Karena X

Selvi Diana Paramitha
Chapter #15

Fotografer #15

Kamera adalah sebuah ruang gelap yang dimasukan cahaya. Seperti jiwa yang gelap kemudian dimasukan ruh-nya dan menyadikannya hidup. Buat Arifin kamera adalah sebuah benda yang menyambungkannya dengan dunia, namun buat Tari kamera adalah sebuah ruh yang menjadikannya hidup.

Tari berhenti dari profesinya seolah mencabut ruhnya sendiri, ia hampir saja mati. Namun Arifin seperti penyelamat dirinya, ia kembali memotret dirinya dan menjadikan bagian dari pameran yang akan diselenggarakan dua bulan lagi. Arifin tentu saja sudah meminta izin dari Tari agar menggunakan fotonya untuk pameran nanti, bahkan ia menawarkan bayaran secara profesional, namun Tari menolaknya. 

Tari menepati janjinya untuk ikut bersama Arifin ke Tangerang Selatan, ke rumah orangtuanya. Semalam ia tak habis berpikir mengapa hubungan ini menjadi lebar, apa yang ia katakan pada orangtuanya. Ia pikir jika laki-laki berumur 34 tahun tidak akan berbicara macam-macam pada orangtuanya, dan hubungan mereka tidak akan diketahui oleh siapa pun. 

Percuma saja ia berpikir, Tari tidak akan mendapatkan hasil apapun dan soal hubungannya dengan Arifin yang melebar menjadikannya lebih dari sekedar partner kerja, lebir dari teman yang meminta penjelasan mengapa namanya terseret dalam sebuah permasalahan. Apa sesungguhnya ia yang sudah menyeret Arifin jauh lebih ke dalam kehidupannya.

Tari, terima kasih sudah mau pergi bersama saya kesekian kalinya. Bukan lagi selamat pagi, siang, malam atau sekedar, halo. Itulah kata-kata pertana yang Arifin ucapkan saat bertemu dengan Tari. Sebagai permintaan terima kasih atas ajakan keluarganya Tari mengikuti Arifin, namun bisa saja ia menolak karena berkenalan kepada keluarga terdekat sebuah hal yang sakral.

Selamat pagi Arifin, terima kasih untuk mengajaknya pergi, mengajak masuk untuk lebih dalam dari sebuah kehidupan. Umur kita tidak lagi muda, kita bisa melakukan apa saja yang kita suka dan akan mempertanggung jawabkannya, namun mengapa kita tidak melakukannya. Rasanya Tari ingin mengucapkan kalimat tersebut pada Arifin namun yang keluar hanyalah kata, sama-sama.

Tentu saja Arifin meminta izin pada ayah ibu serta dua bodyguard Tari, Dio dan Hadi. Mereka memberikan izin pada Arifin, dan juga Tari untuk pergi bersama. Tari tidak mau mengulangi kesalahannya untuk tidak membawa pakaian ganti, walau rencananya hanya semalam seperti yang Arifin lakukan dan meminta Arifin mengantarnya ke apartemen yang berada di Jakarta dan manunggu pak Jojo menjemputnya. Akan tetapi ia berharap lebih daei semalam, dan membawanya pergi jauh. 

Tari apa yang sedang kamu pikirkan, hubungan mu dengan Arifin hanya sebatas teman tidak lebih dan saling mengenal keluarga tidak ada yang salah bukan. Tari memejamkan matanya lalu menghela nafas, kemudian Arifin naik ke bagian kemudi setelah memasukan barang-barang ke bagian belakang mobil. Kamu kenapa tanyanya, Tari hanya menggelengkan kepalanya, lalu Arifin bertanya kembali apakah ia sakit, Tari kembali menggelengkan kembali kepalanya. Lalu kenapa, aku hanya khawatir bagaimana kamu membawa ku ke rumah mereka. Lalu Arifin hanya tertawa kecil, dan menjawab kamu tenang saja mereka akan menyambut kamu dengan baik, saya bicara tentang kamu dan saya bilang kalau saya diajak makan malam lalu mereka ingin melakukan hal yang sama, dan saya mengajak kamu.

