Hari sudah larut malam Tari mendatanginya pengacaranya di kediaman pribadi, ia tahu bukan lagi jam berkunjung soal pekerjaan, terlebih bukan di kantor. Ia datang sendiri tanpa pengawalan, tanpa supir, lalu mengetuk pintu rumah tersebut disambut dengan perempuan muda yang tak lain adalah istrinya. Perempuan tersebut menyambutnya menyuruh, mempersilahkan duduk dan memberikan secangkir teh hangat, lalu di balik ruangan lain seseorang datang sudah menggunakan perlengkapan untuk tidur, berbadan tambun, dengan wajah kelelahan, keduanya sama-sama terkejut dengan kehadiran masing-masing.
“Tar ngapain kamu malam-malam ke sini.”
“Maaf Om.”
“Nggak masalah kapan pun kamu datang pasti Om akan senang, cuman ada apa?”
“Om sehat?”
“Kemarin baru kateter jantung tapi sekarang sudah balikan, sudah dua hari ke kantor lagi.”
“Maaf Om saya nggak tahu, kalau tahu saya jenguk.”
“Nggak masalah, gimana hubungan dengan manager kamu?”
“Sudah baik-baik sekarang. Oh iya Om, saya mau tanya semua aset saya.”
“Kamu ada masalah dengan Pak Mardi?”
“Nggak ada, mereka baik-baik dan saya nggak punya masalah. Saya mau lepasin beberapa.”
“Oh ya, kamu pernah bertemu ibu tiri kamu?”
“Nggak pernah sama sekali, semoga dia baik-baik saja “
“Dia kemarin-kemarin datang, minta tanah yang ada di Cianjur.”
“Kasih saja Om, saya nggak peduli.”
“Dia sudah nikah lagi, bahkan dua kali. Suami setelah Papah kamu meninggal juga, ya semoga dengan yang sekarang baik-baik saja.”
“Ya semoga, pokoknya atur aja gimana Om.”
Om Darwin mengambil berkas-berkas yang ada di ruang kerjanya, lalu menjelaskan apa saja yang dimiliki oleh Tari saat ini. Tidak ada yang berkurang, hilang kepemilikan bahkan jika dihitung asetnya bertambah, seiring berkembangnya perusahaan yang dikelola oleh Hadi.
“Om saya mau lepasin rumah, dan perusahaan seutuhnya sama Hadi, Pak Mardi dan Dio. Beberapa yang lain saya minta rinciannya, mau saya atur-atur buat ke mananya.”
“Loh kenapa, hidup kamu nanti gimana?”
“Bekal yang saya punya sudah cukup untuk hidup, mereka sebenarnya juga berkecukupan bahkan lebih, mereka nggak butuh-butuh banget, tapi saya tahu Ayah memiliki banyak anak asuh kaya saya, pasien-pasien yang nggak semampu saya untuk menjalani pengobatan yang biayanya nggak murah. Ayah nggak usah cari lagi donasi sana-sini, atau kebingungan dengan mengupayakan asuransi, kalau dia mau bantu langsung ada. Saya tahu nggak banyak, tapi setidaknya bisa sedikit membantu.”
“Terserah Om mau bikin suratnya kayak apa, hibah, warisan atau apa.”
“Papah kamu ninggalin semua ini buat kamu Tar.”
“Saya tahu, tapi saya lebih mengerti kenapa Papah menitipkan saya di keluarga dokter Mardi, bukan dikeluarga dia yang sebagian masih hidup atau bahkan sama Om.”
“Ya sudah kasih waktu Om untuk bikin semua surat-suratnya.”
“Terima kasih ya Om, saya pamit dulu maaf mengganggu, semua saya percayakan dengan Om, soal lain-lainnya nanti Om hubungi saja aja.”
Tari mengambil tasnya, dan bangkit dari tempat duduk, lalu perempuan yang menyambutnya kembali datang untuk menyalaminya, Tari pun berpamitan. Keduanya mengantar Tari sampai mobil.
“Hati-hati ya Tar, Om sayang sama kamu, bukan Pak Mardi dan keluarganya saja.”
“Saya tahu Om, terima kasih. Saya juga.”
“Oh ya salam buat Arifin.”
“Ya Om pasti saya salami.”
***
Tari tiba di rumah, ayah dan ibu sudah menunggu sejak sore. Ia mendadak memberitahu kedua orangtuanya karena kedatangannya pun mendadak. Berikut dengan Dio, istri dan kedua anaknya, Hadi beserta istrinya pun ada di sana. Kedatangan Tari yang tidak bisa setiap saat, membuat mereka semua menunggu.