Karma

Meliseis Dhemewa
Chapter #2

Tiga Hari Sebelum Pesta Dansa Kelulusan

      Cara tidak tahu harus berkata apa lagi. Sebab, Charlie dengan berani memegang tangannya, memojokkannya di lorong perpustakaan yang jarang sekali dikunjungi orang-orang. Matanya yang sipit semakin kecil saja ketika sedang memicing, lengkap dengan seringai khas miliknya. Mendadak bulu kuduknya meremang, dan ia merasa tengah dalam bahaya besar karena telah berhadapan dengan lelaki itu.

      Sekali lagi Cara meronta untuk melepaskan cengkeraman tangan Charlie, namun tangan itu begitu erat mencengkeramnya dan ia yakin setelah ini akan ada tanda lebam kebiru-biruan di sekeliling pergelangan tangannya.

      Mendongak, menatap wajahnya yang terlihat puas, lalu mendengus kasar. Cara tidak ingin dianggap lemah apalagi dimanfaatkan seperti ini setelah apa yang telah ia berikan kemarin—uang yang jumlahnya lumayan banyak, bahkan ia rela mengorbankan semua isi tabungannya untuk membayar jasa orang di depannya itu. Tapi apa yang didapatkannya kali ini? Pemerasan lagi, katanya dalam hati. Dan ini tidak bisa berlanjut terus-menerus, pikirnya.

      “Pemerasan!” serunya dengan nada jengkel. “Bukannya sudah kuberi kau uangnya kemarin. Kau memerasku, Charlie!” matanya memicing, dengan ekspresi kesal dan kembali meronta. “Dan kau juga menyakitiku. Lepaskan aku, atau aku akan berteriak,” ancamnya.

      Namun ancaman itu seperti dianggap angin lalu, karena setelahnya, Charlie kembali menyeringai. Menariknya, nyaris wajah mereka bertubrukkan, lalu membisikan kata-kata yang membuat amarah Cara meluap ke ubun-ubun. “Silakan,” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. “Dengan kau mengumpulkan orang-orang, aku dengan mudah akan memberitahukan apa yang sudah kaulakukan. Kau pasti tahu apa yang kumaksudkan, Cara Maddison.”

      Tidak. Ini tidak adil, pikirnya, bukannya mereka sudah sepakat?

      “Tidak! Charlie! Kau tidak bisa berbuat semaunya seperti itu kepadaku. Kita sudah sepakat, dan kesepakatan itu sudah kupenuhi dengan memberimu sejumlah uang kemarin,” katanya.

      Charlie menggelengkan kepala. Senyuman memuakan kembali tersungging dari bibirnya dan Cara membencinya. “Tidak semudah itu,” tukasnya. “Jika aku mau, pasti aku yang akan mengikuti perlombaan itu dengan namaku sendiri, dan aku pastikan kemenangan itu menjadi milikku. Oh iya, omong-omong kau tahu berapa jumlah uang yang bisa kau dapatkan jika kau jadi juaranya?” tanyanya. “Kira-kira dua kali lipat dengan jumlah uang yang kauberikan kemarin. Jadi, pantaskan jika aku meminta uang lagi sebagai jasa tutup mulut?” kemudian ia tertawa. Menjauhkan diri dan melepaskan cengkeramannya. Berbalik badan dan hendak meninggalkan Cara. “Aku akan menunggumu di tempat biasa. Kira-kira pukul lima sore kau sudah harus menyerahkan uang itu padaku,” katanya tanpa menoleh ke belakang, lalu melenggang pergi dengan kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celananya.

      Cara meringis. Menundukkan kepala. Mengamati pergelangan tangannya yang lebam kebiru-biruan. Mendongak sambil menghembuskan napasnya kasar. Memicing, menatap nyalang lelaki itu yang sebentar lagi berbelok di tikungan. “Kau tidak bisa memerasku terus-menerus, Charlie,” desisnya. Namun kemudian, wajahnya mendadak memucat tatkala seseorang keluar dari persembunyian.

      Rambut merah tembaga berombak itu dibiarkan tergerai. Menutupi salah satu bahunya yang menampakkan betapa mulusnya kulit yang dimilikinya . Sementara ia tengah tersenyum kaku ke arahnya sambil berjalan pelan, Cara masih terlihat syok. Wajahnya masih pucat pasi. Matanya yang bulat terbelalak kaget. Kemudian, ia tersentak, dan tidak sadar jika telah melangkah mundur.

      “Hai, Cara,” sapa gadis itu.

Lihat selengkapnya