KARMA (Rewrite the Story)

Bulan Purnama
Chapter #15

Dalam Tahap Ibu.

“Bu, saya baru beli sepatu,” datang-datang si Mbak pameran, mengeluarkan bungkusan tas plasik yang dibawanya dari rumah.

 “Mana coba liat?” Tanyaku sambil meneliti sepatu sandal berwarna merah maroon yang katanya baru dibelinya. “Ihhh bagussss... berapaan?” Lanjutku

 “Seratus lima puluh ribu.”

 “Mau dong mba. Nitip. Belinya dimana?” Tanyaku lagi.

 “Ahh ibu suka gitu. Sepatu kaya gini mah BUKAN TAHAP IBU.”

 Ups. hampir saja Aku tertawa kalau nggak liat wajah polos mba sedang serius memandanginya. Aku tahu maksudnya adalah ‘bukan Level ibu’.

 “Sama aja mbak, kalau bagus ya bagus. Kalau jelek ya jelak. Ngga pakai Tahap”

 Sekarang malah si mbak yang tertawa. Mungkin dia merasa kata katanya kurang tepat.

 Mbak Tina ini tinggalnya di kampung atas. Setiap pagi dia datang membantu membereskan rumah, menyapu, ngepel, setrika, membersihkan kamar mandi, dan kemudian pulang setelah selesai. Banyak penduduk asli di perkampungan itu yang bekerja membantu kaum urban di Perumahan baru Green Valley yang letaknya di bawah kampung itu.

 Siang itu mba Tina sedang menyetrika dan aku menemaninya sambil membuat salad buah menghabiskan dressing yang sudah cukup lama disimpan dalam kulkas. Kalau ketahuan Bright saus ini belum dibuang bakalan kena komplain. “Mama itu mayonesnya apa masih halal?” Maksudnya ‘halal’ adalah ‘‘belum expired."

Aku jadi tersenyum lagi teringat kata ‘tahap’ nya si mba Tina.

“Sudah banyak laku bu, yang jualan anak kontrakan atas.” katanya mba Tina lagi sambil memulai menyeterika.

“Oh, mbak Tina rumahnya deket kontrakan situ ya? Yang banyak pintunya itu? Itu kontrakan punya siapa mbak?”

“Kalo ngga salah namanya bu Irma. Dia punya banyak kontrakan bu. Yang di situ aja 70 pintu. Belum yang di sebelah sananya lagi ada kali 30 pintu.”

Aku membayangkan lokasi di daerah situ, “Ohh, yang di sebelah jalan alternative itu punya bu Irma juga?” tanyaku lagi.

Iyaa..”

Hmmm. Dari dulu aku selalu penasaran kalau lewat situ, salah satu usaha yang kuinginkan bila sudah tidak bekerja adalah memiliki rumah sewa seperti itu. Namun apa daya aku berhenti bekerja sebelum waktunya dan belum sempat menyiapkan segala sesuatunya.

Karena sudah terbiasa bekerja walaupun di rumah atau di mana saja pikiranku tetep kerja. Akibatnya semua pekerjaan kulakukan.

Membayangkan rumah kontrakan Ibu Irma di kampung atas aku penasaran sekali pada si empunya. Di pinggir jalan tembus dari kampung ke Perumahan itu berderat toko kecil, ada salon kecantikan, warung makan ‘barokah’, padang, toko barang kelontong alat perkakas rumah tangga, bengkel, toko helm, toko pernik pernik asessories dan kado, toko baju dan kaos pakaian dalam, semuanya lengkap. Dan di belakangnya toko-toko kecil itu berjejer pintu-pintu kamar yang disewa-sewakan sekitar 70 pintu.

Cluster cluster di Perumahan ini memang terletak di tengah tengah kawasan Industri hingga banyak karyawan karyawan atau buruh pabrik yang kebanyakan para pendatang yang menyewa tempat untuk tinggal.

Seberapa banyak rumah sewa yang tersedia selalu penuh, Dan punya bu Irma ada 100 pintu semuanya fully book. Sekarang aku jadi penasaran sama bu Irma, seperti apa sih orangnya...

 

 

***

 

“SEKAR?”

Aku terkejut.

Baru saja aku memikirkannya, tau-tau dia sudah ada di teras rumah.

Sekar adalah teman sekolah Bright. Tumben sekali dia main kesini. Banyak teman sekolah Bright yang suka main di rumah ini hanya Sekarlah yang baru pernah datang kemari.

 Dari 10 orang teman perempuan Bright di sekolah, tinggal Sekar yang belum ketauan akan melanjutkan kemana setelah lulus SD ini.

 Tidak seperti di daerah, sekolah Negeri di pinggiran kota Jakarta ini sangat kurang kualitasnya, dan minim fasilitas. Sekolah swasta banyak tumbuh subur tersebar dimana mana, namun mudah ditebak. Mahalnya selangit. Sangat sulit menemukan sekolah yang bagus qualitasnya namun dengan biaya bersahabat. Tidak ada istilahnya subsidi silang. Kalau mau silahkan, kalau tidak berarti memang bukan levelnya, silahkan cari sekolah lain.

 Bright sendiri sebetulnya ingin bersekolah bersama salah satu BFF nya. Namun setelah Aku berusaha mati-matian selama tiga bulan terakhir ini berjualan asuransi, jangankan mencapai target, komisi penjualannya tetap tidak menutup hanya untuk biaya pendaftarannya saja.

Dan aku berusaha mencari sekolah dengan biaya sekolah yang lebih ‘miring’. bertukar pikiran dengan para orang tua teman teman Bright, hanya tinggal bunda Sekarlah yang aku belum dapat contactnya.

Dan siang ini tiba tiba Sekar nongol di teras.

 

***

 

Ini lagi. Giliran lagi perlu, nggak ada orangnya. Punya usaha sehari buka sehari tutup. Sehari buka sehari tutup. Niat usaha apa engga sih?

Orang yang mau punya usaha pusingnya setengah mati, mikirin usaha apa, sewa tempatnya, gaji karyawan, operasional, macam macam. Ini sudah punya usaha bagus-bagus kok jalaninnya setengah setengah. Manusia manusia... Batinku

 Butik ini sangat cocok menempati Ruko ini. Baju baju muslim lengkap dengan hijabnya, dan ada penjahitnya juga di sana. Pertama kali melihat koleksinya aku langsung jatuh hati, sebagaimana baju kelas butik semuanya koleksinya hanya tersedia satu-satu, tidak ada yang kembaran atau sama. Dan yang lebih membuat betah harganya pun cukup ramah.

 Karena lebih sering tutupnya daripada bukanya lama-lama aku pun melupakannya, hampir sebulan aku tak lewat situ. Dan ketika aku sedang butuh sesuatu, aku kembali mencari butik itu, ternyata butik itu benar benar telah tutup. Sekarang berganti menjadi tempat Pijat Refleksi keluarga.

 Hhh... Ada apa dengan Pemilik Butik. Pikirku iseng.

 

***

Lihat selengkapnya