"Bos gue udah kasih gundik pelajaran," kata Vincent dalam sambungan telepon pada Tatjana.
"Bagus," ucap Tatjana memuji. Ia tersenyum licik karena rencananya berjalan lancar. Jika Rara tidak diberi pelajaran wanita itu tidak akan berubah dan menyadari semua kesalahannya. Harapan Tatjana dengan kejadian ini Rara sadar dan memperbaiki diri.
"Semoga anak itu sadar dan merubah sikapnya. Kalo dia masih bertingkah jalankan rencana selanjutnya. Buat dia tidak bisa bernapas dan tertekan. Kalo perlu buat dia memilih bunuh diri daripada hidup," ucap Tatjana tajam bak mata pisau. Kali ini ia tak main-main dengan ucapannya.
"Baik bos."
"Dimana kalian membuang dia? Apa kalian sudah berhati-hati?"
"Sudah bos. Kami sangat berhati-hati dan pria itu mengikuti kami ketika membawa Rara."
"Bagus itu yang aku inginkan. Apakah pria itu sudah membawa Rara pergi?"
"Sudah bos. Sepertinya lelaki itu sangat mencintai Rara. Sudah tahu wanita itu jahat dan menyebalkan masih saja suka," gerutu Vincent menyayangkan sikap lelaki yang telah menyelamatkan Rara.
"Cinta itu buta Vincent. Jika lo jatuh cinta akan tahu rasanya diposisi laki-laki itu. Lo ngomong gitu karena lo belum jadi budak cinta. Mungkin jika lo bucin bisa lebih gila daripada lakilaki itu." Tatjana balik mentertawai Vincent. Entah kenapa ia sangat terhibur berbicara dengan Vincent. Mereka sudah lama saling mengenal semenjak Tatjana kerja di TA.
Vincent menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia setuju dengan pendapat Tatjana.
"Kenapa lo diam aja? Berarti lo setuju sama pendapat gue?" Tatjana mempunyai bahan untuk menggoda Vincent.
“Gue enggak setuju. Masa jadi bodoh karena cinta nanti malah dimanfaatin. Kalo ketemu cewek macam si gundik yang ada bukan bahagia, tapi makan hati karena dia matre."
"Lo kalo jatuh cinta sama cewek apa sama cowok sich?"
"Biar kata gue dibilang tulang lunak gue masih doyan cewek. Pikiran lo jelek aja tentang gue."
"Hahahahahahaha." Tatjana tertawa lepas karena Vincent terpancing emosi.
"Kurang ajar lo," umpat Vincent pura-pura kesal.
"Ya udah bayaran kalian nanti ditransfer asisten gue."
"Enggak usah Tatjana. Lo terlalu baik sama kami. Bantuan kemarin sudah cukup kok." Vincent cukup tahu diri tak meminta lebih. Apartemen dan cicilan mobil sudah dibayar lunas Tatjana dan itu membuatnya lega. Tak ada lagi kewajiban yang akan ia bayar setiap bulannya.
"Jangan malu-malu. Yang kemarin untuk menebus rasa bersalah atas sikap papi gue."
"Enggak Tatjana. Lo kasih gue kerjaan lebih layak dari TA udah alhamdulilah banget. Enggak usah bayar kami karena memberi pelajaran sama Rara. Hitung-hitung kami membalas sakit hati sama dia. Kami ikhlas melakukannya tadi, walau sedikit kejam. Gue sebenarnya ga tega liat dia. Sejahat-jahatnya gue enggak mau balas dendam sama dia. Kalo kejahatan dibalas kejahatan berarti gue sama dengan dia. Gue ogah selevel sama dia." Tatjana tertohok mendengar ucapan Vincent.
"Tumben lo bijaksana? Kesambet setan apa?"
"Enggak ada. Gue sadar sendiri."
"Ya udah gue tutup teleponnya dulu. Gue masih ada kerjaan."
"Sip bos. Sukses buat lo."
"Lo juga."
