Panas matahari di Kshetrapala terasa berbeda, seperti tidak menyengat tapi cukup untuk membuat kehangatan menjalar di kulit. Aku masih mencerna apa yang baru saja terjadi—ujianku dengan portal dan cahaya biru yang keluar dari tanganku. Apa sebenarnya energi ini? Bagaimana aku bisa memiliki kekuatan seperti itu?
"Baiklah, pendatang baru, sepertinya kau berhasil melewati ujian pertama," kata Sarvendra sambil memutar-mutar tongkat kayu pendek di tangannya. "Tapi jangan berpikir itu sudah cukup. Kau baru saja memulai perjalananmu. Untuk bisa bertahan di sini, kau harus belajar mengendalikan Prana."
Aku memandangnya dengan penuh kebingungan. "Apa sebenarnya Prana itu?"
Sarvendra berhenti dan menatapku dengan alis terangkat, seolah aku baru saja bertanya hal paling bodoh. "Prana adalah segala sesuatu, Aryasaka. Energi yang mengalir di sekitar kita—di udara, tanah, bahkan di dalam dirimu. Ini adalah esensi dari Kshetrapala. Tanpa Prana, dunia ini akan mati."
Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna penjelasannya. Tapi tentu saja, ini semua terlalu abstrak untuk otakku yang sudah kelelahan.
Sarvendra melanjutkan, "Untuk mengendalikan Prana, kau harus fokus. Konsentrasimu adalah kunci. Tapi jangan terlalu percaya diri. Ada banyak pendatang baru yang gagal dan akhirnya menyerah."
Dia membawaku ke area terbuka yang dipenuhi batu-batu besar dengan berbagai ukuran. "Latihan pertama kita sederhana," katanya sambil menunjuk salah satu batu. "Kau harus memindahkan batu itu hanya dengan pikiranmu, menggunakan Prana yang ada di dalam dirimu."
Aku terkejut. "Apa? Aku bahkan tidak tahu caranya! Bagaimana mungkin aku bisa memindahkan benda sebesar itu?"
Dia tertawa kecil. "Itulah gunanya latihan, Aryasaka. Kau harus mencoba. Tutup matamu, rasakan aliran Prana di sekitarmu, dan arahkan energinya ke batu itu."
Dengan enggan, aku menuruti sarannya. Aku menutup mata dan mencoba merasakan sesuatu—apa pun. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Hanya keheningan dan suara angin yang lembut. Tapi perlahan, aku mulai merasakan sesuatu. Sebuah aliran hangat, seperti arus air, bergerak di sekitar tubuhku. Apakah ini Prana?
Aku mencoba memusatkan perhatian pada batu itu, membayangkan bahwa energi hangat itu mengalir dari tubuhku ke arah batu. Namun, setelah beberapa menit, batu itu tetap diam. Aku membuka mata dan mendapati Sarvendra menggelengkan kepala.
"Kau terlalu tegang," katanya. "Prana bukan sesuatu yang bisa kau paksa. Kau harus membiarkannya mengalir secara alami. Fokus, tapi jangan memaksakan dirimu."
Aku menghela napas panjang dan mencoba lagi. Kali ini, aku membiarkan pikiranku lebih santai. Aku membayangkan arus hangat itu mengalir seperti sungai, lembut tetapi penuh kekuatan. Perlahan, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Batu itu mulai bergetar. Hanya sedikit, tapi itu cukup untuk membuatku tersentak.
"Bagus!" seru Sarvendra, suaranya terdengar sedikit terkejut. "Kau benar-benar melakukannya!"