Setelah mengantar Tari ke rumahnya, ia menyempatkan diri untuk mengelilingi kota Bandung, yang penuh dengan kenangan bersama keluarga dan teman-teman. Masa kecil yang tidak pernah ia lupa, tinggal di sebuah gang kecil yang tedapat di daerah Cicadas. Arifin menghampiri gang yang terdapat di antara ruko dan ruko, masih ramai masih sama seperti dulu, beberapa sudah berubah. Beberapa juga masih ia kenal, namun enggan menyapa, tujuannya hanya melepas rindu.
Saat ia mulai menginjak sekolah dasar ia pun pindah ke sebuah komplek perumahan daerah Bandung Selatan, ayah memiliki karir yang bagus sehingga mampu memiliki rumah yang cukup layak. Rumah tersebut agak besaran cukup menampung ayah, ibu, Arifin dan kakaknya Dian. Ayah kemudia membeli mobil bekas, di sana adiknya lahir.
Seperti rumahnya yang berada di gang kecil ia pun melakukan hal yang sama, berkeliling dan mencari rumahnya. Ayah menjualnya setekah mendapat pekerjaan lebih baik, rumah tersebut jauh berbeda hingga tak tampak lagi seperti rumahnya. Ia melihat dari kejauhan, mengingat-ingat semua kejadian di dalamnya.
Arifin tidak memiliki kenangan buruk bersama rumahnya dan keluargaanya walau biasa-biasa saja. Ayah melakukan tugasnya sebagai ayah begitu juga dengan ibu. Ia sewajarnya anak laki-laki, bahkan saat berpacaran dengan Tari tak ada sepatah kata pun larangan untuknya, ia sangat terbuka dalam hal apapun sehingga tidak membutuhkan orang lain untuk mendengarkan. Ayah dan mama menjadi sahabat terbaiknya, begitu juga dengan kakak dan adiknya.
Dan yang paling menyakitkan saat ia harus pindah dari kota ini, kehilangan teman-teman dan kehilangan Tari. Arifin melanjutkan jalan-jalannya keliling kota ini, menyusuri bersama hujan yang tak kunjung reda. Setiap sudut memiliki cerita tersendiri, ia kembali lagi ke kota ini bukan untuk pertama, kedua, bukan.
Perkenalan pertama di sekolah saat Tari dibopong ke UKS karena pingsan. Tari kerap pingsan bahkan beberapa kali di tahun pertamanya sampai suatu hari Arifin terjatuh dari tangga yang licin sehabis hujan. Hari itu pertama kalinya ia masuk ke UKS karena mengalami luka di sana sudah ada Tari yang menunggu dijemput pulang.
Tari menyapanya lebih dulu lalu, memperkenalkan diri dengan wajah pucat seperti mayat, sudah pasti ia kehabisan darah, Arifin menyambut perkenalan tersebut, untuk anak baru Tari tidak memiliki teman karena lebih sering berada di ruang UKS bahkan tidak masuk sekolah sama sekali. Pertemanan seorang kakak kelas yang akhirnya memberanikan diri untuk memutuskan berpacaran.
Arifin tidak pernah bertanya tentang sakitnya Tari walau ia bolak balik rumah sakit, tidak masuk sekolah bahkan sering kali pingsan, sampai akhirnya Arifin hafal dengan pola tubuh Tari ketika sudah kelelahan dan berdesak-desakan maka ia akan pingsan, Arifin selalu datang ke kelas Tari untuk membelikan apapun saat istirahat, lalu meminta satpam sekolah untuk menyuruh Tari paling belakang dan duduk. Pola tersebut akhirnya diketahui oleh sebagian guru dan beberapa temannya hingga satu sekolah memakluminya.
Di balik jendela hujan Arifin mengingat-ngingat semua hal terjadi atas dirinya dan Tari bahkan lebih dari setengah hidupnya dihabiskan di kota ini. Satu hal yang membuat ia merasa cocok dengan Tari, mereka sama-sama tidak bisa berbahasa Sunda walau lahir dan besar di tatar Sunda. Bahasa daerah kerap menjadi permersatu namun untuk mereka bahasa Indonesia yang mendominasi menjadi tingkat keakraban yang lebih.
Ia sendiri seperempat Inggris dan seperempat Aceh dari ayahnya dan setengah Bugis di rumah menggunakan bahasa Indonesia, tidak memiliki banyak teman untuk memperkaya kemampuannya dalam berbahasa daerah. Bahasa Sunda hanya ia pelajari di sekolah. Sedangkan Tari memiliki pola yang hampir serupa begitu juga dengan keluarga Mardi Suryadinata yang mirip polanya sudah bercampur dan merasa kurang nyaman menggunakannya karena takut salah dalam penggunaannya.
Tari sering menenteng majalah ke mana pun ia pergi, tak jarang ia pun menemani Tari untuk membeli majalah remaja dengan berbagai rupa. Kata Tari majalah menjadi temannya sejak kecil, satu-satu hiburannya yang bisa ia bawa ke mana pun. Rumah sakit membuatnya memiliki sedikit teman, ia tidak begitu menyukai televisi dengan alasan sedikit yang hanya bisa ia tonton, selain acara musik dan film kartun selebihnya tidak bisa ia nikmati.
