Pergi hanya menambah masalahnya. Pergi bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Kepergiannya kali ini tidak seperti biasanya, kegelisahan atas diri yang menghindar dari sikap yang ia buat sendiri. Tidak bertanggung jawab, sisi lain dari Tari di balik kesempurnaan di belakang kamera dan ia lakukan lagi pada Arifin
Ibu melihat wajah gelisah menerpa anaknya sejak pintu mobil tertutup otomatis. Pak Jojo melaju dengan kencang, seperti ibu pada ayah, mereka hanya menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara. Ibu hanya berisyarat pada ayah, dan ayah menepuk pundak pak Jojo yang berada di sebelahnya untuk tidak terlalu kencang menjalankan mobil, pak Jojo menurut.
Tari tidak menoleh sedikit pun pada ayah dan juga ibu, ia hanya meluhat ke depan tetapi tatapannya kosong. Sesekali memejamkan mata, sesekali menarik nafas. Ayah sekalipun ibu tidak akan bertanya apa-apa, tidak juga berusaha menanyakan apa yang terjadi. Ia hafal anaknya sejak umur 3 tahun, bahwa anaknya tidak akan bicara apa-apa sampai masalahnya selesai.
Bahkan saat ibu kandung beserta adiknya mati bersamaan ia tidak melihat sedikit pun air mata yang mengalir, ibu pikir mungkin karena masih terlalu kecil untuk mengerti. Tahun demi tahun, tak sekalipun ia bertanya mengapa ibunya terlalu cepat meninggalkannya. Bahkan ibu bertanya mengapa tidak pernah mempertanyakannya, Tari hanya menjawab ibuku yang sekarang hanya ibu. Tari punya ruang tersendiri untuk ibu, oleh karena itu ibu tidak pernah meragukannya.
Ibu. Sekalipun bukan ibu kandung, bukan juga ibu tirinya dia satu-satunya makhluk yang paling mengerti tentang Tari, walau ia tidak pernah bicara banyak tidak juga banyak bertanya, ibu lebih siap memberi ruang atas semua tindakan Tari. Terkadang Tari lebih senang bicara pada kedua kakaknya yang akhirnya ia ketahui menaruh perasaan. Dan sekarang setelah tahu semuanya, Tari menjaga jarak.
Namun ibu sebuah sisi lain menjadi benteng pertahanan yang berusaha agar dirinya tetap hidup, selain ayah yang paling tahu kondisi fisiknya. Seandainya ibu kandungnya masih ada mungkin tidak akan melakukan hal yang sama dengan ibu saat ini, oleh karena itu ibu ada bersamanya sekarang.
Ibu menatapnya, namun Tari membuang muka, ia tahu kalau menatap ibu maka akan bersimbah air mata dan ibu akan melakukan hal yang sama, Tari tak mau hal tersebut terjadi. Ibu paham anaknya tidak akan menatap, ia tidak akan kecewa tidak juga bersedih, sudah biasa ia dapatkan sejak usianya berumur 3 tahun. Saat ia mau memeriksa kondisinya saat pertama kali tiba di rumah sakit lalu masuk ke dalam ruang periksa, Tari memalingkan wajahnya, ibu terus berupaya menatap ia tidak akan putus asa, lalu menjabat tangannya dan Tari membalasnya, kini pun sama. Tidak ada yang menyuruhnya menatap, tapi air mata sudah tak kuasa lagi tertahan, sama seperti puluhan tahun lalu dan puluhan kali terjadi hingga saat ini. Tari memeluk ibu, sambil berbisik, ibu. Pergilah nak, balasnya. Diam-diam ayah mengambil helaian tisu yang terdengar gesekan tisu yang keluar dari kotaknya.
Tari kembali ke pameran, ayah meminta pak Jojo meminggir dan berhenti di tengah perjalanan, dan meneruskan menggunakan taksi online, sedangkan ayah dan ibu kembali ke Bandung karena mereka harus bekerja. Mereka tidak melarang anak gadisnya, membiarkan melakukan seseuatu yang seharusnya harus dilakukan. Tari kembali memeluk ibu, sambil berucap terima kasih dan salam pada ayah, tidak ada satu kata pun yang ia ucapkan, tapi Tari tahu ayahnya mengerti. Ia membuka pintu mobil dan bertukar tempat duduk, ayah ada di sebelah ibu.
