Karle Minerva

Gilang Riyadi
Chapter #16

KARLE, THE NEXT BEGINNING

K A R L E

Usiaku belum genap 16 tahun ketika mengikuti orientasi SMA kala itu. Masih mengenakan seragam putih biru, atribut konyol yang harus dipasang di kepala, hingga membawa beberapa barang dan makanan yang sebelumnya dibuat panitia dengan menggunakan teka-teki kata. Saat itu pula lah pertama kalinya aku bertemu dengan Talisa yang bisa dibilang sebagai cinta pertamaku.

Pertemuan tak sengaja di lapangan sekolah ketika selesai upacara memanglah terlalu sederhana. Dia belum menemukan kelas karena namanya tidak ada di daftar siswa baru, padahal pembagian kelas sudah diumumkan beberapa hari sebelum kegiatan orientasi. Pada momen itulah kami terlibat dalam percakapan singkat. Membicarakan asal SMP masing-masing, tempat tinggal, dan alasan kenapa memilih sekolah ini.

Yang paling berkesan adalah ketika ia memberi nama panggilan baru untukku. Karle, yang merupakan singkatan dari nama asliku, Keenan Renaldi. Namanya unik dan menurutku jarang ada yang memakainya.

“Kelas sepuluh delapan. Yang merasa dari kelas sepuluh delapan silakan berdiri dan ikuti kakak mentor di sebelah kanan lapangan.”

Panggilan dari panitia itu terpaksa membuatku meninggalkan Talisa. Tapi tidak apa, sepertinya aku dan dia masih bisa terus bertemu karena akan terus berada di lokasi yang sama untuk tiga tahun ke depan.

“Karle, kelas 10-8. Jangan lupa untuk mengembalikan pulpen itu,” kataku sebelum benar-benar melangkah dari tengah lapangan dengan harapan kecil bahwa benda yang dipinjamnya tadi bisa menjadi penghubung selanjutnya di antara kami.

Di sudut kanan lapangan aku berkumpul bersama anak-anak kelas 10-8 lainnya dan ditemani oleh dua orang mentor. Satu perempuan dan satu laki-laki. Keduanya mengarahkan kami semua untuk memisahkan baris antara laki-laki dan perempuan, kemudian membawa kami ke salah satu kelas yang jaraknya tak terlalu jauh dari sana.

“Hei, kamu,” kata mentor laki-laki menghentikan langkah salah satu siswa baru.“Rambut kamu masih tergolong panjang. Topinya juga mana?”

Oh, ternyata itu siswa yang tadi sempat mencuri perhatianku karena tidak mengenakan topi seperti yang lain. Nama di name tag-nya kalau tidak salah E. Afganessa.

“Maaf, Kak, topinya ketinggalan,” jawabnya polos.

“Kamu paham kalau aturan dibuat untuk ditaati?” kata si mentor dengan penuh penekanan, bahkan seolah mengintimidasi.

“Hei, cukup. Itu bukan bagian kita. Nanti juga ada Divisi Tata Tertib akan datang mencatat kesalahan anak-anak,” kata mentor perempuan mencoba menetralkan suasana.

Selanjutnya kami semua masuk ke kelas dan secepat mungkin mengisi bangku kosong. Sayangnya karena barisanku hampir paling belakang, maka dengan terpaksa aku menempati bangku paling depan.

“Boleh duduk di sini?” kata siswa tadi yang ditegur oleh mentor.

“Silakan.”

“Namaku Erlangga, dari SMP 7. Biasa dipanggil Erlan.” lanjutnya memperkenalkan diri setelah memposisikan duduk di sebelahku.

“Keenan, tapi panggil aja Karle. Dari SMP Garuda,” jawabku membalas jabatan tangannya.

Entah kenapa dengan percaya dirinya aku menyebutkan nama itu sebagai perkenalan. Rasanya sangat nyaman seperti memiliki identitas baru.

Dua mentor tadi kini berdiri di depan mengondisikan siswa yang kurang lebih sebanyak 30 orang. Keduanya sama-sama mengenakan syal polos kecil warna biru yang dilingkarkan di lengan atas bagian kiri. Sekilas rasanya mereka seperti langit dan bumi di mana mentor perempuan begitu baik membantu kami, sementara rekannya justru terkesan galak dan cuek.

