Arifin mendadak harus rapat sehingga mereka memilih untuk makan malam di restoran hotel, agar bisa tetap rapat walaupun secara daring. Tari sedikit kecewa, ia akan membayangkan bahwa malam ini akan jalan-jalan bersama Arifin menikmati malam bersama Arifin, menyambung pembicaraan-pembicaraan yang terputus sore sebelumnya. Namun ia tahu bagaimana rasanya dikejar-kejar rapat, bagaimana sebuah pekerjaan menanti sedangkan ia sedang berada pada jalur tersebut dan bukan dalam keadaan liburan atau cuti.
Tari berusaha untuk tidak terlihat kecewa, ia berusaha mengerti dan berusaha antusias dengan pekerjaan Arifin, namun ia benar-benar antusias dengan pekerjaan Arifin yang juga dunianya yang baru saja ia tinggalkan. Melihat lampu flash dari kamera seperti melihat secercah cahaya kehidupan, mungkin begitu juga dengan Arifin hingga akhirnya ia berada dalam posisi ini saat ini, terkadang terbesit bagaimana cara kerja matanya untuk menghasilkan foto yang baik sedangkan kompisisi warna sangat diperlukan. Mungkin begitu juga orang-orang memandang Tari, bagaimana dirinya bisa berdiri hingga saat ini dengan darah yang pipih.
“Kamu enggak apa-apa kan?”
Raut wajah kecewa tidak bisa Tari sembunyikan, Arifin telah mengenalnya sangat lama, ekspresi-ekspresi kecil akan tampak walau ia mencoba menyembunyikan, dalam lebih dalam. Dan pengalihan pembicaraan menjadi solusinya, ia dengan mudah memutar pembicaraan dan melupakannya begitu saja.
“Aku enggak apa-apa kok Fin. Cie proyek baru. Jalan-jalan ke mana nih?”
“Kok jalan-jalan sih, proyek foto untuk iklan.”
“Bisa dibilang gitu, kolaborasinya sama produk bukan sama model.”
“Produk biasanya dapet cuannya gede nih.”
Arifin tertawa kecil ia malu mengakui, “Yaaa cukuplah. Susah ya kalau sama yang tahu harga semua enggak bisa ditutupin.”
“Berapa?” Tari menggoda Arifin diikuti dengan gelak tawa keduanya. Masalah uang adalah masalah paling privasi setiap orang, termasuk bayaran. Namun mereka hidup pada dunia yang sama dan telah memiliki rate card. Jika pantas dengan harganya maka mereka akan bekerja, jika tidak ya sudah, namun tawar menawar sering kali terjadi, bisa lebih mahal bisa lebih murah, tergantung kesulitan.
Arifin menyebutkan angka yang membuat Tari terbelalak, karwna sangat besar untuk sebuah pemotretan. Namun Arifin pun bercerita bahwa ia akan ke desa terpencil untuk mendapatkan gambar yang bagus ditambah pengambilan cahaya harus tepat, syukur-syukur bisa langsung dapat jika tidak harus menunggu hal tersebut yang membuatnya dibayar mahal, kru yang ikut hanya sekitar dua orang sehingga tidak perlu memakan banyak biaya lain-lain, walau sebenarnya ia bisa melakukannya sendiri.
Tak banyak yang mereka perbincangkan saat makan malam hanya seputar pekerjaan, Tari berhasil mengalihkan kekecewaannya. Namun sebuah pernyataan yang tiba-tiba saat senja tidak ia bisa lupakan begitu saja. Sebuah rengkuh tanpa paksa. Tari kembali ke kamar hotelnya begitu juga dengan Arifin yang kembali harus rapat.
Setelah ia masuk ke kamarnya, lalu Tari berganti pakaian tidur, duduk di sofa menghadap ke jendela dengan pemandangan kota. Jalanan begitu ramai, malam begitu terang, ia baru menyadari karet gelang masih digunakan pada rambutnya. Ia melepaskan karet tersebut kemudian merapihkan rambutnya dan menggunakan kembali karet gelang tersebut pada rambutnya yang terurai menjadi sanggul dari karet gelang.
Rasanya masih kurang waktu yang digunakan untuk berlama-lama di kota ini, untuk apa merka berjalan sejauh ini tidak punya kenangan sama sekali dan berhenti di kota ini karena pekerjaan Arifin yang mengharuskannya menjadi narasumber. Jika tidak terjadi makan mereka akan berjalan terus entah kemana. Arifin sudah ditunggu oleh pekerjaanya sedangkan dirinya hanya seorang pengangguran.
Tari masih menatapi kota dari jendela yang menjadi sekat. Mencoba memahami perjalanan yang sudah ia lakukan, mencoba mengurai pernyataan-pernyataan Arifin dan mencerna seluruh perasaanya. Tidak mudah untuk mengakui sebuah perasaan apalagi mengatakannya.
