“Bagaimana? Apa kamu sudah bisa menebak dosa dari pria itu?”
Asa langsung menolehkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan itu dan menemukan pria bersetelan jas hitam tengah berdiri di sampingnya dengan seringai kecil di sudut bibirnya.
“Belum,” jawab Asa.
“Ah ... sayang sekali. Padahal cluenya sudah keluar baru saja.”
Tik!
Mungkin hanya sekejap mata-jarak antara perkataan kecewa dari pria bersetelan jas hitam dengan jentikan jari yang membuat Asa kemudian berpindah lagi.
Jakarta, 22 Januari 2003. Siang hari.
“Kamu!! Teganya kamu melakukan ini padaku, Haris!!!”
Dari tempatnya berdiri, Asa melihat seorang pria yang sedang marah besar kepada Haris. Dan ini adalah pertama kalinya, Asa melihat wajah marah dari pria yang dikenalinya sebagai ayahnya yang bernama Cakra. “Ayah?? Kenapa Ayah di sini?”
“Kamu menjual rahasia perusahaan ini dan membuat perusahaanku bangkrut, apa yang sebenarnya kamu pikirkan, huh??”
“Dengar, Cakra! Harusnya ... waktu itu ketika kamu mengancamku dengan penjara, harusnya kamu memikirkan hal ini akan terjadi. Perusahaan ini ... memang benar kamu yang membangunnya, tapi yang menjalankannya adalah kita berdua. Sudah kukatakan aku hanya meminjam sebentar dan akan aku segera kembalikan, tapi kamu justru mengancamku dengan penjara. Bukankah sebagai teman, kamu sangat jahat padaku???”
“Kamu bisa marah padaku dan aku akan menerimanya!! Tapi kenapa kamu juga membuat perusahaan ini bangkrut dan membuat semua karyawannya kehilangan pekerjaan?? Bagaimana kamu tega melakukan hal itu pada semua karyawan yang sudah percaya pada kita selama ini??”
“Maaf. Tapi aku sudah bukan lagi bagian dari perusahaan ini! Begitu keluar dari ruangan ini, jabatan lain yang lebih menjanjikan sudah menungguku di luar sana!”
Dari tempatnya berdiri, Asa melihat bagaimana kejamnya perbuatan Haris kepada ayahnya-Cakra yang membuat perusahaan yang dibangun ayahnya bangkrut.
“Jadi yang sebelumnya aku lihat adalah-“ tanya Asa.
“Benar. Pria bernama Haris itu menjual semua informasi rahasia di perusahaan Cakra ke perusahaan lawannya. Dan sekarang perusahaan ini bangkrut.”
Asa mendekat ke arah Cakra-ayahnya setelah Haris melangkah pergi dengan bangganya keluar dari ruangan Cakra. “Ayah, dengar!! Kita harus ke rumah sakit sekarang, Yah!!”
Asa ingat bagaimana Cakra-ayahnya meninggal dunia dan membuatnya menjadi anak yatim piatu di usia 11 tahun. Asa terus memanggil ayahnya berulang kali, tapi sama seperti sebelumnya usaha itu gagal.
“Percuma! Jangan buang-buang tenagamu! Ini adalah ingatan dan kenangan, bukan sesuatu yang bisa kamu ubah!”
Dan benar saja ucapan pria bersetelan jas hitam itu baru saja selesai didengarnya, Asa melihat Cakra-ayahnya yang memegang dadanya karena merasa sakit. Asa tahu apa yang terjadi pada Cakra-ayahnya.
“Tidak, Ayah!!!”