Tanggal satu Juli, pagi. Aku terbangun oleh suara berisik ponsel yang bergetar di atas meja lampu. Dengan katup mata yang masih melekat erat, kutekan-tekan layar ponselku secara acak, berharap bisa tidur lima menit lagi sebelum alarm kembali berbunyi. Getarannya berhenti, lantas aku kembali terlelap. Hal ini terulang sebanyak tiga kali sebelum akhirnya aku benar-benar terbangun, dan menjadi panik karena jam menunjuk pukul setengah sembilan. Aku belum menyiapkan barang bawaan, sedangkan jadwal bus menuju Jepara adalah jam sepuluh pagi.
Sambil memaki diri sendiri karena kemalasanku, aku bergegas mengambil tas ransel yang telah kupinjam dari adik lelakiku dan membuka lemari baju. Syukurlah, liburan kali ini berbeda dari semua liburan yang sebelumnya. Kita akan pergi ke pulau terpencil (menurutku). Itu artinya tidak akan ada banyak orang (sekali lagi menurutku), yang berarti tidak ada mata yang akan menghakimi aku dan penampilanku. Dan itu sangat sangat menyenangkan. Aku bebas menjadi diriku. No more feminine clothes, no more high heels, and no more makeup!
Dengan cekatan dan hati yang gembira, aku mengambil beberapa kaos, celana pendek, dan sepasang sandal jepit, lalu memasukkannya ke dalam ransel. Aku yakin Dira juga akan berpakaian kurang lebih seperti ini, karena selain potongan rambutnya yang seperti cowok, cara berpakaian Dira pun sangat tomboi. Itu salah satu alasan mengapa aku merasa sangat nyaman bersama Dira. Meskipun pada akhirnya aku lah yang “mengkhianati” Dira dan mengubah penampilanku demi Adhit, si cah pekok.
Seusai mandi, aku memandang diriku di kaca rias. Netraku terpusat pada beberapa bekas jerawat pada area rahang, spot hitam yang selalu kututup dengan setumpuk concealer dan BB cream. Ditambah lagi penampakan bibir yang kusam, semuanya cukup membuat tangan ini gatal untuk berdandan. Sigh. Tapi aku telah menetapkan hati. Segera saja aku menyisir dan mengikat rambutku ke belakang. Sebuah senyum puas otomatis merekah, karena rasanya aku berhak mendapat rekor waktu tersingkat di depan kaca rias. Kuucapkan salam perpisahan singkat pada alat tempurku. Lalu aku memesan ojek online.
“Gadis, jangan lupa sarapan.” Teriakan Mama dari dapur mengagetkanku yang sedang berjalan menuruni tangga.
“Nggak sempat, Ma. Udah mepet banget waktunya,” bantahku.
Mama keluar dari dapur. Nada bicaranya kali ini meninggi. “Gadis. Sarapan dulu!”
Aku memutar bola mata, sembari menghela napas. Lantas aku duduk di meja makan, melahap dan menelan beberapa sendok nasi dengan kilat.
“Selesai! Ma, Gadis pergi dulu ya.” Aku bangkit untuk keluar rumah. Mama mengikutiku sampai depan pintu.
“Sampai di Jepara jangan lupa WA Mama. Besok waktu di Karimunjawa juga. Setiap hari pokoknya harus kabari Mama.” Mama bertutur padaku yang sedang berjongkok untuk menyimpulkan tali sepatu kets.
Mendengar suara mesin motor yang menyala tepat di depan pagar, aku buru-buru meyakinkan Mama sambil menatapnya tajam, "Ma, anak wedokmu ini sudah Sarjana. Gadis bukan anak umur lima tahun lagi. Bisa jaga diri sendiri. Jadi Mama tenang aja ya."
"Ihh … Mau jadi Sarjana kek, Dokter kek, Profesor kek, bahkan jadi penerus Bu Risma pun, kamu tetep anak mama! Mama pasti perlu tahu dong tentang keadaanmu. Jadi nggak ada alasan. WA ya! Jangan nggak," sembur Mama.
Aku mengangguk keras, menyudahi pembicaraan karena Pak Ojek sudah mengklakson tiga kali sepanjang Mama mengomel. Kucium pipi mama, lalu pamit untuk pergi. Benar saja, saat keluar pagar, kulihat Bapak ojek sedang manyun, kesal. Maaf ya Pak, nanti pasti kuberi rating lima bintang.
"Ke Bungurasih ya, Pak. Tolong ngebut, Pak."
Tak segan-segan Bapak ojek memacu gas motor dengan keras sepanjang perjalanan. Udara yang menerpa wajahku terasa sangat segar. Liburan kali ini aku bertekad untuk bersenang-senang sepuasnya. Aku menyebutnya holiday after a broken heart.
Tepat pukul sepuluh kurang tujuh menit, aku sampai di Bungurasih, yakni terminal bus tersibuk se-Asia Tenggara (menurut Mbah Google). Aku melihat teman-temanku sudah menunggu dengan ekspresi cemas. Dira, Jo, dan … Papa Mama Jo.
“Maaf, telat guys," ucapku.
“Nanti aja (maafnya). Ayo cepet kita masuk.” Dira menarik tanganku, dan kami berlari masuk. Dira menunjuk pada sebuah bus berwarna biru yang bertuliskan Jaya Utama, dan berkata bahwa itu adalah bus dengan tujuan Jepara.
“Jo. Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa telpon Mama kalo sudah sampai,” kata mama Jo, ia berekspresi seakan tidak rela melepas anaknya. Ternyata para Mama ini semua sama, punya segudang kekuatiran. Mungkin bertambahnya umur membuat mereka lebih paranoid. Sering aku mendengar orang yang sudah tua mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu mereka menjadi lebih penakut.
“Itu sudah kamu bawa ’kan?” tanyanya lagi.