“Ya, Pak. Korban bernama Asa dengan lima penumpang yang ada di dalam gerbong satu punya hubungan. Meski hubungan itu tidak secara langsung terjadi, tapi mereka semua punya hubungan. Bagaimana menjelaskannya ya, Pak??”
Setelah mendengar cerita Asa sejauh ini, Tirta teringat dengan ucapan Ardan kemarin malam. Tirta melirik ke arah Ardan yang masih sibuk mencatat poin penting dari cerita Asa.
“Apa Bapak butuh sesuatu?” Ardan sadar dengan lirikan Tirta.
“Ah, nggak. Lanjutkan saja pekerjaanmu, Ardan!”
Setelah melirik ke arah Ardan yang sibuk dengan pekerjaannya, Tirta melihat ke arah Asa yang sedang beristirahat sejenak dan melakukan pemeriksaan ketika dokternya yang bertanggungb jawab datang memeriksa Asa.
Wanita bernama Asa ini-yang sepanjang hidupnya penuh dengan kesialan dan kemalangan, lalu lima penumpang yang punya hubungan dengannya secara tidak langsung dan ‘pengadilan kecil’ dari pria aneh itu, mungkinkah semua itu berhubungan dengan wanita ini?? Tirta bicara dalam benaknya dan berusaha untuk mencari tujuan dari pengadilan kecil pria bersetelan jas hitam. Tapi kenapa? Kenapa pria bersetelan jas hitam itu repot-repot melakukan hal itu?? Jika pria aneh itu tahu kecelakaan itu akan terjadi, kenapa tidak membiarkan mereka semua tewas dalam kecelakaan itu?
“Bisa saya lanjutkan lagi, detektif?”
Di saat Tirta sibuk dengan pikirannya sembari menunggu Asa yang baru saja beristirahat dan melakukan pemeriksaan dari dokter, Asa mengajukan pertanyaan kepada Tirta dan membuyarkan lamunan kecil yang dibuatnya di dalam benaknya.
“Ah ya?” tanya Tirta.
“Bisa saya lanjutkan ceritanya, detektif?” tanya Asa lagi.
“Ah, ya. Silakan.”
“Setelah ini apa yang akan saya ceritakan mungkin akan membuat detektif geleng-geleng kepala dan mungkin tidak akan bisa percaya dengan ucapan saya,” jelas Asa.
“Percaya atau tidak, saya yang akan memutuskannya setelah mendengar semua cerita, Mbak.” Tirta memiringkan kepalanya karena merasa sedikit heran. Meski begitu, Tirta berusaha bersikap profesional di depan Asa. “Memangnya apa yang terjadi setelah itu hingga membuatmu merasa aku tidak akan percaya dengan ceritamu??”
“Pria bersetelan jas hitam itu menutup mata saya dengan tangannya dan berkat itu, untuk sejenak saya tidak bisa melihat apapun kecuali kegelapan. Lalu begitu cahaya terang terlihat, pemandangan di depan saya bukanlah gerbong kereta di mana saya tadi berada melainkan kenangan milik lima penumpang yang duduk di hadapan saya."
“Kenangan?” tanya Tirta.
Asa menganggukkan kepalanya. “Ya, kenangan itu juga adalah dosa besar milik lima penumpang itu yang selama ini mereka sembunyikan rapat-rapat.”
Kenangan pertama.
Jakarta, 14 Mei 1998. Malam hari.
Tok, tokk!!
“Di mana aku??” Asa baru saja membuka matanya dan menemukan dirinya bukan lagi berada di gerbong di mana dirinya berada sebelumnya. Asa menatap sekelilingnya dan menyadari sesuatu yang familiar dengan tempatnya berada sekarang. “Ini kan-“
Tok, tokk!!!