K A R L E
Pentas Seni yang diadakan setiap tahun sebagai ajang bakat siswa akan berlangsung beberapa hari lagi. Ini bertepatan dengan siswa kelas 12 yang baru menyelesaikan Ujian Nasional. Sementara itu kelas 10 dan 11 semakin sibuk mempersiapkan segala persiapannya. Mulai dari tata letak panggung, rundown acara, konsumsi, hingga mengadakan gladi bersih untuk setiap orang atau kelompok yang akan tampil nanti.
Hari Rabu sore ini menjadi latihan terakhir untuk ektrakulikuler musik setelah sebelumnya kami sempat rehat karena beberapa anggota kelas 12 seperti Januar harus fokus dulu pada ujian yang menentukan kelulusan nanti.
“Kita lakukan yang terbaik untuk hari Sabtu nanti dan buat semuanya bangga,” kata Januar menutup latihan sore itu.
Satu per satu melangkah keluar ruangan hingga menyisakan aku sendiri karena kebetulan bertepatan dengan jadwal piket. Segala peralatan yang belum tersimpan rapi aku bereskan sembari memperhatikan juga soal kebersihan.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, aku bersantai sejenak dengan gitar yang biasa kumainkan saat latihan. Memetik senarnya perlahan untuk menciptakan melodi sederhana yang akan kunyanyikan.
Lagu Afgan – Wajahmu Mengalihkan Duniaku terlintas dalam pikiran. Ada Talisa dalam bayang semu itu yang langsung membuat bibir ini melengkung dengan perasaan bahagia.
Tujuh hari dalam seminggu, hidup penuh warna…
Ku selalu mendekatimu, memberi tanda cinta…
Engkau wanita tercantikku yang pernah kutemukan…
Wajahmu mengalihkan duniaku…
“Nyanyi buat siapa? Menghayati banget kayaknya,” kata seseorang yang mengintip dari pintu, kemudian melangkah masuk dan duduk di hadapanku masih lengkap dengan seragam putih abunya.
“Talisa?” kataku sedikit kaget. “Ini cuma iseng aja, kok. Kamu belum pulang?”
“Aku kan panitia Pensi di bagian acara, jadi sering pulang sampai sore gini.”
Kami berdua terlibat dalam percakapan yang menjebak agar tetap di sini, tak beranjak ke mana pun. Bicara soal pensi, memuji diriku yang katanya memiliki suara bagus, hingga sesekali bercanda soal status hubungan masing-masing. Lega rasanya saat tahu bahwa Talisa sedang tidak memiliki hubungan dengan siapa pun.
“Gimana kalau kita nyanyi bareng?” pintaku padanya. Jarang-jarang juga aku bisa memanfaatkan kesempatan seperti ini.
Awalnya Talisa menolak karena menganggap bahwa suaranya tak sebagus diriku. Namun setelah aku bujuk, ia bersedia ikut bernyanyi meski tak ingin terlalu lama.
Lagu Hivi – Orang Ketiga adalah pilihannya. Aku bisa memainkannya dengan gitar ini karena iramanya cukup sederhana. Maka, pelan-pelan gitar akustik ini mulai membentuk nada dari lagu ini, kemudian disusul oleh suaraku yang memilih untuk bernyanyi pada giliran pertama.
Saat berjumpa dan kau menyapa, indah parasmu hangatkan suasana
Buatku tak percaya mimpi indahku jadi nyata
Mata kami saling menatap satu sama lain dalam alunan lagu ini. Aku bisa merasakan betapa hangatnya tatapan Talisa yang membuat bibirku tak terkontrol untuk terus tersenyum.
Kini giliran dia yang memegang kendali vokal sementara aku masih terus memainkan gitar. Aku akui suaranya tidak terlalu buruk meski ada beberapa nada yang meleset. Jika dilatih terus, aku yakin kemampuannya dalam tarik suara akan terus meningkat.
Namun tiba-tiba kau ada yang punya, hati ini terluka
Sungguh ku kecewa… Ingin ku berkata…
Pada bagian inilah aku dan Talisa bernyanyi bersama. Masih tetap berpandangan, dengan senyum yang belum luntur dari bibir masing-masing. Sekali lagi aku tenggelam dalam suasana. Tak ingin pergi, dan berharap bahwa waktu tidak pernah bergerak maju.
Kasih maaf bila aku jatuh cinta…
Maaf bila saja ku suka, saat kau ada yang punya…