Tuk, tuk! Tirta mengetukkan jarinya di atas meja sembari menatap layar komputer di ruang kerjanya. Wajah Asa bersama dengan data pribadinya muncul di layar kaca komputer Tirta. Huft, huft! Beberapa kali embusan napas terdengar dari Tirta karena pikirannya yang saat ini benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.
Gimana?? Gimana Asa bisa tahu nama lima penumpang yang bersamanya? Ini aneh tapi di saat yang sama juga tidak bisa dikatakan aneh. Tirta menggaruk kepalanya dan membuat rambutnya yang masih setengah basah karena baru saja dicuci terlihat berantakan bak belum dicuci. Mungkin saja dalam situasi menegangkan itu, mereka saling mengenalkan diri satu sama lain. Jika hanya satu dua orang saja, itu mungkin adalah hal yang wajar. Tapi Asa mengingatnya dengan jelas dan bahkan mengenali wajah mereka dengan jelas. Ini aneh, benar-benar aneh.
Tuk, tuk! Jari telunjuk Tirta bergerak mengetuk meja kerjanya lagi sesuai dengan irama jarum detik dari jam dinding di ruangannya. Tirta menatap wajah Asa di layar komputernya dan teringat sekali lagi akan ucapan Mega-sepupu Asa semasa kuliah dulu.
“Kamu, anak pembawa sial, Asa!!!! Aku nggak mau lihat kamu lagi!! Juah-jauh dariku!! Karena kamu, ayahku, ibuku dan kakek meninggal. Karena kamu juga, aku jadi anak yatim piatu!!”
Huft! Tirta mengembuskan napas dan kali ini lebih panjang dari sebelumnya. “Anak sial yah. Mengingatnya sekarang, rasanya kata-kata itu terdengar dan terasa sangat kasar.”
Tok, tok! Ketukan pintu di ruangannya membuat lamunan kecil Tirta menguap begitu saja dari dalam benaknya. Tirta langsung melirik ke arah jendela di samping pintunya dan melihat sosok Ardan berada di balik pintu. “Masuk, Ardan!”
“Malam, Pak!” Ardan menyapa Tirta karena mengganggu Tirta.
“Kamu nggak pulang?? Sudah lebih dari lima hari ini kamu belum pulang. Bukankah jadwal pulangnya sudah diatur untuk bergantian?” Tirta terkejut menemukan Ardan masih berada di kantor.
“Sudah, Pak. Hanya saja, anak Pak Dori sedang sakit. Jadi saya tukar jadwal libur dengan Pak Dori, Pak.”
“Mentang-mentang kamu belum nikah, kamu relakan begitu saja jadwal istirahatmu?”
“Lain kali tidak akan saya ulangi, Pak.”
“Sudahlah.” Melihat Ardan yang merasa bersalah, Tirta berusaha memahami niat baik Ardan-asistennya yang terlalu pengertian, pekerja keras dan merupakan anggota termudanya. Tapi justru hal itu yang membuat Tirta suka dengan Ardan. Di mata Tirta, Ardan yang masih muda itu berhasil mengalahkan beberapa anggotanya yang usianya lebih tua dan mendapatkan posisi sebagai asisten Tirta. “Ada apa kemari?
“Soal pria asing itu, Pak.”
“Apa identitasnya sudah ditemukan?” Tirta menyela dengan cepat karena berharap bisa segera menemukan pria aneh yang mengganggu pikirannya sejak siang tadi.
Ardan menggelengkan kepalanya lemah. “Maaf belum, Pak. Saya baru saja selesai memeriksa seluruh rekaman CCTV di stasiun yang memperlihatkan penumpang naik dan turun.”
“Hasilnya? Kamu menemukan pria aneh itu??”
Ardan menggelengkan kepalanya. “Sayangnya tidak, Pak.”