KARMA (Rewrite the Story)

Bulan Purnama
Chapter #20

Kamar Tamu.

Lebaran ini pulang kampung Luna membawa mobil sendiri. Adik bungsunya Aida yang tinggal di Belanda tak bisa mudik tahun ini, yang kedua yang tinggal di Semarang rencananya pulang lebaran hari kedua, sedang Benny adik keempat yang di Tangerang baru bisa pulang akhir pekan ini.

Untunglah ada adik nomor tiga yang tinggal sekota dengan orang tua hingga cukup membuat tenang hatinya. Mereka lima bersaudara yang semuanya telah berkeluarga dan tinggal tersebar di beberapa kota.

Pagi sekali di hari H Luna terbangun, keluar kamar dan mendapati ibu di dapur telah selesai masak opor ayam, satu wajan besar penuh, dapur dan ruang pun sudah tampak sudah rapi.

“Kentangnya sudah digoreng tinggal dibumbuin ya nduk” sambutnya melihat anaknya muncul di ambang pintu dapur. Luna melirik ke jam dinding, Huh! apaan sih bu... masih jam tiga juga, gerutunya dalam hati. Hanya dalam hati.

Perasaan ibu amatlah sangat sensitive, hingga harus super hati-hati bila berkata-kata agar tak melukai perasaannya. Bisa-bisa mengalir air mata di pipi ibu begitu dia buka suara, tak maulah jadi anak durhaka. Pagi pagi pula.

Luna hanya bisa cemberut tak berdaya.

Ibu yang begitu apik, teratur dan sempurna. Tak ada kompromi untuk urusan persiapan. Segala sesuatu harus teratur dan dipersiapkan jauh-jauh hari, diperhitungkan masak-masak, meskipun hanya untuk urusan memasak.

Ketika sedang sarapan, ibu sudah memikirkan makan siang. Ketika makan siang, ibu telah merencanakan menu nanti malam. Bila sesuatu berjalan tak sesuai rencana ibu akan panik dan stress duluan.

“Nanti sprei kamar depan diganti ya nduk. Baju-baju dan kopernya dipindahin dulu ke belakang. Tamu dari Semarang nginep paling cuma semalam, kita harus memberikan kesan yang baik,” lanjut ibu begitu melihat Luna keluar dari kamar mandi

Kesan yang baik? Hellooowww???? Masih jam tiga pagi buuu!!!

Tiba tiba kata kata itu begitu menyakitkan telinga. Rasanya pengen meledak. Ini sudah entah keberapa kalinya Luna mendengar ibu mengingatkan untuk membersihkan kamarnya demi tamu.

Sedemikian pentingnyakah kesan yang baik hingga aku harus terusir dari kamar sendiri dan pindah ke tempat lain? Iya memang cuma semalam dan sebetulnya aku pun tak keberatan. Tapi biasa saja kenapa sih? Kenapa seolah-olah menganggap mereka raja hingga kita harus begini repot mempersiapkan segala sesuatunya? Kenapa enggak apa adanya aja, kenapa nggak jadi diri sendiri saja? Toh mereka juga akan maklum kalau banyak keluarga berkumpul seperti ini rumah akan jadi berantakan. Tidur berdesak-desakan, bukankah itu suatu kehangatan? Batinnya berteriak kesal.

Iya. Itu hanya dalam hati saja. Tak berani Luna buka suara.

“Memangnya mereka akan datang jam berapa bu?” Tanyanya menetralisir suasana hatinya.

“Belum tau, makanya disiapkan saja jadi kalau sewaktu waktu mereka datang sudah enak kamar sudah rapi,” papar ibu penuh pehatian.

Luna memang tidak terlalu dekat dengan keluarga besar adik di Semarang. Mestinya tinggal telpon memastikan, tapi biasanya juga mereka datang serombongan, kakak adik bersama masing-masing keluarga mereka.

Buat Luna mereka datang atau tidak tidaklah begitu penting. Tapi bagi ibu, momen yang setahun sekali ini sangatlah diharapkan. Ibu akan mudah mengeluarkan air mata kalau anak-anaknya tak pulang, seolah ini adalah puncak acara dari keseluruhan hidup ibu setahun kebelakang.


***


Lebaran hari kedua, Beni dari Tangerang datang. Seisi rumah ramai-ramai menyambut keluarga itu di teras depan, ada istrinya menggendong si kecil di belakang, dan si kakak menyusul membawa kopor masing-masing. Semua bersalaman dan berpelukan, ah, ini moment yang selalu ngangeni saat mudik lebaran. Lalu tiba-tiba terdengar suara Bapak memecah kehangatan,

Lihat selengkapnya