Arifin sering selalu mendengarkan Tari bercerita apapun, entah mengapa kegiatan bercerita dan saling menceritakan menjadi hal yang paling menyenangkan. Dari sana ia pun mulai menyukai majalah membelinya seperti Tari, dan satu majalah yang selalu ia beli tiap bulan adalah nasional geografi karena banyaknya gambar menjadi ketertarikan sediri untuknya.
Suatu hari satu dari majalan tersebut membuka pendaftaran untuk gadis sampul, Tari meminta Arifin memotonya karena ia kerap memoto, lalu di cetak dan dikirimkan. Arifin mendapatkan kamera atas pemberian kakeknya. Kamera tersebut ia bawa ke mana pun ia pergi, mengumpulkan uang hanya untuk membeli roll film yang cukup mahal harganya bagi anak SMP. Dari sana ia percaya bahwa memiliki kemampuan untuk memoto, dari sana juga Tari tahu bahwa ia bisa berpose di depan kamera.
Saat Arifin menginjakan diri ke bangku SMA dan masih berpacaran dengan Tari di sekolahnya yang baru ia bertemu dengan Hadi dan Hadi menjadi sahabatnya. Mereka satu tim basket. Hadi sangat dekat dengan kakaknya Dio sehingga Arifin pun mengenalnya, tapi Arifin tidak tahu bahwa mereka berdua mengenal Tari.
Arifin masih mengitari sudut kota sebelum akhirnya ia ke hotel untuk bermalam, ia tidak menyangka bahwa kedatangannya kali ini membuat cerita lain. Sahabat, kekasih, keluarga dan segala isinya. Bertahun-tahun ia mengharapkan ini terjadi, berharap Tari tiba dan sahabat yang seharusnya mereka memiliki hubungan baik. Segala semua kenangan tiba-tiba terlentas dalam pikirannya, ia datang untuk satu orang yang sama seperti kepergiannya.
Kembali berdamai dengan segala yang pernah hadir, menerima bahwa ada saatnya untuk menyadari hidup tidak selalu tentang hal-hal baik. Pergi memang tidak pernah menjadi akhir, kembali dan selesaikan yang sudah menjadi takdir.
***
Pagi ini ia harus kembali ke Jakarta beberapa pekerjaan kembali menantinya, Arifin menaiki mobilnya dan menyempatkan untuk sarapan di rumah Tari. Ibu sudah memasak makanan untuknya tidak mungkin ia tolak tawaran tersebut.
Setelah acara basa basi dan makan pagi semi formal dengan segenap pertanyaan tanpa menyinggung perihal hubungan mereka, dan semua cerita yang Tari ceritakan tentang keluarga ini, orang lain menjadi keluarganya sedangkan keluarga yang lain hanya meninggalkan luka. Satu hal yang ia belum mengerti mengapa mereka bersedia untuk menjadikannya keluarga. Arifin berharap menemukan jawabannya.
Keluarga ini sangat hangat, dua orang tenaga kesehatan dengan seorang pasien. Mereka punya keluarga utuh yang hampir tanpa drama. Wajar jika ayah Taro menitipkannya pada mereka namun ya itu mengapa mereka bersedia menerima Tari. Jika finansial menjadi jawabannya rumah keluarga Mardi Suryadinata tak kalah besar dan profesi menjadi dokter sangat menjanjikan.
Arifin mengubur segenap tanda tanyanya selama ini, ia berpamitan pulang pada Tari, Ayah serta ibu kemudian dua asisten rumah tangga yang akhirnya mengenalnya serta pak Jojo menjadi teman baru bagi Arifin.
“Kapan kamu mau saya jemput?”
“Kapan pun.”
Jalanan tidak begitu ramai di hari kerja, tanpa mampir ke mana-mana bahkan rest area membuat perjalanan kembali ke ibunkota lebih cepat. Pekerjaanya lebih cepat beres semua seperti dipermudah, sebuah kontrak kerja untuk memoto sebuah produk dan dua proyek yang masih dalam rencana, akan menyibukannya beberapa waktu kedepan. Tak pernah ia bayangkan bahwa setelah ia berbicara apa yang terjadi padanya selama ini bahwa bidikannya adalah sebuah kesalahan dari mata yang tidak sempurna, menbuatnya memiliki banyak proyek dari sebelumnya.
“Tumben pulang.”
“Iya Yah, maaf nggak bilang dulu.”
“Nggak apa-apa kok, kalau gitu kan Mama masak untuk kamu. Ayah sudah makan di jalan bareng Mama, sengaja enggak masak.”
“Nggak apa-apa kok, ke sini bukan mau makan.”
“Ya sudah nanti kita pesan makanan saja, aneh juga rasanya anakny datang tapi enggak ada makanan.” Mama menimpali.