Dalam keremangan lampu kelab malam, seorang wanita mengampiri Rexa dan menemaninya minum. Rexa tahu kalau wanita itu hendak menggodanya. Sudah beberapa malam ini wanita itu menemaninya minum. Sesekali wanita itu menggodanya dengan sentuhan lembut yang membuat Rexa tidak bisa menghindarinya.
Rexa menarik wanita itu dan mulai mengecup bibirnya dengan rakus. Entah kenapa malam ini Rexa harus melampiaskan ganjalan yang ada di hatinya. Walaupun hanya sebagai pelampiasan semata, tetapi wanita itu terlihat tidak keberatan dengan perlakuan Rexa padanya. Wanita itu justru menanggapi aksi Rexa dengan ritme yang sama menggairahkannya dan menikmati keintiman yang sedang terjalin di antara mereka berdua. Hingga tiba-tiba Rexa melepaskan pagutan mereka dan menggeram kesal.
Tanpa bicara apa pun, Rexa pergi meninggalkan wanita tersebut begitu saja. Rexa berjalan sempoyongan keluar dari kelab malam tersebut. Setengah sadar dia naik taksi yang memang sudah dipanggil pegawai kelab malam sebelumnya.
Selama perjalanan, Rexa memejamkan matanya berusaha mengenyahkan kenangan yang membuatnya jatuh terpuruk. Bahkan untuk bercinta dengan wanita lain pun dia tidak bisa. Semuanya karena wanita itu, satu-satunya wanita yang membuat dunianya hancur berkeping-keping. Wanita yang membuatnya hancur hingga tidak tersisa.
Bahkan ketika Rexa sudah turun di lobi hotel tempatnya menginap, rasa sesak di dadanya itu belum juga hilang. Rexa menarik napas panjang seolah paru-parunya kehabisan oksigen kemudian mengembuskannya kuat-kuat berharap semua rasa sesak itu hilang. Namun sesak itu tidak akan pernah hilang.
Setengah sadar dan kepala terasa seperti ditimpa bola besi, Rexa segera naik lift menuju lantai 6 tempat kamarnya berada. Di depan pintu kamarnya, Rexa merogoh semua kantong baju untuk mencari kartu akses kamar hotelnya. Namun sialnya dia sama sekali tidak menemukan kartunya.
Rexa kembali turun ke lobi hotel menghampiri meja resepsionis untuk meminta kartu cadangan. Lydia yang berjaga di sana menyambutnya dengan sapaan ramah ala resepsionis yang baik.
“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” sapa Lydia ramah.
“Kartu aksesku tertinggal di dalam kamar. Aku lupa membawanya tadi. Bisa bantu buka pintu kamarnya?” tanya Rexa sambil memijat pelipisnya yang masih terasa pusing.
“Boleh saya lihat kartu identitas Anda?” Rexa menyerahkan kartu identitasnya pada Lydia yang kemudian segera memeriksa data tamu hotel melalui komputernya.
“Baik, Pak. Untuk kamar 6022, ya? Silakan, rekan saya yang akan membantu Anda membuka pintunya.” Lydia pun segera mengambil kartu akses kamar tersebut dari laci meja resepsionis. Lalu menyerahkannya pada Sofie yang kebetulan baru kembali dari toilet.
“Nih, Sof! Tolong antarkan ke kamar 6022, ya. Kartu Bapak ini tertinggal di kamar. Tolong kamu bukakan, ya!” bisik Lydia sambil menyerahkan kartu tersebut pada Sofie.
“Kamar 6022?” Sofie melongo heran, tetapi Lydia menunjuk tamu yang berdiri di hadapannya sambil berbisik.
“Ayo cepat antarkan! Sepertinya dia tidak terlihat baik.”
Sofie mengangkat wajahnya. Menatap tamu yang bersandar pada meja resepsionis sambil memijat pelipisnya. Sofie pun menyapanya dengan ramah.
“Permisi Pak, silakan ikuti saya!” Rexa mengangkat kepalanya membuat Sofie tercengang menatapnya.
Dia lagi!
“Kamu—" Ingin rasanya Sofie memaki pria itu karena masih kesal dengan kejadian tadi pagi, tetapi diurungkannya. “Silakan ikuti saya.” ucap Sofie berusaha sesopan mungkin layaknya resepsionis profesional.