Perempuan umur 32 tahun. Belum menikah dan tidak akan berencana menikah. Tidak punya pacar dan berencana punya selamanya. Tidak semua orang harus tahu alasannya, tidak semua orang tahu apa statusnya tapi mengapa kerap kali mencampuri dan merasa paling benar. Dan sekarang tidak semua orang harus tahu bahwa ia dan Laura bertemu termasuk keluarganya dan Arifin.
Tari kembali ke apartemen, tak lama kemudian Dio datang dengan membawa banyak makanan kemudian kembali lagi menginap di hotel. Ia lupa untuk membeli makan malam, untung saja Dio membawakan untuknya. Tari menelepon ayah dan ibu dilanjutkan menelepon Hadi memberitahukan apa yang terjadi dua hari lalu.
Respon mereka semua sama, khawatir. Sedih sudah pasti, dan bersyukur Arifin ada di sana. Mereka menyuruh untuk segera kembali ke rumah, tapi setelah bilang kalau di sini ada Dio yang sedang seminar, mereka terdiam dan hebatnya setelah mengatakan jika dua hari lagi pembukaan pameran Arifin mereka melarang untuk pulang, dan akan mengirimkan pak Jojo. Tari melarangnya karena ada Dio dan Arifin, walau sebenarnya ia tetap menggunakan taksi online untuk ke mana-mana, ayah dan ibu kembali memuja-muja Arifin. Tapi ia layak untuk itu, tanpanya entah bagaimana nasibnya saat ini.
Berbeda dengan Hadi, jelas berbeda. Hadi sangat marah dan akan melaporkan Hito ke polisi, tentu Tari melarang untuk apa, dan ia tidak kenapa-napa. Emosi Hadi meluap-luap, Tari merasa salah bercerita pada Hadi seharusnya lebih baik ia tidak bercerita.
Sekarang Tari sudah terbebas dari segala tuduhan pelakor oleh Laura namun stigma perawan tua belum usai, dan tidak akan usai. Sebenarnya Tari sudah tidak peduli dengan stigma tersebut namun tetap saja jika orang ikut campur dalam permasalah tersebut apalagi menjodoh-jodohkan sangat menyebalkan.
Lagi, tinggal apartemen membuatnya berpikir banyak hal, di rumah bisa terdistraksi oleh berbagai hal misalnya paket yang datang atau suruhan makan pagi-siang-malam, atau sekedar ibu melihat ke dalam kamar apakah anaknya masih hidup atau enggak. Lamunan-lamunan buyar seketika, namun di apartemen membuatnya tidak terganggu oleh apapun, dan lamunan yang semula hanya dalam benak kini menjadi pikiran oanjang.
Di balik jendela apartemen, dan terangnya lampu-lampu malam, tidak menunggu apa-apa, tidak mencari apa-apa dibelenggu stigma terancam oleh pandangan. Menjadi makhluk sosial tidak selalu nyaman, menjadi makhluk individual tetap butuh bersosial. Adakah tempat nyaman tanpa stigma, bukan takut tapi lelah. Bukan tidak kuat tapi akan retak dan hancur.
***
Arifin meneleponnya setelah berhari-hari menghilang. Bukan tanpa alasan, tapi karena pameran yang sudah mendekati waktunya. Ada rasa kesal pada Arifin karena tidak menghubunginya namun siapa dirinya pacar juga bukan.
Hai. Apa kabar. Pertanyaan awal dalam setiap pembicaraan mereka baik telepon maupun bertemu langsung, dan di jawab dengan baik, kamu gimana. Arifin meminta maaf karena tidak menghubungi Tari dalam beberapa waktu belakangan ini, ia pun terkejut untuk apa meminta maaf, tidak ada yang salah dan bukan kewajibannya bukan. Dan terulang lagi permintaan maaf menjadi soal di antara mereka.
Sejujurnya Arifin menghubunginya seperti angin segar, dan ia pun menceritakan bagaimana persiapannya selama ini dan sengaja tidak mengajak dirinya seperti yang dijanjikan karena Arifin tidak mau sesuatu terjadi padanya, Tari paham kekhawatiran Arifin ia tidak normal dan bukan orang normal dimata Arifin.
“Oh ya enggak apa-apa kok Fin.”
Hari itu juga mengajak Tari makan siang dan menemaninya untuk berbelanja pakaian yang akan digunakan untuk pameran, lalu Tari pun bilang bahwa ia sudah membeli kemeja lengkap dengan celananya untuk Arifin, tentu ia senang bukan main. Mereka tetap memutuskan untuk makan siang bersama. Arifin menutup teleponnya dan Tari pun mulai bersiap untuk makan siang bersama.
Entah untuk apa ia menunggu Arifin sampai seperti ini, harusnya ia pulang dan datang ke pameran seperti tamu yang lainnya, gumamnya. Tari mengambil blouse dan celana jeans kali ini ia tidak menggunakan mini dress seperti pada biasanya. Walaupun 80% pakaian Tari adalah mini dress ia tetap punya pakaian lainnya, seeperti blouse celana kain, celana jeans, kaos, berbagai outer dan celana pendek. Turun menuju lobby dan sudah ada Arifin di sana, Arifin lebih cepat datang dibandingkan janjinya.
“Kok bajunya?”
“Jelek ya?”
“Enggak.”
“Bagus?”
“Ya bagus pasti.”
“Cuman?”
“Sudah lama banget kamu enggak pakai baju begini.”
“Aneh ya?”
“Enggah, cuman saya enggak biasa aja. Yuk!”
Mereka pun makan siang disebuah restoran tepian pantai utara Jakarta, kemdian memesan menu makanan. Wajah Arifin tampak kurang tidur, ia pun kelelehan bisa jadi ia cukup capek menghadapi persiapan pameran, untuk meng-instal menbutuhkan banyak waktu, tenaga, pikiran bahkan sebelum pameran.
“Kita enggak usah lama ya.”