Matanya terbuka setelah beberapa jam tak sadarkan diri, segenap pemeriksaan sudah dilakukan seperti biasa, ritualnya menyambung hidup. Darah menggantung di bagian sisi kiri tangannya, lagi gumam Tari. Ranjang, atap, serta jendela yang sama, warna putih bercampur biru muda wangi ruangan yang sama.
Ia melihat deretan orang-orang seperti biasanya, ayah, ibu, mas Hadi, Dio beserta anak istri mereka, lalu mengucap syukur setelah tahu ia sadarkan diri. Entah sejak kapan mereka ada di sana, sejak kapan mereka berkumpul, tak terhitung doa mereka ucapkan. Puluhan tahun. Sulit untuk membedakan hidup mana yang normal di rumah sakit atau di deoan kamera karena rumah hanya menjadi tempat singgah.
“Sori.” Tari tersenyum, kedua anak Dio memburu tubuhnya menaiki ranjang rumah sakit, sambil memeluk erat sambil berbisik Tante jangan bikin aku takut. Tari terdiam sejenak, ia merasakan getir yang hinggap. Perasaanya campur aduk, anak Dio sudah seperti anaknya juga. Perasaan tanpa batas, seperti itu pula yang diberikan ayah padanya. Tante nggak kenapa-napa. Bisiknya kembali.
“Ayah kali ini berapa tabung?”
“Kalau bisa sih tiga cukup bisa juga sampai delapan, ya terserah Dio saja.”
“Ayah jangan marah janji nggak kayak kemarin lagi.”
“Mau pulang sekarang juga boleh.” Ayah tertawa.
“Iya deh maaf, habisnya nggak tega harus bolak balik rumah sakit, kemarin-kemarin sempat jeda lama hampir lima tahun, sekalinya gini lagi terus-terusan.”
Ruangan tersebut hening seketika, target memutar waktu lima tahun di kepalanya apa yang ia hadapi dan ia lakukan hingga tidak perlu transfusi, sesekali ke rumah sakit untuk pengecekan walaupun sebenarnya bisa ia lakukan di rumah, namun tetap saja membutuhkan track record secara resmi. Pekerjaan yang berjalan normal, mendatangi event-event peragaan busana dalam dan luar negeri, beberapa ia terlibat dalam pementasan, berlenggak-lenggok di atas catwalk seperti tidak terjadi sesuatu apapaun pada dirinya.
“Ayah nggak marah kok, cuman kaget aja kamu bisa juga handle Tari di rumah.” Sambil melirik ke arah Dio.
Ibu berada di sebelah Tari memijat-mijat tubuhnya lalu Tari meraih tangan ibu memberhentikan gerakan lembut, yang tidak berarti apa-apa namun membuatnya memiliki kekuatan. Energi yang dihasilkan oleh tangannya membuat tubuh sampai saat ini bertahan. Mereka saling melirik,saling memberi informasi bahwa semua akan baik-baik saja.
Pintu tiba-tiba terbuka, seseorang yang mulai ia hafal dari baunya. Orang yang selalu wangi, selalu rapih dengan gayanya yang sederhana, cukuo menggunakan celana pendek berwarna coklat dan baju berwarna putih. Mengapa ada di sini, gumam Tari sambil melirik ke arah Hadi. Lagi, ia salah tempat bercerita mungkin lalu penyesalan datang.
Tari teringat kedatangannya ke kantor Hadi, serta pembicaraan terakhir mereka yang belum selesai jauh dari kata akhir, belum sampai ujungnya. Walaupun Hadi akan bicara pada semua orang tapi Tari tidak pernah jera untuk mengulanginya, dia tempat paling nyaman sekaligus paling menegangkan. Namun langkah itu tak dapat ia hentikan, terus maju menuju ranjangnya.
“Kata gua juga apa, kalau sama dia bocor.”
“Kalau ngajak dinner satu kantor tahu, dari satpam depan sampai cleaning service, ngapain coba dinner doang bilang ke semua orang.”
Seketika semua yang berada di ruangan tersebut tertawa. Tari menarik nafasnya, rasanya percuma untuk marah hanya membuang-buang waktu, menciptakan kecurigaan.
“Hai kapan sampai?”
“Emmm sudah lumayan lama.”
“Siapa yang ngasih tahu, Ayah-Ibu ya?”
“Bukan.”
“Kalau gitu Bang Hadi.”
“Kenapa si Dio nggak pernah dicurigai sih?”
“Nggak mungkin gue ngomong sama orang-orang.”
“Iya sampai nyembunyiin pasien di kamarnya sendiri.”
“Ah Ayah terus saja di ulang.”
“Tar kita pulang dulu ya.”
“Makasih Kak Lana.”
“Anak-anak besok masih harus sekolah, aku besok ke sini lagi kok buat nemenin. Dio nggak apa-apa kok kalau di sini.”
“Hati-hati ya Kak, dan dua anak paling cantik di dunia.” Tari memeluk dua ponakannya dan juga Lana yang berpamitan pulang.
“Pulang juga, besok ada operasi jadi harus istirahat.”
“Ibu juga pulang kalau begitu.”
“Yaaah siapa yang jagain? Oh masih ada Ayah.”
“Ayah nggak ada jadwal jaga, pulang juga ikut sama Ibu.” Tari melirik ke arah Hadi dan Maya keduanya serentak menolak menunggui dengan alasan pekerjaan.
“Mulai sekarang ada yang mau ikut nungguin yang lagi acara ritual.” Hadi menunjuk ke arah Arifin.
Ayah, ibu, kedua kakaknya, beserta istri dan anak mereka berangsur keluar dari ruangan tersebut. Dio sempat berbicara pada Arifin, bila terjadi sesuatu pada Tari. Kemudian pintu ruangan tertutup tersisalah mereka berdua di sana. Seumur hidupnya baru kali ini ia ditunggui oleh orang asing, bukan dari keluarganya bahkan sekalipun Feni managernya tidak diizinkan untuk menginap bahkan mengetahui penyakitnya.