Seharusnya pertemuan dengan Arifin berlangsung minggu depan namun Tari meminta Arifin menemaninya untuk bertemu dengan Hito, dan ia menyanggupinya. Tari terpaksa untuk bertemu dengan Hito karena satu kontrak kerja tertinggal dan belum selesai. Entah mengapa bisa terlewat sedangkan ia sangat berhati-hati dalam memegang kontrak.
Delapan belas tahun meniti karir menjadi model tak satu pun pekerjaan ia lewati, tak satu pun kontrak ia langgar. Oleh karena itu Tari dengan mudah mendapat kontrak-kontrak baru dan dijalanakan secara profesional. Namun tanda tangan basahnya ada di sana, dan sebuah kontrak belum selesai dan harus diselesaikan.
Sedangkan Feni, ia sama sekali lepas tanggung jawab sebagai manager, tidak memberitahu bahwa ada kontrak yang tertinggal, bahwa urusannya belum berakhir. Bahkan Hito sendiri yang harus menghubunginya memberitajukan bahwa ada kontrak yang tertinggal. Tari menarik nafasnya, tidak mungkin ia menghubungi Feni dan menanyakan segala sesuatunya, terutama tentang kontrak yang belum terlaksana.
Feni sudah menghilang ditelan bumi seiring ia pun menghindar dari Feni, dan pertemuan terakhirnya saat di apartemen. Ada sedikit penyesalan mengapa dirinya harus se-emosional itu pada Feni, sedangkan sebelum ini hubungannya baik-baik saja bahkan lebih dari sekedar model dengan managernya.
Tidak seharusnya ia berperilaku seperti itu, Feni sangat membantunya dalam berbangai hal bahkan bertahun-tahun. Lalu hanya karena sebuah permasalahan maka jasa-jasanya hilang begitu saja, sungguh sama sekali bukan dirinya, Tari bertambah penyesalannya.
Namun Tari enggan sendiri, ia merasa takut untuk bertemu banyak orang selain keluarga dan Arifin setelah ia berhenti menjadi model. Ia pun menghubungi Arifin yang sedang berada di luar kota, namun dengan segera ia pun pulang begitu Tari meminta bantuannya. Katanya Tari sudah banyak membantunya dalam berbagai hal termasuk pameran nanti, mana mungkin ia tidak menemani Tari.
Tari kembali menyesal telah menguubungi Arifin, seharusnya ia tahu bahwa Arifin sedang bekerja keras untuk pamerannya nanti, bukan mengurisi masalah yang belum tentu masalah. Namun jika ia kembali menghubungi Arifin untuk membatalkan, ia kembali bertambah merasa bersalah karena sudah melarang Arifin untuk membantunya. Oke ini yang terakhir kalinya untuk meminta tolong pikir Tari.
Sebelum Hito menghubunginya Arifin dan Tari sepakat untuk bertemu namun tidak secepat ini. Dan yang akan Tari lakukan adalah membatalkan kontrak kerja tersebut, Tari enggan melanjutkan karirnya menjadi model sekali pun kontraknya belum bensr-benar selesai, ia pun sudah menghubungi pengacaranya, dan menyiapkan segala sesuatunya bila terjadi hal buruk. Akan tetapi mendatangi Hito secara baik-baik adalah langkah pertamanya, Tari masih berprasangka baik tapi tidak dengan perasaannya.
Tari berencana akan menginap di apartemen untuk beberapa hari sampai urusannya selesai, dan Pak Jojo akan menemaninya ke mana pun ia pergi saat di Jakarta. Kabut masih menyelimuti Bandung, pukul empat pagi adzan subuh pun belum terdengar dari penjuru masjid, ia belum juga makan pagi. Rasanya ia ingin cepat membereskan masalah-masalah yang sebenarnya bukan masalahnya lagi, namun sebuah tanggung jawab tetaplah menjadi beban baginya.
“Bang maaf ya.” Ucap Tari pada Hadi.
“Aku bukan adik yang baik, bukan juga pekerja yang baik.”
“Aaagh apaan sih.”
“Aku kurang peka berbagai hal, tapi aku tahu perasaan abang kecewa.”
Hadi mengangguk dan menundukan kepalanya sembari mencium kening Tari. Ini bukan sebuah perpisahan dan Hadi tahu adiknya sedang tidak main-main, bukan juga karena kontrak kerja namun panggilan seorang profesional.
“Kamu enggak apa-apa, enggak kerja di kantor, kamu balik lagi jadi model juga enggak apa-apa. Abang cuman ingin kamu bahagia atas semua pilihan kamu.”
“Makasih. Aku enggak akan balik lagi, karena udah terikat kontrak jadi model eksklusif Arifin.”
“Jadi hubungan kamu sama Arifin apa?”
“Fotografer dan modelnya.”
“Enggak mau lebih dari itu?”
Tari menggelengkan kepalanya, ia mengambil koper yang sudah disiapkan oleh mba Inah yang tak lain adalah istri dari pak Jojo, serta makan pagi yang sudah tersedia dalam kotak makan untuk dirinya dan pak Jojo.
“Arifinnya juga enggak kok.”
“Serius?”
“Dia kan enggak pernah nanya perasaan aku sama dia gimana, dia juga enggak minta aku jadi apa-apa jadi ya enggak ada apa-apa.”
“Suatu hari dia nanya gimana?”
“Dia sudah tahu jawabannya.”
Tari kemudian menghampiri ayah dan ibu untuk berpamitan, meminta doa dalam untuk perjalanannya. Ibu pun kembali dengan nasihat yang panjang dan membuatnya mengantuk, sehingga ia hanya mengangguk. Dilanjuti dengan doa-doa, segala doa yang baik, segala pengharapan untuk anaknya segera kembali dan mantra-mantra yang tidak ada putusnya.
“Tari sayang, kamu harus share lokasi 24 jam secara live, ibu enggak mau tahu!”
“Ingetin ya Bu, aku suka lupa.”
“Kalau pergi sama Arifin kan enak, suruh dia yang sharelock setiap saat dapet foto-foto kamu yang bagus.”
“Dia bayarannya mahal loh Bu, bisa sampai lima digit.”
Ayah datang dari arah ruang kerjanya, membawa sekotak obat serta vitamin yang harus ia minum, Tari tersenyum kepada ayah namun tidak dibalasnya. Ayah baru mengetahui dari laboratorium bahwa Tari seharusnya transfusi, ayah tentu marah besar, namun ia tidak akan marah pada Tari tapi pada Dio.
“Ayah jangan marah lagi dong, maafin Tari.”