Kemudian Tari pun tersenyum, ia baru saja mendengar semuanya namun ia terlambat untuk menyadari bahwa Arifin telah menceritakan tentang dirinya pada orangtuanya. Apa saja yang ia ceritakan, seorang kekasih masa lalu yang penyakitan, atau model yang baperan kemudian dengan gampang menghancurkan karirnya sendiri atau seorang model yang penyakitan.

Seolah bisa membaca pikirannya Tari, Arifin pun bilang bahwa ia bercerita ada seorang perempuan entah dari ruang mana kembali datang, menjadi rekan kerja lalu menyadari bahwa, cuman pada dia hatinya pernah luruh dan kembali berdiri. Entah bagaimana lagi ia harus menjelaskan, namun ia menyadari bahwa ia pun. Sama.

“Fin …”

“Kamu beneran takut?” 

Tari menganggukan kepalanya, namun sejujurnya ia ingin membicarakan hal lain yang menjadi tanda tanya selama ini. Pertanyaan yang menganggu pikirannya, bukan kali ini saja bahkan bertahun-tahun lalu sebelumnya. 

“Saya enggak bicara apa-apa kok, mereka cuman mau ketemu.”

Tari pun tersenyum, mengisyaratkan bahwa ketakutannya sudah berakhir walau sebenarnya sama sekali tidak. Arifin menancapkan pedal mobilnya kemudian pergilah mereka, tanpa mampir-mampir terlebih dulu karena mengejar makan siang.

“Fin saya selalu penasaran sama kamu.”

“Penasaran apa?”

“Bagaimana kamu melihat dunia?”

“Saya enggak tahu.”

Arifin meminggirkan mobilnya sebelum memasuki jalan tol. Tari pun terhenyak ia sadar baru saja menyinggung perasaan Arifin dengan pembicaraan yang tak pernah ingin ia bicarakan. Seperti waktu Hito berbicara soal mata, seolah memuji namun bagi Arifin tidak. Terdengar hendusan nafas seperti menggeram, sudah pasti Arifin marah. Akan tetapi Tari tidak berhenti bicara dengan dalih penasaran ia tetap mempertanyakannya.

“Ya udah deh gini, saya ingin tahu bagaimana kamu dititik ini menjadi fotografer dengan buta warna adalah kedua hal yang berbeda dan bertolak belakang.”

“Jangan kan asal mula, saya lihat lampu merah aja warna hijaunya warna putih.”

Tari merasa lega, Arifin tidak benar-benar marah ia pun kembali menjalankan mobilnya. Arifin mulai bicara, ini untuk pertama kalinya ia bicara soal mata. Sebuah kata dari indera penglihatan yang menjadikan sumber kekuatan sekaligus sumber ketakutan. Menjadikannya lemah namun satu-satunya alat untuknya menjadi seperti sekarang, fotografer.

“Kalau gitu dari mana kamu bisa dapat SIM?”

“Dari tempat pembuatan SIM dari mana lagi coba.”

Mereka tertawa bersama, ya benar juga dari mana lagi Arifin mendapatkan SIM karena syarat untuk mendapatkan SIM harus mendapatkan surat sehat. Arifin enggan menjelaskan, namun Tari tidak ingin menanyakann lebih lanjut karena yang ia pertanyakan bukan soal mendapatkan SIM, ia tidak tertarik akan hal tersebut.

“Enggak kebayang kalau jadi kamu, buat saya enggak masuk akal apalagi sampai menjadi fotografer ternama, tapi kamu ada dan saya kenal.”

“Saya juga enggak tahu, saya cuman melakukan apa yang saya bisa.”

“Kamu melakukannya lebih dari yang kamu ceritakan Fin, saya yakin itu.”

“Jadi fotografer bukan melihat warna, bukan itu esensinya tapi menterjemahkan cerita pada sebuah gambar.”

Lihat selengkapnya