Arifin melarang Tari untuk meceritakan semua kejadian yang terjadi di kantor Hito pada siapa pun. Kecuali keluarganya, dan meminta mereka untuk tidak berbicara pada siapa pun. Dan yang pertama kali ia lakukan adalah menghubungi Dio, tidak lagi Hadi. Menurutnya Dio lebih menerima dirinya dan memilih maju ke depan, sedangkan Hadi sering kali mengungkit masa lalu terlebih hubungan mereka.
Tari mencoba menjelaskan dengan hati-hati dan secara rinci, seperti harapannya Dio mendengarkan sampai habis ia bercerita. Dio tidak terkejut, hal tersebut membuat Tari merasa aneh. Dan tidak marah ini pun yang membuatnya merasa tidak bicara dengan Dio, ia merasa berbicara kepada sosok lain. Namun ia menyuruh pulang atau ia kan menjemputnya dan benar saja ia tiba sebelum makan siang.
“Mas….”
“Tar enggak tahu harus ngomong apa, untung ada Arifin kalau enggak ada gimana?”
“Ya makannya enggak kebayang kalau enggak ada. Mas aku enggak mau pulang dulu, lusa Arifin pameran sebagai balas jasa, aku mau bantu-bantu dia.”
“Ya udah tapi kamu hati-hati ya di sini, mana Pak Jojo di suruh pulang kemarin.”
“Bukan aku yang nyuruh tapi Arifin.”
“Ah gitu, kirain kamu! Artinya dia mau dong bertanggungjawab buat nganterin ke mana?”
“Harusnya, tapi sampai sekarang dia belum info apa-apa sih. Mungkin masih di rumahnya jauh juga dari sini.”
“Jadi kamu sama dia apa?”
“Bukan apa-apa.”
“Enggak segampang itu kamu bilang apa-apa, ini lebih dari apa-apa.”
“Kenyataanya emang gitu, dia enggak pernah nanya apa-apa.”
“Kalau dia nanya dan minta hubungan lebih, kamu bakal jawab apa?”
Dan lagi Tari menjawab hal yang sama, bahwa Arifin akan tahu jawabannya. Kedatangan Arifin siang ini bukan membuatnya lebih tenang, bukan juga membuat sedikit nyaman ia menambah beban saja. Beban lain dari pertanyaan-pertanyaan yang kerap datang dikepalanya, dan pada akhirnya tidak bisa ia jawab sendiri.
“Mas mau makan enggak? Aku masak ya.”
Dio tidak membalas, ia sibuk mencari-cari, mengecek-ngecek lalu melihat gawainya dan seperti itu berulang-ulang. Tari membiarkan Dio melakukannya, Tari memilih memasak untuk makan siang, untung sempat ia membeli beef slice, buah dan beberapa sayuran di supermarket yang berada di bawah apartemennya untuk makan siang.
“Nih Mas makan dulu.”
“Udah diisi ya vitamin, obatnya.”
“Ya ampun gerak cepat banget Mas, by the way cepet banget dari Bandung ke Jakarta.”
“Emang lagi di Jakarta lagi seminar.”
“Kok enggak bilang sih? Enggak nginep sini?”
“Sayang dapat jatah hotel bintang lima masa dibiarin gitu aja.”
“Tetep ya.”
“Iya dong wajib, daripada hangus kan sayang kalau enggak dapet hotel baru nginep sini.”
“Hahaha, eh makan dulu Mas!” Dio mengambil piring yang sudah dihidangkan oleh Tari, sambil menunjuk ke arah lemari yang tempat sekumpulan vitamin dan obat diletakan.
Setelah makan siang, Dio pun kembali ke hotelnya dan melakukan serangkaian seminar yang berada di ballroom yang berada di hotel tersebut. Tari mengantarnya sampai basemen, Dio berjanji bahwa ia akan datang kembali malam hari, besok pagi dan besok siang. Ia pun menawarkan mobilnya untuk digunakan oleh Tari, namun Tari menolaknya dan memilih menggunakan taksi seandainya ia memang harus pergi.
Tari kembali ke kamarnya menggunakan lift, ia punya akses sendiri menuju kamarnya. Tari masih merasa kesal atas kejadian kemarin. Terjebak. Kata tersebut yang yang bisa mewakilkan keadaanya saat ini. Ia pun kecewa terhadap Hito teman, lebih dari itu, sahabatnya, orang yang ia percaya bahwa hal yang menakutkan seperti kemarin tidak terjadi.