Karle Minerva

Gilang Riyadi
Chapter #4

MINERVA BEGINS

M I N E R V A

Sebuah keberuntungan ketika kamu mencintai seseorang yang balik mencintaimu. Seperti halnya Karle yang memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Talisa sesaat setelah dia tampil di atas panggung Pensi. Raut wajah bahagianya ketika bercerita tak akan mudah terlupa olehku, apalagi ketika tahu bahwa gadis pujaannya menerima langsung perasaan Karle tanpa perlu berpikir panjang.

Aku pun memiliki kisah yang tak kalah manis. Bertemu dengan pujaan hati yang sangat kuyakini, hingga cincin ini bisa melekat pada jari manis sebelah kiri.

Yang paling berkesan adalah ketika laki-laki itu pertama kali mengungkapkan perasaannya. Di puncak wahana bianglala Dufan Ancol, dia memintaku agar hubungan kami bisa lebih dari sekadar teman. Awalnya, aku menolak halus karena tahu waktunya tidak pas. Tapi dengan keteguhannya, ia berhasil meyakini hatiku untuk mengatakan iya sebelum posisi bianglala benar-benar turun.

Ciuman pertama di antara kami yang terjadi siang itu seakan menjadi bukti bahwa hubungan ini memang sudah saatnya melangkah ke arah yang lebih jauh dan bukan hanya sekadar pertemanan biasa.

Sejak itu, hari-hariku nyaris tak pernah lepas darinya. Segala aktivitas mulai dari antar jemput ke tempat kerja hingga menemaniku kemana pun aku mau, selalu ditemani olehnya. Aku bersyukur bisa memilikinya dan membuat hidupku yang dulu berantakan perlahan kembali utuh.

“Arvin, kamu coba dulu deh adonannya.”

Aku ingat saat itu di apartemen, bersama dia, kami sengaja membuat kue untuk kakak perempuanku karena hari ini bertepatan dengan ulang tahunnya. Karena pekerjannya berada pada bidang kuliner, kemampuannya mengolah makanan dan minuman berada jauh di atas kemampuanku.

“Ini udah pas kok. Nggak terlalu manis juga,” jawabnya setelah mencicipi adonan.

Hari Minggu ini benar-benar kuhabiskan untuk membuat segala hidangan. Mulai dari kue, puding, ayam goreng kesukaan Kakak, hingga mencoba beberapa resep minuman manis terbaru. Tak perlu ditanya, Arvin yang sangat mendominasi, sedangkan aku seakan menjadi asisten yang hanya bergerak jika disuruh.

Jam di dinding menunjukkan waktu pukul lima sore. Seharusnya setelah menyusun semua menu di meja makan dan sedikit berbenah karena baju kami kotor, Arvin akan ikut merayakan ulang tahun Kak Vanya. Namun kenyataannya, satu panggilan mendadak di ponsel itu sedikit merusak rencana.

“Ada urusan lagi?” tanyaku pelan sedikit tak berselera.

“Iya, aku harus jaga malam ini. Maaf, ya.”

Aku mengalah, bukan untuk yang pertama kali. Tidak apa. Saat ini prioritasnya bukan tentang diriku. Aku masih harus banyak belajar atas konsekuensi menjalin hubungan dengan laki-laki sepertinya.

“See you tomorrow. Aku jemput kayak biasa,” katanya setelah benar-benar siap pergi yang kemudian disusul oleh satu kecupan di kening.

Kak Vanya datang setelah langit benar-benar gelap. Kejutan lilin kecil di atas kue menjadi awal perayaan ulang tahunnya yang tepat menginjak kepala tiga. Meski begitu, berkat perawatan wajah dan tubuhnya yang rutin dilakukan, seseorang tak akan menyangka bahwa ia telah mencapai usia matang.

Happy birthday ya, Kak,” kataku mendekapnya sesaat.

Kue yang kubuat bersama Arvin menjadi hidangan pembuka ketika kami duduk berhadapan di meja makan. Sambil menikmati menu demi menu yang kubuat sore tadi, percakapan sederhana memulai nostalgia malam ini. Bicara soal masa kecil, Ibu dan Bapak yang sudah tiada, sampai soal pasangan hidup masing-masing mengingat di antara kami belum ada yang terikat pernikahan.

“Kabar si junior yang ngejar kakak gimana? Masih berlanjut?” tanyaku bercanda mengingat kembali laki-laki yang sedang mengejarnya di tempat kerja.

“Ah, yang seperti itu mana bisa diharapkan,” jawabnya santai menahan tawa. “By the way, ayam gorengnya enak banget lho ini. Kamu bener masak sendiri?”

Melihatnya yang begitu lahap menyantap makanan itu, aku mengurungkan diri untuk mengatakan bahwa itu sebenarnya buatan Arvin. Dengan percaya dirinya aku mengangguk mantap dan menjawab memang semua ini aku yang buat dengan mengandalkan resep di internet. Jika membahas Arvin, aku tak yakin percakapan ini akan tetap berlangsung hangat.

Tapi aku sadar tak bisa menyembunyikan hubungan ini lebih lama lagi di hadapan Kak Vanya. Maka sehari setelah kepulanganku dari Yogyakarta, aku menceritakan semua kisahku bersama Arvin yang sedang berlibur ke sana, termasuk juga soal cincin berkilau yang kini terlingkar di jari manisku.

Lihat selengkapnya