Vincent memutuskan sambungan telepon. Ketika menaruh smartphone seseorang duduk di depan meja Tatjana. Awalnya kaget, tapi karena tahu siapa yang duduk di depannya Tatjana tersenyum.
"Sudah lama datangnya?"
"Sebenarnya sejak tadi sich, cuma liat kakak ipar serius banget ya aku liatin aja," ucap lelaki tampan.
"Vino kamu bisa saja. Aku enggak serius kok hanya teleponan dengan teman."
"Abang mana kak? Tadi kami janjian mau ziarah ke makam mama dan papa. Kami sudah lama tidak mengunjungi mereka. Aku cari di ruangannya tidak ada. Aku kira bang Dion ada disini."
"Ya Allah Vino maafkan aku. Dion rapat bersama Pak Menteri. Harusnya aku yang pergi bukan Dion," ucap Tatjana penuh penyesalan.
"Ya udah kak kalo gitu aku balik aja. Lain kali kami pergi bersama," mata Vino berkacakaca. Lelaki muda itu tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
Vino memang lebih sensitif daripada Dion. Ia gampang tersentuh dan peka terhadap orang
lain. Dari kecil sifatnya bertolak belakang dengan Dion. Vino kecil lebih mudah tersentuh. Ketika melihat sang mama menangis, ia pun menangis. Sifat kedermawanannya sudah terlihat sejak kecil. Vino seorang dokter dan aktivis kemanusiaan. Ia sering berkeliling dunia untuk melakukan kegiatan sosial di daerah perang dan wabah penyakit. Vino pernah di Suriah menjadi relawan perang dan pernah ditangkap ISIS.
Vino rutin melakukan kegiatan sosial di Palestina. Ia mengobati rakyat Palestina dan menggalang bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Ia sering membuka donasi untuk membantu rumah sakit di Gaza, memberi makan anak yatim dan janda korban perang. Semua dilakukan dengan ikhlas.
Vino buka praktek sebulan penuh di Jakarta dan dua bulan berikutnya berada di Palestina untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Setelah itu ia akan kembali praktek di Jakarta selama sebulan dan akan kembali ke Palestina. Jika dokter sekarang banyak mengejar materi dengan buka praktek di beberapa rumah sakit, Vino berbeda. Ia mendedikasikan dirinya untuk kegiatan sosial dan profesinya sebagai ladang ibadah. Vino juga buka praktek di rumah dan tak memungut bayaran untuk warga kurang mampu. Ia memberikan obat gratis dan hanya meminta doa dari warga agar semua dosanya diampuni dan ibadahnya diterima Tuhan.
Lelaki muda itu hanya praktek pada satu rumah sakit dengan pelayanan prima. Ia siap dipanggil jika rumah sakit membutuhkan jasanya. Penghasilannya sebagai dokter ia donasikan untuk menolong rakyat Palestina. Perusahaan Dion dan Tatjana setiap bulan memberikan donasi untuk Palestina.
Tinggal sebagai aktivis kemanusiaan di Gaza, Palestina sering membuat hidup Vino dalam bahaya. Bom dan roket sudah menjadi makanan sehari-hari. Ia pernah di sandera tentara Israel, tapi ia tak pernah kapok untuk kembali. Ia sudah sering menyaksikan anak-anak Palestina menjadi anak yatim karena bombardir Israel. Hidup di Palestina membuat Vino dekat dengan Tuhan. Hidup serba kekurangan, dalam belenggu penjajah membuatnya bersyukur karena anak-anak Indonesia tidak merasakan penderitaan seperti anak-anak Palestina. Disana tak akan melihat pemandangan anakanak bermain gadget, bebas bermain kemana saja.
Vino sangat dicintai rakyat Palestina. Siapa yang tak kenal dokter tampan asal Indonesia? Murah senyum dan ramah.
"Vino tunggu!" Tatjana mencegah kepergian Vino. Ia harus menebus rasa bersalah pada Vino.