Pak Jojo belum berlalu, mereka akan menunggu sampai Tari masuk ke dalam taksinya. Akan tetapi pemandangan yang tak biasa terlihat, ayah dan ibu saling berpelukan pintu kaca terbuka, mungkin sengaja agar dengan mudah melambaikan tangan lebih mudah, isyarat mereka mengatakan beban mereka belum usai. Lalu melepaskan saat mereka sadar Tari melihatnya, lalu lambaian tangan dan ucapan selamat jalan mereka ucapkan saat Tari menaiki taksinya.
***
Jalanan begitu padat, Tari menutup wajahnya dengan tangan di balik kaca mobil dari terik matahari tak tertahankan, kaca film tidak dapat menjadi penyaring teriknya. Rasa gelisah ingin cepat sampai, ia harus kembali. Walau dirinya masih bertanya-tanya untuk apa sebenarnya ia melakukan semua ini, itu bukan pertanyaan yang bagus untuk ditanyakan sekarang. Pandangannya tak lepas dari jalanan ibu kota, kemudian merasa lega karena jalanan mulai terurai.
Sampailah Tari di sebuah galeri temoat biasanya pameran diselenggaran. Warna outih mendominasi bangunan peninggalan kolonial dengan ubin yang masih dipertahankan keasliannya, serta lampu gantung yang masih tetap sama hanya penambahan beberapa bagian di bagian taman.
Tari turun dari taksi tersebut, di sana masih banyak orang, bahkan semakin banyak, masih juga mengerubungi Arifin. Perhatian mereka kembali terpecah saat Tari datang. Suasana menjadi hening, Arifin lantas terkejut dibuatnya, ia tak menyangka Tari datang. Wajah mereka saling memandang, namun tak satu pun kata terucap, gaya bahasa tubuh mereka seolah bicara, mari kita selesaikan bersama.
Tari mengambil kursi, beberapa orang akhirnya membantunya untuk mengambil kursi dan meja, Arifin masih terpaku seolah tak percaya kedatangan Tari. Mereka seharusnya bersama sejak beberapa hari lalu dan memakai baju yang senada, sekarang kembali pada gaya masing-masing. Arifin kembali dengan kemeja putih coklat tua sedangkan Tari menggunakan mini dress warna merah muda. Mereka seharusnya membuka pameran tersebut bersama, tapi Arifin menghargai Tari yang menolak.
Seolah tak percaya, Tari menarik tangan Arifin dan duduk bersama. Kamera sudah siap untuk merekam apa saja yang akan mereka katakan, baik media maupun orang-orang yang datang berkunjung. Sudah pasti keadaan ini akan menganggu untuk orang yang datang hanya ingin melihat karya dan tak peduli dengan kehidupan pribadi.
Sorot lampu dari kamera, lebih banyak dari beberapa hari lalu saat pembukaan pameran, seolah mereka menunggu momen yang tepat. Kita tidak pernah tahu siapa yang akan datang dengan segala rencananya seperti hari ini. Karya tidak ada hubungan dengan kehidupan pribadi menurut Arifin, karyanya tidak akan terganggu sedikit pun oleh masalah pribadinya, namun saat karya tersebut hadir maka orang akan mencari tahu siapa sosok di belakangnya.
Tari sangat tenang, layaknya model di depan kamera ia tersenyum dengan posisi layak untuk difoto dan tersebar diberbagai media, tidak seperti setengah jam yang lalu. Sedangkan Arifin, ia sama sekali tidak tahu akan bicara apa, walau wajahnya tampak terlihat tenang.
“Selamat siang semua, maaf tadi saya harus mengantar kedua orang tua untuk pulang ke Bandung jadi buru-buru. Awalnya saya mau ikut mereka pulang karena sudah lebih dari dua minggu saya berada di Jakarta, mereka sengaja menjemput saya.”
Tari mengawali bicaranya, ia sama sekali tidak merencanakan apa-apa bahkan perkataaanya mengalir begitu saja. Arifin sangat gugup, tapi ia harus mengimbangi Tari bicara seolah semuanya terencana. Seharusnya ini terjadi saat pembukaan bukan hari ini, bukan juga membicarakan persoalan pribadi tapi karya, gumam Arifin, ia kecewa sekaligus takjub disaat yang sama.
“Ya silahkan jika mau ada yang ditanyakan, begini lebih baik sehingga tidak ada pertanyaan berulang.”