Ingat ketika aku memperlihatkan sebuah foto pada Minerva? Ya, potret antara aku dan dua lainnya yang sama-sama mengenakan seragam putih abu itu merupakan tokoh utama yang akan mengawali ceritaku.
Semua bermula di hari pertama orientasi sekolah. Masih mengenakan seragam putih biru, topi kertas berbentuk kerucut, juga sebuah name tag yang tergantung di leher, seluruh peserta orientasi berbaris rapi di lapangan untuk mendengarkan sambutan dari kepala sekolah.
Setelahnya, kini giliran ketua panitia yang merupakan siswa kelas 12 yang memberi beberapa arahan untuk melancarkan agenda orientasi. Cukup lelah sebenarnya karena harus terus berdiri lebih dari 30 menit.
Tidak ada lagi sambutan baik dari pihak guru mau pun kakak kelas. Peserta orientasi diberi kesempatan untuk duduk selama beberapa saat sembari panitia lain mempersiapkan agenda selanjutnya di hari ini.
“Hei,” kata seseorang yang berada di barisan sebelah kananku.
Dia seorang perempuan dengan rambut yang dikucir menjadi dua bagian. Jelas, tadi ia menyapaku.
“Ya?”
“Kamu punya pulpen lebih?”
Tanpa perlu berpikir lama, aku mengambil salah satu pulpen yang ada di saku seragam. Untungnya sejak dulu aku selalu membawa benda seperti ini lebih dari satu. Ya sekadar untuk berjaga-jaga.
“Thanks,” katanya menerima pulpen milikku.
“Namaku Keenan dari kelas 10-8, kamu?” Entah mengapa tiba-tiba saja aku malah memperkenalkan diri di hadapannya. Padahal ini bukan waktu yang tepat untuk berkenalan.
“Keenan Renaldi?”
Aku mengerutkan kening dalam jeda percakapan, sampai akhirnya disadarkan oleh name tag berukuran sedang yang tergantung di leher. Aturannya kita hanya boleh menuliskan nama belakang saja, bukan nama depan. Jadi aku menulis K. Renaldi yang langsung diketahui oleh dirinya.
“Rahadi?” tanyaku balik ketika membaca nama di name tag-nya. T. Rahadi.
“Talisa.”
“Nama yang bagus,” kataku membangun suasana. “Dari kelas…?”
“Belum tahu. Namaku sama sekali nggak terdaftar dalam absen. Katanya ada sedikit kesalahan, jadi harus menunggu beberapa saat.”
“Kelas sepuluh satu. Yang merasa dari kelas sepuluh satu silakan berdiri dan ikuti kakak mentor di sebelah kiri lapangan.”
Peserta orientasi pagi ini memang masih berbaris secara acak, bukan sesuai urutan kelas. Maka, ketika suara pelantang itu mengisi seisi lapangan, beberapa murid dari kelas yang dipanggil tadi berdiri dan berpisah dari barisan semula.
Dalam jeda menunggu sampai kelasku dipanggil, percakapan bersama gadis ini benar-benar membuatku nyaman dan nyaris tak ingin mengakhirinya. Caranya mengajak lawan bicara masuk ke dalam ceritanya seakan menghipnotis diri untuk terus ada di sini.
“Karle,” katanya tiba-tiba yang lagi-lagi membuatku kebingungan. “Nama kamu kalau disingkat bisa jadi Karle. Bagus, bukan?”
Aku terdiam beberapa detik untuk berpikir dan mencernanya.
“Sepertinya lebih cocok Karel, deh.”
“Terserah. Yang jelas aku lebih suka panggil kamu Karle,” jawabnya dengan senyum yang memamerkan gigi rapinya.
“Kelas sepuluh delapan. Yang merasa dari kelas sepuluh delapan silakan berdiri dan ikuti kakak mentor di sebelah kanan lapangan.”
Dengan sedikit berat hati, aku berdiri mengikuti alur kegiatan orientasi. Sebelum benar-benar melangkah pergi, aku menatapnya yang masih duduk.
“Karle, kelas 10-8. Jangan lupa untuk mengembalikan pulpen itu,” kataku tersenyum jahil.
Ia membalas senyumanku dengan senyuman yang tak kalah jahil. Seakan mengisyaratkan bahwa pulpen itu tidak akan pernah dikembalikannya.
Aku melangkahkan kaki bergabung dengan peserta orientasi lainnya dari kelas 10-8. Di bagian kanan lapangan itu, ada seorang murid laki-laki yang cukup menarik perhatian. Tidak ada topi bentuk kerucut yang dikenakan, juga rambutnya sedikit gondrong tak mengikuti aturan yang ditetapkan.
Kulirik name tag-nya untuk mengetahui siapa dia yang akan menemaniku setahun ke depan di kehidupan kelas ini.
E. Afganessa