantara mereka. Tari membuka tas yang penuh makanan ringan beserta minuman seolah tidak akan turun disebuah minimarket lengkap dengan berbagai minuman. Mereka berdua menyerbunya, kini yak lagi hening, ada suara dari mulut mereka berdua yang mengunyah makanan.
“Kamu kenapa mau ketemu saya Fin?”
“Saya enggak tahu kenapa harus ketemu kamu. Kamu enggak masalah kan?”
“Saya senang Fin. Makasih ya.”
Entah apa yang membawa Arifin bertemu Tari kembali. Belasan tahun bukan waktu yang sebentar untuk bisa bertemu, namun sebuah kenyataan berkata lain. Arifin mengendarai mobil ke jalur barat menuju arah Jakarta namun ia membelokan ke arah toll utara Jawa. Tari tidak peduli Arifin akan membawanya ke mana.
“Kamu kenapa mau ikut dengan saya?”
“Saya enggak tahu kenapa harus ikut kamu Fin.”
“Jadi kita sama-sama enggak tahu. Enggak tahu mau ke mana, enggak tahu mengapa harus bertemu.”
“Hahaha iya ya.”
“Saya juga senang bertemu kamu kok Tar.”
Antara jalan tol yang panjang namun masih enggan berhenti setelah tiga jam perjalanan, beberapa kali berhenti pada tempat pemberhentian untuk sekedar buang air kecil. Lagu-lagu dari radio mengisi mobil tersebut, sempat henti lalu mencari siaran bertemu lalu hilang, terus mencari bergantian.
“Fin maaf ya saya jadi ngerepotin kamu.”
“Kamu enggak ngerepotin saya sama sekali.”
“Tapi orang-orang jadi berpikir macam-macam tentang kamu, dan saya.”
“Kita maksudnya?” Tari mengangguk.
“Iya kita.”
“Kamu masalah?”
“Ya enggak Fin. Tapi saya takut kamu yang merasa ini masalah, saya enggak enak kamu enggak tahu apa-apa jadinya terbawa-bawa.”
“Kalau orang lain percaya bahwa saya penyebabnya saya enggak apa-apa. Yang saya khawatirin kamu ada apa-apa.”
Tari terdiam ia tidak menyangka bahwa Arifin akan mengkhawatirkannya, walau ia tidak pernah berpikir bahwa Arifin akan marah juga. Namun sebuah kekhawatiran untuk Arifin bukan kekhawatiran biasa, ia akan benar-benar memikirkan, dan ia benar-benar khawatir.
Tari tidak pernah benar-benar melupakan Arifin, selain pacar pertamanya ia juga satu-satunya orang yang selalu mengkhawatirkannya selain keluarga, keluarga Mardi Suryadinata. Dan kini satu-satunya orang yang tahu siapa dirinya.
“Kenapa kamu tahu saya ada apa-apa?”
Tari begitu penasaran pada Arifin sehingga ia menanyakan apa yang belum ia jelaskan pada Arifin, sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan pada semua orang, pada teman-temannya, pada mas Dio pada bang Hadi. Tidak satu pun, namun Tari masih ragu untuk bercerita, ia takut mengikuti intuisinya, ia takut pada perasaan-persaan yang salah.
Ya Arifin baru saja datang kembali setelah belasan tahun, orang bisa saja sudah berubah, mungkin yang ia hadapi saat ini bukan orang yang ia kenal belasan tahun lalu. Namun entah mengapa Tari masih mengikutinya, berpikir dengan nalar terkadang lebih sulit ketimbang mengikuti intuisi, namun intuisi terkadang menyesatkan.
“Karena saya kenal kamu Tari.”
Jantungnya seolah berhenti, ia percaya pada intuisi. Perasaanya benar bahwa ia tidak bersama orang yang salah, ia sedang tidak cerita pada orang lain. Arifin masih sama seperti yang ia kenal, dia tidak menjadi orang lain, hanya terjeda oleh ruang dan waktu dan sekarang kembali.
“Emmm ya ya ya. Menurut kamu saya kenapa?”