“Dari Surabaya … destinasi Denpasar Bali … tanggal berangkat 2 Juli, return trip, tiga penumpang.” Dira mengisi dan membaca dengan lantang, form pemesanan tiket pesawat online kami. “Sudah betul?” tanyanya.
Aku dan Jo mengangguk bersamaan. Liburan kali ini telah kami dambakan, sejak masa-masa kami menjadi pejuang skripsi. Kami memimpikannya di sela-sela revisi skripsi yang tiada akhir dan malam-malam tanpa tidur itu. Sekarang, setelah sidang skripsi telah usai, Dira menyebutnya setelah kita menjadi free man, impian itu akhirnya bisa diwujudkan.
Keluar dari Jawa Timur, kemana saja asal ada laut, dan hanya bertiga, tanpa sanak saudara. Tiga hal itulah kesepakatan kami setelah nongkrong di 'Nongki Cafe & Bistro', kafe favorit kami ini selama satu jam. Maka pilihan berlibur kami jatuh pada Bali, pulau terfavorit dari segenap belahan Indonesia.
Kemudian Dira meminta KTP kami, lalu melanjutkan pengisian detail pemesanan. Cewek tomboi berambut pendek ini adalah holiday planner kami. Sebagai orang yang perfeksionis, dengan cermat ia menyiapkan berbagai destinasi wisata yang akan kami kunjungi, berbagai opsi hotel, lengkap dengan perbandingan harga, dan berbagai opsi penerbangan. Sementara itu, Jo, yang sedang memperhatikan Dira dengan seksama, adalah the smart one. Fakta ini tak terbantahkan karena ia memiliki IPK tertinggi di jurusan kami. Dengan dua sahabat yang sangat capable ini, maka aku, yang adalah the carefree one, dapat duduk manis sembari bermain handphone.
Dengan lincah, jempolku menekan-nekan layar ponsel sehingga aku bisa menangkap sebanyak-banyaknya instagram story dari orang-orang yang aku ikuti. Netraku menangkap story tentang makanan, restoran, lagu-lagu, dan tidak sedikit pula yang sudah berada di tempat wisata untuk berlibur. Telingaku juga mendengar Dira sedang memasukan nomor kartu kredit untuk pembayaran. Itu artinya pengisian form sudah hampir selesai.
Sekejap kemudian seluruh panca inderaku terpusat pada sosok gadis yang mengenakan bikini berwarna putih dan sunglasses hitam. Gadis itu berpose dengan sangat centil. Kelihatannya ia sedang selfie di sebuah ruang ganti. Melihat wajahnya saja aku sudah muak karena gadis ini adalah Jennifer, orang yang pernah mencuri cowokku. Perutku mulai terasa aneh, waktunya untuk mengenyahkan foto ini dari pandanganku, namun sebelum jempolku berhasil menekan layar ponsel, aku keburu membaca tagline pada foto itu. Off to Bali. Bali! Oh tidak! Si setan ini akan pergi ke Bali juga bersama Adhit.
“Dira tungg….” Sebelum aku bisa menghentikan Dira, tombol submit sudah terlanjur ditekan oleh Dira. Simbol lingkaran berputar, yang artinya pesanan kami sedang diproses, terpampang di layar laptop.
Tanpa pikir panjang, kakiku beranjak berdiri, aku menggapai kabel charger laptop dan menariknya dengan keras. Layar laptop mati sebelum ada konfirmasi pesanan telah terproses. Aku menghembuskan napas dengan lega.
Tiba-tiba Dira berdiri dan menatapku tajam. Ekspresinya seperti orang yang habis memakan satu kilo cabai. Aku sangat memahami kemarahannya, tapi sebelum aku bisa meminta maaf dan menjelaskan, Dira menggenggam bajuku dan menggoncang tubuhku keras-keras. Sesekali Dira memekik, "Gadis! Kamu sudah gila ya!" Sementara itu, Jo ikut bangkit dan mencoba melerai kami.
Lima menit kemudian, Dira akhirnya cukup tenang untuk kembali duduk. Dira menghela napas, kemudian ia mulai mengomel tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi pada laptopnya akibat ulahku. Aku menundukkan kepala, sesekali mengangguk-angguk layaknya sebuah boneka dashboard mobil ýang manggut-manggut.
"Tadi katanya udah sepakat ke Bali? Kamu ngapain sih, Dis?" tanyanya.
Aku segera mendongak. Akhirnya tiba kesempatan untuk menjelaskan. "Sorry, Ra. Tapi ternyata Jenni juga bakalan pergi ke Bali. Ini barusan aku lihat story dia."
"So what?" Dira mengernyitkan dahi.
"Sooo, Adhit pasti juga ke Bali! Aku nggak mau ketemu mereka, Ra. Liburan kali ini aku mau hepi!"