“Oke semua, jadi kami berdua di sini adalah mentor yang akan menemani kalian beberapa hari ke depan dalam kegiatan orientasi. Perkenalkan, nama saya Januar.”

“Saya juga sebagai menjadi mentor di sini sebagai rekan Januar.” kata mentor perempuan melanjutkan.“Perkenalkan, nama saya Minerva.

Januar dan Minerva. Awalnya aku menganggap bahwa awal perkenalan antara adik dan kakak kelas ini akan berlangsung singkat selama hari orientasi saja, lalu terputus ketika sudah benar-benar memasuki kegiatan akademik. Tapi ternyata semuanya lebih rumit dari apa yang kupikirkan di awal. Keduanya sama-sama menjadi sosok penting untukku dalam menjalani kehidupan sekolah.Tentang Januar yang merupakan ketua ekskul musik, juga tentang Minerva yang ternyata mengingatkanku pada sosok seorang kakak yang telah tiada.

Dan dari sinilah sesungguhnya kisahku bermula.

***

Kini Minerva sudah lebih tenang. Air matanya tak lagi mengalir, namun masih menyisakan tatapan kesedihan yang belum berubah. Cerita tentang pertemuan pertama kami 8 tahun lalu itu setidaknya bisa menyadarkan diri masing-masing bahwa perbedaan usia di antara kami sesungguhnya berselisih tak lebih dari tiga tahun. Dia sebagai mentor sekaligus kakak kelas, sementara aku merupakan siswa baru yang belum mengenal dunia SMA.

“Kita sudah lama nggak menghabiskan waktu seperti ini, Le. Waktu jemput kamu kemarin siang, aku merasa melihat sosok Karle yang masih SMA.”

Aku tersenyum simpul mendengarnya. Memang benar bahwa kami sudah lama tak menghabiskan waktu berdua bahkan sampai sejauh ini. Jika aku tak salah mengingat, mungkin sekitar dua tahun lamanya kami sempat terpisah pada jarak dan waktu. Lalu ketika Minerva menghubungiku lebih dulu untuk membahas soal liburan ini, ada keraguan yang sebenarnya sempat menghalangi keputusanku. Sampai akhirnya setelah berdiskusi dengan Erlan dan Talisa, semua sepakat untuk menyetujui ajakan Minerva ini.

Jadi gimana kabar kamu di sekolah?” tanya Minerva kemarin ketika masih di perjalanan.

Ada jeda sebelum aku benar-benar bisa menjawabnya.

Se-semua berjalan dengan lancar. Kakak sendiri gimana?”

Dari sana aku paham bahwa Minerva sengaja menganggapku sebagai Karle bertahun-tahun lalu yang masih duduk di bangku sekolah. Sebenarnya saat itu bisa saja aku menyangkal semua dan mengingatkan Minerva bahwa aku bukan lagi anak usia belasan, melainkan sudah berusia 23. Tapi ternyata aku malah ikut larut dalam sandiwaranya yang ternyata tak berujung.

Aku pikir saat melihat benda berkilau yang melingkar di jari manis kirinya akan menandakan bahwa ia memang telah terikat bersama seseorang, lalu waktu liburan kami ini hanya sebatas hiburan dan reuni SMA yang ke depannya tak akan terjadi lagi. Tapi ternyata semua di luar dugaan dan tak sesederhana pikiranku. Ia telah putus dengan kekasihnya dan memerangkap aku pada situasi yang sangat rumit.

Kamu pernah mikir nggak sih, apa yang akan terjadi kalau kita seumuran?Aku membayangkan satu waktu di mana kita bisa bersama, Le. Tanpa ada halangan apa pun. Usia, status pekerjaan, ataupun soal masa lalu.”

Kemarin malam di pinggir pantai ketika air laut mulai tinggi, aku sadar bahwa apa yang telah Minerva katakan telah melewati batas. Aku jadi paham maksud sebenarnya dia mengajakku liburan bersama ternyata bukan hanya sekadar untuk mendengarkan kisah patah hatinya, namun juga untuk mengungkapkan perasaan kepadaku.

Lihat selengkapnya