Setengah hari menyambangi pameran tunggal Arifin, rasanya kaki mau copot begitu juga dengan jantungnya. Bukan saja karena area yang luas untuk digunakan sebagai pameran tunggal, namun penataan yang cukup indah membuat satu bagian saja seperti membongkar rahasia, untuknya. Tari pulang sendiri tidak menunggu Arifin untuk mengantarnya bahkan ia tak menemui Arifin.
Untuk Tari bukan hanya sekali datang ke pameran fotografi, bukan hanya Arifin sebagai artist yang pernah ia temui, tapi satu-satunya fotografer yang menggunakan dirinya dalam pameran tunggal hanya Arifin. Tari membuka sepatu, menghapus makeup tapi tidak mengganti pakaiannya ia merebahkan diri ke atas tempat tidur melihat langit-langit kamarnya. Hari ini tidak biasa, baginya, banyak kejutan untuk dirinya sendiri. Memulai, tumbuh bersama dan memilih jalan masing-masing untuk berkembang, lalu bertemu kembali pada ujung karirnya. Arifin. Satu kata yang tidak pernah ia lupakan, satu kata merasa bersalah, selalu.
Tari memejamkan mata, rasanya melihat cerminan diri sendiri pada media lain dan bukan dari sudut pandang dirinya. 70 foto memuat karir dari mulai masa foto pengiriman untuk gadis sampul, foto untuk pakaian mulai dari pakaian distro hingga barang branded, dari mulai majalah remaja sampai majalah wanita. Satu hal yang tak dapat ia mengerti, selama belasan tahun mereka tidak pernah saling bertemu mengapa Arifin bisa memotret dirinya.
Mam ibunya Arifin pernah bercerita bahwa Arifin selalu mengumpulkan fotonya dari berbagai majalah selama belasan tahun. Ia bisa saja memotret secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, kehidupan mereka tidak jauh berbeda bukan jadi bukan sesuatu yang mustahil tersebut terjadi. Tari memejamkan lebih dalam matanya, sungguh ia tidak masalah dengan itu semua namun mengapa secara sembunyi-sembuyi.
Foto yang dihadirkan tidak menampilkan dirinya semua, terkadang hanya siluet, hanya banyak, keramaian, catwalk barulah bagian akhir ia benar-benar diminta untuk difoto oleh Arifin. Semua orang yang hadir akan berpikir bukan dirinya, mungkin tidak akan ada yang menyadari. Namun semua foto yang dipamerkan hanya ada satu yang ingin ditampilkan Betari Marisa.
Belum lagi baru saja Arifin mengakui bahwa selama ini ia menderita buta warna total, semua foto yang hadir dari sudut kejujuran matanya, tanpa harus mengulik teknologi dan komputerisasi. Melihat dari sudut pandang lain, dan kamera menjadi alat untuk penyempurna dibalik dirinya yang sama sekali tidak sempurna teruta untuk sebuah profesi.
Tari merasa kepalanya mau pecah, Arifin bisa saja benar-benar mau berkata jujur tapi kejujurannya bisa menghancurkan karirnya. Selama ini ia tutupi karena ia tidak mau terlihat kurang, selama ini ia tidak mau disinggung soal mata dan takut untuk orang-orang mengetahui bahwa dirinya buta warna, sehingga orang-orang tahunya ia seseorang yang normal tanpa kekurangan.
Setelah semua yang terjadi hari ini, Tari berpikiran untuk pulang ke Bandung. Mungkin dengan kembalinya ke rumah semua hal yang selama ini menjadi pikirannya akan berhenti ia pikirkan, dan berlalu.
***
Ayah dan ibu berencana untuk menjemputnya dua hari lagi, ia diundang Arifin untuk datang ke pamerannya. Untuk menghubungkan ayah dan ibu pada Arifin tidak lagi membutuhkan Tari sebagai penghubung, mereka sudah biasa saling bicara bahkan Arifin tidak memberitahuny bahwa ayah dan ibunya akan datang untuk melihat pameran. Tari memang tidak mengajak kedua orangtuanya karena ayah masih bekerja dan ibu tidak akan pergi tanpa ayah hanya untuk sekedar melihat pameran dan bukan urusan darurat
“Ya Ayah, emang ayah enggak ada pasien?”
Tanya Tari, ia masih enggan mengajak ayahnya ke pameran, dan ayah menjawab bahwa ia sudah mengajukan cuti hanya untuk melihat sebuah pameran foto. Kali ini Tari merasa gagal untuk melarang ayah melihat pameran, sedangkan ia sama sekali belum bicara apapun dengan Arifin mengenai ini, dan mengenai hak sebelumnya semenjak hari terakhir mereka saling menatap.
Jadi ayah akan datang lusa lalu menginap di sini, besoknya ke pameran dan pulang. Apartemennya cukup luas dengan dua kamartbyidur, ruang makan, dapur ruang keluarga juga terdapat balkon memiliki akses sendiri pada lift. Mungkin ini untuk pertama kalinya ayah dan ibu menginap di apartemen karena biasanya mereka hanya mampur atau bahkan menunggu di lobby.
Tak lama dari telepon Ayah Arifin pun menghubunginya. Halo, apa kabar dan permintaan maaf atas kemarin karena tidak dapat menemaninya pada saat pameran. Lagi Arifin meminta maaf untuk hal yang seharusnya tidak ia lakukan karena tidak ada yang perlu dimaafkan, menurut Tari. Kemudian ia melanjutkan bicaranya dan mengajak Tari untuk makan siang, tentu Tari menyetujui untuk makan siang bersama. Mereka akan bertemu pukul sebelas siang disebuah restoran yang tak jauh dari apartemen Tari, dengan segera ia pun berganti pakaian dan menuju ke restoran yang dituju karena hari sudah menunjukan pukul sepuluh siang.
“Kamu enggak stay di pameran?”
“Kamu marah?”
“Enggak kok, cuman nanya aja nggak apa-apa kan?”
“Nanti balik lagi beres makan siang.”
“Oh oke.”
“Kamu mau makan apa?”
“Samain aja.”
“Menurut kamu gimana pamerannya?”
“Bikin badan rontok tau Fin.”
“Maaf kalau kamu nggak berkenan.”
“Bukan gitu maksudnya.”
“Maaf kalau saya bikin kamu nggak suka dengan pameran saya.”