Sebelum Tari menjawab sebuah pertanyaan yang akan membuat semua berubah, ia menyuruh Arifin untuk berpikir matang-matang. Ketika memutuskan untuk bersama maka bersamanya memutuskan untuk bersama dengan semua yang menyertainya. Kebersamaan ini berbeda dengan kebersamaan pada umumnya, bukan juga kebersaman semasih remaja yang kemungkinan untuk berpisah lebih mudah.
Kita bukan hanya menyepakati bersama, tapi menyepakati ketidak bersamaan dalam berbagai hal, kita akan bersama melewati ketidak bersamaan tersebut mungkin lebih berat dan sulit. Ucap Tari pada Arifin. Bukan hanya itu, Tari pun menyuruh Arifin untuk membicarakan ini semua pada kedua orang tua serta keluarganya. Sedangkan ia sendiri sebenarnya tidak usah bilang siapa-siapa untuk memutuskan, kedua orang tua angkatnya akan setuju terlebih kedua kakaknya, namun ia tetap akan bicara.
Arifin sepakat untuk itu walau ia tidak tahu cara untuk bicara dengan jujur dan baik, setua apapun ia tetap anak-anak semasih memiliki orang tua, ia tetap seorang kakak dari seorang adik dan ia tetap seorang adik dari serorang kakak. Hubungan mereka cukup baik, terkadang lebih baik dari yang ia pikirkan sendiri.
Setelah pembicaraan semalam, ia memutuskan unruk tetap tinggal dan menginap di kamar lamanya. Ia tahu ibunya kecewa sekaligus bingung, ibu pernah diposisi yang sama dengannya sedangkan ayah baru mengetahuinya. Ibu bersikeras memiliki pandangan yang sama dengannya, soal anak soal pernikahan.
“Fin belum tidur?”
Pintu kamarnya terbuka, begitu juga dengan lampu yang ikut dinyalakan. Entah umur berapa ayah terakhir masuk ke kamarnya saat malam tiba.
“Belum, kok Ayah tahu saya belum tidur?”
“Ayah nggak tahu, tapi kalau kamu sudah tidur pasti Ayah bangunkan.”
“Oh. Ada apa Yah?”
“Ayah boleh di sebelah kamu?”
Arifin menggeser tempat berbaringnya, dan menyilahkan ayah mengambil posisi di sebelahnya. Ada dua cangkir kopi yang turut ia bawa sebagai teman lain.
“Ayah kaget sama Mama, sama kamu. Selama ini kamu baik-baik saja, Ayah anggap wajar kamu cuman menyukai satu perempuan.”
“”Memang nggak ada apa-apa kok Yah, sampai kapan pun nggak ada apa-apa.”
“Ini ada apa-apa dong Fin! Ayah tahu kamu punya ruang yang nggak bisa ayah sentuh, Ayah hargai itu. Kamu kenapa?”
“Saya nggak ada apa-apa kok Yah. Saya cuman ingin tahu, kalau saya menikah nanti dan saya nggak punya anak orang tua saya bagaimana, itu saja. Saya nggak mau ada saya yang lain suatu hari nanti.”
“Nah ini masalahnya, kamu gimana? Ayah merasa kita nggak ada masalah, Ayah coba ikutin semua yang kamu mau dengan mencoba mendukung apapun itu.”
“Ayah nggak salah, Mama nggak salah yang salah saya punya pikiran seperti ini. Mungkin buat Mama sebagai pembawa nggak masalah dengan semuanya, tapi saya sebagai penderita buta warna nggak mudah semua ini Yah. Saya nggak pernah bilang karena saya tahu kalian nggak pernah salah soal in.”
“Ayah pikir selama ini kita terbuka soal apapun, soal kamu yang menyukai satu perempuan di dunia ini, soal kamu yang pertama kali bertemu lagi, soal kamu yang marah saat kita pindah dan akhirnya kamu cerita sudah putus. Dengan kamu cerita soal hubungan pribadi, semua tidak ada lagi yang kamu tutupi, ternyata Ayah salah.”
“Saya nggak cerita dan nggak bisa cerita, karena kalau saya cerita, kalian akan berbuat apa saja yang kalian bisa. Saya akan menyakiti hati kalian, saya nggak mau itu.”
“Ayah lebih sakit mendengarnya sekarang karena nggak bisa berbuat apa-apa.”
“Tapi saya jadi sesuatu kan Yah?”
“Kamu lebih dari yang Ayah bayangkan Fin. Dari kecil kita tahu kamu suka gambar, suka sama foto, kamu suka juga melukis, Ayah nggak tahu kamu punya bakat dari mana tapi kita semua tahu kamu buta warna, kamu nggak pernah marah terima kenyataan itu.”
“Saya nggak bisa marah. Saya tahu Ayah kecewa. Maaf.”
“Ayah nggak tahu. Jadi apa yang bisa Ayah lakukan untuk kamu?”
“Dari kecil saya nggak minta apa-apa, seperti Ayah yang tidak pernah menuntut apa-apa. Saya tahu ada sisi lain yang membuat Ayah mengspesialkan saya, selain saya anak laki-laki satu-satunya.”
“Kamu sadar?” Arifin mengangguk.
Malam menjadi panjang, ada lingkaran besar dari jendela seperti bertahan menemani dua orang laki-laki yang sudah lama tidak saling bicara. Salah satunya mencoba meluluhkan satunya lagi bertahan, mereka saling tahu perannya yang akan menjadi abu. Tidak ada kalah, tidak ada menang keduanya tidak menyenangkan.
“Waktu dulu saya nggak tahu bagaimana dan akan menjadi apa, saya nggak tahu. Tapi semenjak saya bisa foto dan tidak ada satu pun yang mempertanyakannya saya tahu mau jadi apa.”
“Ya .…”
“Saya tumbuh dewasa akhirnya saya tahu asal mulanya, saya tahu bagaimana menghentikannya, saya bisa tidak punya anak perempuan untuk memutuskan semua ini.”
“Fin sebegitunya kamu menderita?”