Beberapa hari lalu Feni menghubunginya namun tidak terangkat, lalu Tari kembali menghubunginya namun Feni tidak mengangkatnya dan kerjadian tersebut berulang. Tari sengaja membeli gawai baru dengan nomor yang baru, tapi tidak membuang gawai beserta nomornya yang lama.
Ia punya batas kemampuan untuk mendengarkan hal baik atau pun sebaliknya, karena dengan caranya memandang terkadang menjadi hal yang terbalik. Gawai barunya hanya Arifin kedua kakaknya, ayah dan ibu saja yang tahu. Hal tersebut yang membuat telepon Feni jarang terangkat.
Feni bahkan datang ke rumah beberapa kali kata ibu, bahkan ia datang ke pameran namun entah mengapa mereka tidak saling bertemu padahal Tari setiap hari ada di sana, untuk menemani Arifin sampai pameran tersebut usai. Sampai akhirnya Tari menelopon Feni dan tersambung. Feni mengajaknya bertemu, tentu Tari menyetujuinya. Feni akan datang sebelum makan siang, itu artinya mereka akan makan siang bersama. Tari tidak menyiapkan apa-apa ia berencana untuk memesan makan makanan melalui aplikasi online.
Apartemennya tidak bisa diakses oleh sembarang orang memiliki penjagaan yang ketat, Tari memberikan daftar orang yang boleh masuk ke apartemennya tanpa harus melalui persetujuannya salah satunya Feni. Ia tidak menghapus Feni dari daftar orang yang boleh masuk ke apartemnnya, entah mengapa Tari percaya bahwa suatu hari nanti Feni hadir kembali di apartemennya.
FENI!
Seperti tidak terjadi apa-apa mereka saling berteriak memeluk satu sama lain, mereka sudah tidak bertemu sekian lama. Feni merebahkan tubuhnya ke sofa, lalu Tari menyiapkan es kopi susu untuk Feni dan memberikan satu dus donat yang baru saja ia beli.
“Apa kabar Fen?”
“Ya gini deh gue.” Ia memakan dua donat sekaligus tanpa dipersilahkan.
“Nyari gue ya?”
“Cape ya nyari model papan atas.”
“Kan udah pensiun dini.”
“Apaan yang pensiun, satu pameran foto lu semua.”
“Lu nyadar itu foto gue semua?.” Tari memberikan satu gelas es kopi susu.
“Sejak kapan bisa bikin es kopi sendiri? Ciee udah mahir ya Bu!”
“Maksud lo?”
“Ya mahir bikin kopi, pasti buat Arifin!”
“Duh jangankan bikin kopi, sekali pun dia menginjakan kaki ke apartemen gue aja belum, cuman sampai lobby maksimal sampai lift.”
“Aslinya?”
“Ngapain gue bohong.” Tari duduk di sebelah Feni.
“Gue bisa bikin kopi sendiri karena bosen beli terus, udah sebulan di apartemen enggak mungkin beli kopi sehari 3 kali, boros banget hidup gue mana pengangguran.”
“Lo sebulan di sini? Gue ketinggalan banyak cerita nih.”
“Lebih dari sebulan gue di sini. Fen sori ya kalau kemarin-kemarin gue ngomong di media, semuanya udah numpuk jadi gue selesein aja.”
“Karena itu gue datang ke sini, baru juga gue tinggal beberapa bulan lo udah beda aja. Lo paling anti dimintai klatifikasi nah tiba-tiba muncul di mana-mana makin cantik lagi.”
Tari menghembuskan nafasnya, sebulan di apartemen dan malam menjadi kawan untuk memikirkan banyak hal termasuk hubunganya dengan Arifin. Ia tidak bertemu siapa-siapa selain Dio yang kebetulan berada di Jakarta karena seminar, lalu Laura, orangtuanya dan Arifin. Sedikit berinteraksi dengan orang bahkan media sosial, mwmbuat dirinya menyadari banyak yang salah, termasuk pada Feni.
“Fen maafin gue ya, marahnya berlebihan sama lo.”
“Ya salah gue juga, ngapain mau jadi budaknya si Hito nyomlangin lu harusnya profesional aja kerja ya kerja, eh by the way gue udah resign dari kantornya Hito.”
“Hah serius lu? Jadi lu pengangguran?”
“Ya enggak, lu doang yang pengangguran gue kagak. Gue dapet kerjaan di agensi nya Bu Miranda temannya Laura mantan istrinya Hito.”
“Hah kok bisa?”
“Iya dia tahu dari media gue udah enggak megang Lo, jadinya dianggap berkompenten. Gue masih ada kontrak Hito tapi gue resign baik-baik ya udah deh bebas gue.”
“Selamat ya Fen, gue ikut senang dan bangga sama Lo.” Tari memeluk Feni. Dalam bisikannya tanpa lu gue enggak bisa kayak gini. Tari menangis begitu juga Feni.
Dua orang pernah salah, mengakui kesalahan dan saling meminta maaf. Bukan sisi buruk yang tampak, tapi sisi lain untuk saling mengerti. Tidak harus selalu tampak baik, bukan manusia namanya, baik dari sisi mana kadang dianggap buruk, tapi untuk paham itu pilihan mau atau tidak, paham.