“Saat itu ... aku benar-benar hanya bisa menangis. Semua kemalanganku, semua kesialan dan semua penderitaan dalam hidupku, semua itu datang karena ulah orang lain. Aku hanya bisa menangis sembari mengutuk betapa kejamnya dunia, takdir dan hidup padaku. Aku mengutuk mereka karena bukan satu dua saja kemalangan dan kesialan yang datang dalam hidup.”
Tirta seolah tidak bisa bicara apapun ketika mendengar apa yang terjadi pada Asa karena ulah lima penumpang gerbong satu yang terlibat pengadilan kecil dari pria ‘aneh’ bersetelan jas hitam. Tirta melirik sedikit ke arah Ardan dan mendapati asistennya itu hanya bisa menangis dalam diam sama seperti sebelumnya.
“Baik hidup, dunia dan takdir seolah mengatakan padaku bahwa aku tak berhak untuk merasakan apa yang namanya bahagia karena pada akhirnya apa yang membuatku bahagia selalu menghilang dalam waktu singkat.”
“Setelah itu apa yang terjadi? Apa Mbak kembali ke dalam gerbong?” tanya Tirta.
“Pria itu membawaku ke pada diriku di waktu dua minggu sebelum kecelakaan terjadi-hari di mana aku memutuskan untuk bunuh diri.”
“Apa yang Mbak lakukan di sana?” tanya Tirta lagi.
“Setelah mengetahui alasan kemalangan selalu datang dalam hidupku ini, melihat diriku yang lain dengan wajah putus asanya, aku tidak bisa tidak menangis. Melihat wajahku sendiri yang sangat putus asa, aku menangis sembari memeluk diriku sendiri. Meski aku tahu apa yang aku lakukan, apa yang aku ucapkan pada diriku yang lain tidak akan terdengar, aku hanya ingin diriku yang putus asa itu mendapatkan pelukan dan kata-kata semangat yang selama ini tak pernah aku terima. Setelah selesai memeluk diriku yang lain, pria bersetelan jas hitam membawaku kembali ke gerbong dan membuatku melihat pemandangan yang mengerikan.”
“Mengerikan?” tanya Tirta.
“Ya, mengerikan. Saat itu sepuluh menit sebelum kecelakaan terjadi dan lima menit sebelum batas pengakuan dosa berakhir, aku melihat bagaimana manusia bisa menjadi lebih buruk dari iblis itu sendiri.”
20 November 2022
Pukul 17.30, sepuluh menit sebelum kecelakaan terjadi.
“Nggak!! Itu bukan dosaku! Aku nggak pernah membunuh siapapun!”
Begitu membuka matanya, Asa melihat wajah lima penumpang yang duduk di hadapannya. Wajah lima orang itu: Yuni, Haris, Arga, Bimo dan Jenar. Wajah mereka berubah dan terlihat sangat berbeda dengan sebelumnya. Sepasang mata dari lima orang itu menatap ke arah Asa dengan tatapan tajam, bengis dan penuh kebencian solah mereka ingin mengatakan pada Asa bahwa kesialan yang mereka hadapi saat ini, semua karena Asa.
“Setelah semua yang kalian lihat tadi, kalian masih tidak ingin mengakui perbuatan kalian?? Apa kalian tidak ingin selamat dalam kecelakaan nanti?” tanya pria bersetelan jas hitam.
“Cakra mati karena serangan jantung dan itu bukan salahku!!” bentak Haris.
“Yang membuat pasangan suami istri itu sebagai penjahat bukan aku tapi ayahku!! Harusnya ... orang yang membuat pengakuan adalah ayahku dan bukan aku!” teriak Arga.
“Pria tua itu memang sudah waktunya untuk mati! Jadi ... meski aku datang lebih cepat, hal itu tidak akan mengubah apapun!” sanggah Bimo.
“Aku yang lebih dulu jadi kekasih Gilang! Aku yang bertemu dengan Gilang lebih dulu! Aku juga yang dipilih oleh Gilang!! Jika Gilang mencintai wanita ini, maka meski wanita ini masuk penjara, Gilang pasti akan menunggunya! Tapi nyatanya tidak! Gilang memilih untuk menikah denganku!! Itu artinya Gilang masih mencintaiku!!”