Keesokan harinya mereka belum berencana untuk pulang bahkan untuk keluar dari hotel. Tari sadar ia hanya membawa dua pasang pakaian yang digunakan untuk tidur dan sepasang lagi digunakan untuk hari ini, dan pakaian kemarin sudah ia cuci dan gantung di lemari dan berharap cepat kering, kalau tidak ia akan mengenakannya dalam keadaan basah. Namun bagaimana dengan Arifin, Tari tidak mungkin bertanya mengenai pakaian padanya, bisa saja ia membawa pakaian lebih banyak darinya, sehingga tidak usam membeli agau bahkan mencuci.
“Kamu masih belum mau pukang kan?” Tanya Arifin disela-sela mereka makan pagi yang dihidangkan oleh pihak hotel.
“Belum sih, kecuali kamu yang ngajak pulang.”
“Saya juga belum mau pulang, saya enggak bawa banyak pakaian karena saya enggak menyangka akan berpergian sejauh ini.”
“Saya juga, emmm gimana kalau kita beli beberapa pakaian yah minimal untuk besok?” Tari tersenyum sumeringah mendapati Arifin yang sama-sama membutuhkan pakaian. Ini untuk pertama kali dalam hidupnya pergi tanpa rencana dan kekurangan pakaian, ia terbiasa membawa lebih sehingga tidak usah mencuci bahkan sampai membeli, kecuali memang untuk dibawanya pulang.
“Ide bagus.”
Arifin menyetujui ide membeli pakaian tersbeut, ia tidak tahu lagi harus bagaimana jika harus menggunakan pakaian yang belum kering diitambah hasrat belanja batik yang tidak bisa ditahan jika ke kota ini. Batik memang menggoda, tidak lagi dalam acara-acara formal Tari biasa menggunakannya untuk sehari-hari, bertemu klien atau sekedar ngopi di kafe.
Tidak perlu untuk mengajak Arifin yang belum tentu mau untuk diajak belanja, namun karena ia pun harus membeli pakaian mau tidak mau harus mengikutinya belanja. Kemungkinan besar Arifin akan marah saat mereka belanja nanti, karena Tari sadar dirinya akan susah menahan diri jika melihat pakaian bagus langsung ia beli tanpa melihat harga yang tertera pada bandrol pakaian tersebut.
Namun buat Tari belanja pakaian seperti sebuah keharusan, untuk menarik klien dan memakai pakaian tetap menarik ke mana pun ia pergi. Ia memiliki anggaran sebesar sepuluh persen dari penghasilannya untuk membeli pakaian dan makeup karena dianggap modal untuk dirinya.
Arifin dan Tari turun dari restoran menuju lobi hotel, mereka menambah waktu semalam untuk menginap kembali. Tidak seperti kemarin, transaksi dilakukan menggunakan aplikasi, namun untuk menginap dimalam berikutnya menggunakan transaksi secara langsung.
“Untung bisa ya Fin.”
“Ya untung saja.”
Mereka khawatir tidak bisa melanjutkan menginap karena sudah ada yang booking, walau harga lebih mahal dibandingkan menggunakan aplikasi. Lalu memilih secara langsung ke bagian reservasi karena Tari ingin di kamar yang sama..
“Males banget kalau pake aplikasi nanti disuruh pindah kamar.”
“Pernah kayak gitu?”
“Beberapa kali kejadian, walaupun bawaan enggak banyak tapi males aja pindah-pindah kamar.”
Setelah urusan dengan pihak reservasi selesai mereka keluar hotel menyusuri jalan satu kilometer sampailah mereka pada sederet toko batik yang terdapat di daerah Kauman kota Solo. Belum terlalu siang untuk menyusuri toko-toko tersebut dengan berjalan kaki, matahari mulai bersinar namun belum menampakan kegagahannya. Belum terlalu panas, belum menyengat.
Arifin membawa segala macam dalam sebuah tas kamera, selain kamera itu sendiri ada dompet, kunci mobil, kartu masuk kamar hotel dan tak lupa sebotol air mineral. Sedangkan Tari hanya membawa pouch yang terdapat dompet dan kartu kamar.
Pada toko pertama ia tidak mendapatkan apa-apa yang diinginkan, kemudian toko kedua yang agak masuk ke sebuah jalan menyimpit yang berada di sebelah tiko pertama. Ia mendapatkan mini dress bermotif batik dengan warna merah kesumba, sebuah pakaian kesukaan Tari dan warna kesukaannya. Tiada hari dirinya tidak memakai mini dress sampai Arifin pun bertanya.
“Kenapa selalu pake mini dress?”
“Praktis, enggak usah pake celana atau rok lagi, enggak buang-buang tempat penyimpanan juga.”
Sebuah alasan masuk akal, menurutnya mini dress bukan hanya membuatnya tampak cantik namun tujuan utamanya adalah membuat lebih praktis. Ia menggunakannya dengan tambahan blazzer atau outerwear.
Tari tidak membeli satu ia membeli lima dengan motif dan warna yang berbeda, namun andalannya tetap sama yaitu mini dress, sedangkan Arifin hanya bisa pasrah dibelinya tiga kemeja batik dengan warna kesukaan Arifin, dua kaos polos berwarna putih, celana dan usai susdah belanja mereka.
Mereka keluar toko tersebut namun Arifin mengeluarkan kameranya.
“Tar kamu diam di pintu ya, saya foto.” Arifin menunjuk ke arah pintu toko dengan ornamen ukiran kayu jati.
Tanpa berpikir lama Tari menyimpan tas belanjaanya dan dengan cepat ia pun bergaya. Cekrek. Satu foto, dua foto dan ketiga. Pengunjung tidak banyak, bahkan hanya mereka berdua yang mengunjungi toko tersebut, sehingga dengan luluasa mereka mengambil berfoto.
“Kamu masih oke buat foto.”
“Baru juga sebulan enggak foto, anggap aja enggak ada proyekan.”
“Kita cari tempat foto yuk!”
“Yuk!”
Tari mengambil tas belanjaannya, kemudian menusuri Jalan Wijaya Kusuma dan lanjut ke Jalan Cakra. Arifin masih dengan kameranya sedangkan Tari akan berhenti saat Arifin memotretnya, sesekali ia tak sadar bahwa Arifin telah memotretnya.
Masuklah mereka ke sebuah toko batik, sang penjaga menawarkan Tari untuk membatik tanpa ragu ia mengambil tawaran tersebut, lalu Arifin meminta izin untuk memperbolehkannya mengambil foto dan jadilah jepretan-jepretan indah.
Tari mengambil canting lalu ia melukisnya pada sebuah kain yang sudah digambar. Tempat ini khusus untuk wisatawan yang ingin brlajar membatik secara dadakan atau sekedar coba-coba, namun tidak untuk Tari, ia benar-benar bisa membatik tangannya piawai mengambil lilin dan menorehkannya pada kain.
“Wah mba sudah biasa membatik ya?” Tanya pelayan yang menyodorkan lilin yang masih panas dengan cantingnya, ia terkesima melihat Tari dengan profesional mengambil lilin dari wajan.