“Ibu Asa?” Tirta basa-basi karena sadar Asa tidak mengenali dirinya.
“Cukup, Asa. Panggilan Bu membuatku merasa sangat tua.” Asa membalas. “Apa Bapak datang kemari untuk meminta keterangan dariku?”
“Ya, saya datang kemari untuk meminta keterangan. Bagaimana Ibu, ah salah! Bagaimana Mbak Asa bisa tahu?”
“Pagi ini ... perawat yang memeriksaku mengatakan bahwa mungkin pihak kepolisian akan datang kemari untuk meminta keterangan dariku.”
“Kalo begitu akan lebih mudah dan lagi jangan panggil saya, Pak. Saya kira umur kita mungkin tidak jauh.” Tirta tersenyum sedikit. “Pertama yang ingin saya katakan adalah santai saja, jangan merasa ada tekanan. Saya datang hanya ingin mengumpulkan keterangan karena korban yang selamat dari kecelakaan ini tidaklah banyak. Dan saat ini ... dari pihak penumpang yang baru sadar hanya Mbak saja.”
“Saya tahu. Dari berita yang tadi saya lihat, juga mengatakan hal yang sama.”
Tirta menangkap senyuman Asa yang sedikit dipaksakan. Dan Tirta sudah mengalami hal ini berulang kali. Semua korban yang dimintai keterangan olehnya selalu merasa begitu, sedikit tertekan seolah mereka adalah orang yang bersalah. Tirta mencoba tersenyum lebih lebar lagi agar Asa menjadi lebih santai. “Benar.”
“Kalo boleh saya tahu, apa penyebab kecelakaan itu? Dari siaran berita yang saya lihat, belum menjelaskan penyebab kecelakaan itu terjadi. Semua siaran berita hanya mengatakan jika penyebab kecelakaan masih diselidiki.”
“Dugaan sementara adalah masalah teknis rem yang tidak berfungsi dengan baik dan faktor human error dari masinis. Harusnya nanti sore, ada tim humas kami yang akan memberikan pernyataan yang sama dengan ucapan saya baru saja.”
“Rem dan masinis ya ... “
Tirta melihat ke arah Asa dan mendapati bahwa Asa menggenggam tangannya yang lain seolah ada sesuatu yang sedang mengganggunya. Merasa Asa mungkin sedang tertekan, Tirta mencoba bertanya sebelum melanjutkan pembicaraan ini. “Bisa saya lanjutkan, Mbak??”
“Ya, silakan.”
Tirta mengambil satu kursi, meletakkannya di samping ranjang Asa dan mulai mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan keterangan korban. “Bisa tolong jelaskan apapun keanehan yang Asa temukan di dalam gerbong satu?? Dari daftar tiket penumpang yang tercatat, Asa adalah penumpang di gerbong satu.”
Di sisi lain, Ardan juga melakukan hal yang sama dengan Tirta: mengambil kursi dan duduk. Bedanya Ardan duduk di depan ranjang Asa dan menyiapkan catatan dan alat perekam yang nantinya akan digunakan sebagai bukti keterangan korban.
“Perjalanan itu awalnya adalah perjalanan biasa. Saya naik dari Stasiun Bandung dan harusnya turun di stasiun terakhir-Gubeng, Surabaya.”
“Kenapa Mbak datang ke Surabaya?”
“Saya datang ke Surabaya karena ingin pergi ke Banyuwangi. Kereta yang akan membawa saya ke Banyuwangi harusnya tiba pukul 22.40. Harusnya begitu. Tapi sesuatu terjadi. Setelah pengumuman kereta yang akan transit di Stasiun Balapan, Solo, kereta terus melaju dan tidak berhenti. Kepanikan tentu terjadi, tapi hal itu masih bisa dikatakan normal. Keanehan mulai terjadi ketika kereta harusnya transit di Stasiun Jombang. Penumpang lain tiba-tiba menghilang dan hanya tersisa enam penumpang dan satu orang asing.”
Tirta kemudian teringat dengan video aneh yang dilihatnya sebelum masuk ke rumah sakit. “Enam penumpang dan satu orang asing?”
“Ya, enam penumpang dan satu orang asing,” ulang Asa.
“Apa Mbak Asa ingat siapa saja enam penumpang itu? Ciri-cirinya mungkin.”
“Saya tahu nama mereka. Kalo ingatan saya tidak salah, mereka bernama Yuni, Haris, Arga, Bimo, Jenar dan yang terakhir tentunya saya sendiri.”