Akan tetapi sebuah mengakuan bahwa ia tak tergantikan, bahwa dirinya satu-satunya dan hingga saat ini masih mencintainya. Pantaskah ia mendapatkannya, pantaskah ia merasakan sebuah rasa yang bernama, cinta.
Arifin tampil kembali dengan sosok yang lebih santai, berpikiran positif dan membperhatikan hal-hal kecil. Ia tidak mudah emosi berbeda dengan sosok yang pernah ia kenal. Tidak lagi mudah marah namun sifat keras kepala sepertinya sudah mendarah. Ada banyak perubahan pada dirinya, perubahan-perubahan yang membuat Tari jatuh, kembali.
Kematian membuat Tari untuk berhenti berhubungan serius dengan siapa pun. Arifin tidak yang terakhir dan bukan satu-satunya, ada Andra, Daniel, Firman dan yang terakhir Omar. Saat semuanya berusaha membuatnya sampai ke pelaminan, saat itu pula Tari akan memutuskan hubungannya dengan kekasih-kasihnya. Tidak sedikit yang menawarkan hidup seperti ratu, tidak jarang yang menawarkan kemewahan.
Namun bukan hanya hidup enak dan kemewahan yang ia inginkan, meninggalkan suatu hari nanti kenyataan bahwa ia kegurunan mereka akan memiliki penyakit keturunan genetika bukankah sebuah hal menyakitkan. Belum tentu mereka akan menerima bahwa Tari menderita penyakit bawaan genetika hubungan mereka akan berjalan. Bagaimana dengan keluarga, belum tentu mereka bisa menerima ini semua.
Tari menghela nafas, semua kenyataan sudah ia katakan pada Arifin mengapa ia tidak mau berhubungan serius apalagi menikah. Tapi entah mengapa Arifin tetap meneruskannya, mengungkapkan sebuah perasaan seolah tidak ada penghalang. Seolah semua kata-katanya isyarat tidak didengarnya, ‘sudah cukup kita tidak bisa bersama’ Arifin tidak mendengarnya. Tapi bukankah ia hanya mengungkapkan rasa, tidak meminta jawaban atau bahkan jawaban yang sama. Tidak juga menanyakannya, Arifin membiarkan Tari mengetahui perasaanya.
Arifin dan dirinya dalam satu hotel yang sama namun tidak sekali pun ia mengajak dalam satu kamar, bahkan untuk masuk ke dalam kamar pun tidak. Ketika tangan bersentuhan, tidak berusaha untuk menggenggam, Arifin tidak melakukannya.
Bahkan saat ia memeluk Tari saat senja, gerakan yang dilakukan secara spontanitas karena perasan yang tak dapat lagi ia bendung. Arifin segera melepaskannya dan meminta maaf atas perlakuannya yang tidak sopan. Namun tidak untuk Tari, sebuah rengkuhan bukan gerakan yang salah dan harus meminta maaf ia harusnya memang demikian.
Hari semakin malam, Tari memutuskan untuk kembali ke ranjang tidurnya dan berhenti memikirkan hal yang sebenarnya tidak usah dipikirkan, cukup menjalani. Antara ia dan Arifin tidak ada lagi rahasia, mungkin oleh sebab itu Arifin tidak menanyakan perasaanya, ia mungkin tidak berharap apa-apa pada hubungan ini.
***
Selamat pagi. Sapa Arifin pada Tari yang sudah siap bersngkat untuk kembali ke Bandung ke rumah Tari sebelum ia kembali Tangerang Selatan, tempat Arifin menetap saat ini. Begitu juga Tari, ia membalas sapaan Arifin mereka sama-sama mengambil makanan yang disediakan oleh pihak hotel dan langsung menghabiskannya dengan cepat, lalu menuju resepsionis untuk chekout.
“Kamu enggak ada barang yang ketinggalan kan?”
“Enggak ada.”
Mereka berdua menuju tempat parkir mobil yang berada di basemen dengan tambahan bawaan, ya belanjaan Tari dengan tambahan oleh-oleh makanan yang ia beli melalui aplikasi online. Arifin pun sama ia menambah satu kantung tas karena menambah beberapa helai pakaian. Sampailah mereka pada mobil dan bersiap untuk, kembali.
Mesin mobil pun dinyalakan, Tari duduk disebelah Arifin yang mengemudikan mobil, melihat wajah Arifin yang baru saja mencukur jenggotnya yang menebal dan tersisa seperti titik-titik hitam pada dagu dan sebagian pipi. Dan mambiarkan rambut ikalnya yang memanjang berantakan. Sosok ini yang baru saja menyatakan cinta padanya, sosok yang ia enggan temui selama bertahun-tahun dan hampir saja ia membatalkan kontrak yang membuat mereka bertemu.