Karma

Meliseis Dhemewa
Chapter #3

Sebelum Pesta Dansa Kelulusan

      Hari ini Senin sore, di mana sebagian murid telah pulang untuk mempersiapkan diri mereka masing-masing. Pesta dansa kelulusan tinggal beberapa jam lagi. Aula di sekolah sudah disulap dengan begitu indah. Sebuah panggung untuk penampilan band. Sementara di tengah-tengahnya adalah lantai dansa.

      Cara melangkahkan kakinya dengan terburu-buru. Sorot matanya tampak resah dan ketakutan, bergerak liar mengelilingi aula, lalu kembali melangkahkan kakinya pergi dari aula.

      Nyaris bertabrakan dengan seseorang di koridor sekolah, namun karena menghindari tabrakan itu kakinya tersandung dan hampir tersungkur ke dapan jika tangan seseorang di depannya tidak menopang dan memeganginya, wajahnya akan benar-benar mencium lantai. Cara mengembuskan napas, menengadah untuk berterima kasih pada seseorang itu. Akan tetapi, melihat siapa orang di depannya membuat mulutnya hanya mampu ternganga tak percaya.

      Wajahnya mendadak memucat. Buru-buru ia melepaskan diri dari rengkuhan orang itu. Mundur beberapa langkah, berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Namun, orang itu ternyata lebih gesit—mencekal pergelangan tangannya. Tak tanggung-tanggung, pun orang itu menariknya sampai Cara kembali ke dalam dekapannya.

      Mata sipit berwarna cokelat itu menatapnya tajam. Seringai khasnya tampak terlukis dari bibirnya yang tipis. Sementara Cara berusaha meronta untuk membebaskan diri, orang itu semakin mengeratkan dekapannya dengan masih mencekal pergelangan tangannya.

      “Lepaskan aku, Charlie,” serunya. Ia meringis merasa kesakitan di sekitar pergelangan tangannya. “Kau menyakitiku,” lanjut ia berkata.

      Akan tetapi Charlie seperti tak mengindahkan ucapannya, karena yang ia lakukan sekarang lebih berani dan lebih membuat Cara mengernyit menahan sakit.

      Lelaki itu kembali memojokkannya seperti kejadian tempo hari di ruang perpustakaan. Punggungnya membentur dinding di koridor. Sementara tangannya masih terpulintir di balik punggungnya, Charlie kembali menyeringai, seolah-olah ia sangat menikmati setiap detik ia meringis karena merasa kesakitan. Lalu Cara bisa merasakan embusan napas beraroma mint menerpa permukaan wajahnya, dan ia baru sadar jika wajah lelaki itu benar-benar dekat, hanya beberapa inci darinya.

      Dengan kedekatan itu membuat Cara bisa melihat lebih jelas wajah lelaki itu. Mata kecil berwarna cokelat yang dipayungi bulu mata lentiknya. Kemudian pandangannya turun menyusuri lekukan hidungnya yang mancung. Bibir tipis namun begitu merah tanpa polesan apa pun, membuat bibir Cara berkedut—entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi ia merasakan wajahnya mendadak memanas. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Cara kembali memfokuskan diri untuk menatap wajah itu lagi, dan ia berjanji tidak akan terbawa suasa karena telah diam-diam mengaguminya.

      “Lepaskan aku, Charlie, kau benar-benar menyakitiku,” ulangnya. Kembali meronta untuk melepaskan diri. “Kita bisa bicara baik-baik, tidak seperti ini.”

      Charlie mengernyit, melonggarkan cekalannya tapi tidak melepaskannya. Diembuskannya napasnya kencang-kencang, lalu ia tersenyum. “Jika aku melepaskanmu saat ini, kau pasti akan melarikan diri dariku, dan aku tidak ingin seperti itu.” Sambil menjauhkan wajahnya, tapi masih terus menatap Cara lekat. “Dan aku suka ketika pipimu memerah, Cara. Kau terlihat sangat manis.”

Lihat selengkapnya