Karle Minerva

Gilang Riyadi
Chapter #11

KOMPETISI

K A R L E

Pagi hari kini tak pernah terasa menenangkan lagi. Aku terpaksa mengingat kembali detik-detik kejadian di laut yang membuat diri ini tenggelam dalam ketidakmungkinan. Semua benar-benar nyata ketika aku tak lagi memiliki harapan hidup dan membayangkan akan mati saat itu juga. Namun ketika raga ini benar-benar hilang kesadaran dan bersiap untuk bangun di kehidupan lain, nyatanya aku tersesat pada garis waktu yang berbeda, kemudian menjalani hari sebagai orang dewasa sebagaimana harapan yang pernah kuucapkan pada Minerva.

Bayang-bayang perempuan itu pun tak kalah seringnya mampir dalam mimpi. Kadang ia menjadi sosok yang biasa aku kenal, sedikit cerewet tapi pintar yang tak pernah bosan menceritakan tentang kesehariannya padaku. Kadang juga ia menjadi orang yang sangat berbeda, hanya sebentar hadir di tempat yang ku ingat berlatar putih dan terang tanpa memberikan senyum di bibir tipisnya. Lalu, ia menghilang bagai asap yang menari di udara.

Ketika bangun tubuh ini selalu mengeluarkan keringat dengan desah napas yang tak teratur seakan baru saja melakukan kegiatan berat. Kemudian sambil mengumpulkan energi dengan semangat yang apa adanya, aku bersiap menjalani aktivitas rutin ini. Bekerja-pulang-istirahat dan terus berulang di setiap harinya.

Sayangnya sampai saat ini aku belum bertemu dengan perempuan yang menganggu pikiran ini. Terakhir kali ia datang ke tempat kerjaku untuk mengurus kartu ATM yang tertelan menjadi pertemuan canggung yang tak kubayangkan sebelumnya. Aku tetap bekerja secara profesional tanpa mengungkit persoalan pribadi, padahal sangat ingin mengajaknya mengobrol santai di suatu tempat seperti yang biasa kami lakukan sebelumnya.

“Aku udah bilang kan, nggak perlu lah capek-capek cari perempuan itu lagi.”

Apa yang dikatakan Erlan beberapa hari lalu di mobil ketika kami berangkat kerja masih menjadi sesuatu yang belum kupahami sepenuhnya. Dia dan Talisa sebisa mungkin menghalangiku untuk tak terlibat jauh dengan Minerva meskipun aku memiliki kontaknya di ponsel.

“Kita hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Le. Dan saat seorang Minerva menjadi hambatan kamu untuk maju, jelas kita nggak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.”

Kali ini apa yang dikatakan Talisa saat kami bertiga di kedai mie seminggu lalu menjadi poin selanjutnya yang membuktikan bahwa keberadaan Minerva di garis waktu ini menjadi sangat berbeda di garis waktuku yang sebenarnya. Sebenarnya aku telah memaksa Talisa dan Erlan untuk menceritakan lebih rinci kenapa aku dan Minerva tak boleh dipertemukan secara sengaja, tapi jawaban keduanya masih menggantung tanpa kejelasan.

“Aku udah sepakat untuk nggak membahas ini lagi, Le. Anggap saja kamu sama sekali nggak pernah mengenal dia.” Itulah jawaban Erlan yang dikatakannya saat menjemputku dua hari lalu.

No comment. Kalau Erlan nggak mau bicara, aku juga lebih memilih untuk diam,” jawaban Talisa di telepon malamnya pun tak memberikan titik terang atas pertanyaan terbesarku saat ini.

“Keenan!” kata seseorang membuyarkan lamunanku ketika sedang istirahat di bagian back office. Oh, itu Rasta, rekan seangkatanku di bagian costumer service khusus nasabah prioritas.

“Kenapa, Ras? Mau ngobrolin soal pencairan tabungan?” tanyaku sambil mengunyah makanan ringan yang dibeli di minimarket sebelah.

“Sekali-kali santai lah, jangan soal kerjaan terus. Dua minggu lagi kan akan ada acara besar untuk ulang tahun perusahaan ini,” katanya mulai antusias.

“Terus?”

“Kamu akan mewakilkan cabang ini untuk kompetisi nyanyi solo.”

“Seriusan? Kok nggak ada kabar apa-apa sebelumnya. Kompetisinya kan tinggal seminggu lagi.”

Sebenarnya aku tidak keberatan sama sekali untuk mewakili cabang ini. Hanya saja waktunya begitu mendadak. Aku tak yakin dengan kemampuanku sendiri apalagi untuk acara penting seperti ini.

“Awalnya cabang kita nggak akan mengirimkan perwakilan untuk lomba itu. Tapi aku ingat kalau dulu kamu pernah main band dan bahkan memenangkan banyak kompetisi.”

“Itu cuma kompetisi tingkat sekolah sama kampus, Ras.”

“Ya apapun itu tingkatannya kita nggak peduli. Intinya pimpinan cabang mau ada wakil dari sini dan itu kamu. Good luck, Keenan!”

Rasta meninggalkanku tanpa memberi jeda untukku berpikir. Itu artinya mau tak mau aku harus mempersiapkan diri di kompetisi itu dalam persiapan yang terbatas. Ah, rasanya jika mengandalkan latihan di kamar dengan menggunakan gitar tak akan cukup. Aku butuh sesuatu yang tak hanya sebatas itu. Sampai akhirnya aku punya ide untuk menyatukan latihan musik sekaligus menghilangkan penat rutinitas pekerjaan.

Karle: Guys, malem ini karokean, yuk!

Pesan yang kuberikan pada grup kecil beranggotakan Talisa dan Erlan dijawab oleh keduanya dengan penolakan halus. Ya, aku tak bisa memaksa juga.

Erlangga: Sorry, Le, hari ini aku lembur. Lupa belum ngabarin. Nanti kamu pulang pakai umum atau pesan ojek online aja ya.

Talisa: Hari ini banyak deadline desain baju yang harus aku kerjakan. Gimana kalau minggu depan?

Karle: Oke santai. Aku mau coba ajak temen kantor. Doain ya minggu depan soalnya ada lomba nyanyi dari kantor, jadi harus banyak latihan.

Talisa: Latihan apa emang butuh refreshing? Hahahaha.

Karle: Sambil menyelam kan minum air.

***

Pada akhirnya rekan kerja di kantor tak ada yang bisa menemaniku karena telah memiliki agenda lain yang tak bisa ditinggal. Sebenarnya aku bisa saja bersabar menunggu beberapa hari ke depan dengan ditemani Erlan dan Talisa. Tapi rasanya dengan suasana hari Jum’at yang terlalu penat, aku ingin menghabiskan waktu di tempat karoke malam ini juga sehingga akhir pekan bisa kugunakan untuk latihan di kamar tanpa perlu ke mana-mana.

Maka setelah benar-benar menyelesaikan pekerjaan di jam enam petang, aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti seragam batikku ke kemeja kasual yang sengaja kusimpan di loker untuk momen seperti ini.

Lihat selengkapnya