Hari ini harus menjadi hari yang menyenangkan. Selain karena bisa bertemu kembali dengan orang yang lama tak kujumpa, destinasi pantai menjadi tujuan utama dalam perjalanan singkat ini. Dapat kubayangkan bagaimana bahagianya aku akan menghabiskan akhir pekan dengan mengistrahatkan segala rutinitas yang biasa mengikat diri dalam gerak terbatas.
Tak banyak yang kusiapkan. Cukup beberapa baju ganti dan perlengkapan pribadi dalam ransel ukuran sedang. Sementara itu yang jelas tak boleh tertinggal adalah gitar akustik berwarna merah tua ini yang biasa menemani kemanapun aku pergi. Terdengar sederhana memang, tapi bagiku gitar ini benar-benar spesial.
Setelah memastikan bahwa tak ada lagi yang tertinggal, aku bergegas keluar kamar dan membawa langkah kaki sampai pintu depan. Di sana, kulihat perempuan itu sudah menunggu di samping mobil putihnya. Senyum ini seakan menjadi bunga yang bertemu sinar matahari pagi. Merekah, juga bahagia karena telah menemukan sesuatu yang sudah lama ditunggu.
Ransel dan gitar yang sudah dibungkus rapi kusimpan di bangku belakang. Dapat kulihat juga beberapa perlengkapan miliknya lebih banyak dibanding diriku. Wajar saja, namanya juga perempuan.
Belum sempat mengatakan sepatah kata pun dalam pertemuan siang ini, gerakannya seketika membuat aku membeku. Kedua tangannya yang melingkar di tubuhku memberi respons hangat. Bukan hanya pada kulit, namun juga pada perasaan. Aku membalas dekapannya sampai beberapa detik, kemudian saling menatap satu sama lain seakan mata kami bisa saling bicara.
“Kamu kok tambah tinggi sih, Kar?” tanyanya berbasa-basi sembari mengacak-acak rambutku.
“Apaan sih, Kak?” tanyaku balik.
Percakapan singkat ini tak perlu berlangsung lama. Aku dan dia segera bergegas masuk dan menempati kursi depan. Ia pada bangku kemudi, sementara aku di sebelahnya.
Perjalanan menuju pantai yang menjadi destinasi kami membutuhkan waktu selama kurang lebih 4 jam menggunakan mobil dari pusat kota. Bukan sembarang juga kenapa kami memilih pantai. Pertama, dia memang suka pantai, laut, dan sejenisnya. Kedua, ada hal yang ingin kulakukan di sana.
“Jadi gimana kabar kamu di sekolah?” tanyanya memecah keheningan ketika mobil melaju di jalanan.
“Semua berjalan dengan lancar. Kakak sendiri gimana?”
“Berapa kali aku bilang untuk jangan panggil kakak? Panggil saja Minerva langsung.”
Aku menahan tawa kali ini. Sejak dulu Minerva tidak suka jika aku memanggilnya dengan sebutan Kakak. Terlalu tua, katanya. Padahal fakta yang sebenarnya menyebutkan bahwa ia memang lebih tua jika dibandingkan dengan usiaku saat ini.
“Jadi kabar Minerva sekarang seperti apa?” tanyaku balik menuruti keinginannya dengan menyebut nama langsung.
“Selalu bahagia, pastinya,” jawabnya sambil tertawa, memamerkan gigi rapi yang tak sengaja muncul dari balik senyumnya.
Ada sesuatu yang berkilau pada jari manis sebelah kirinya. Sebuah cincin. Bisa jadi hal itulah yang membuat dirinya bisa bahagia sepanjang waktu. Ya, sejujurnya aku cukup penasaran seperti apa kisah perempuan itu. Mungkin saja seperti cerita kebanyakan di mana kamu menyayangi seseorang yang balik menyayangimu, lalu berakhir bahagia seperti skenario yang diharapkan pada cerita awal.
“Kamu penasaran dengan cerita ini?” tanya Minerva menunjukkan kelima jari tangan kirinya. Mungkin dia menyadari tatapanku yang tak beralih pada benda kemilau itu.
“Ya, sedikit,” jawabku tersenyum jahil.
“Sebelum itu, coba ceritakan bagaimana kisah cinta kamu di sekolah.”