Sepasang mata terbuka, menatap sinar matahari yang menyelinap diantara tirai. Seorang pria baru saja terbangun dari tidurnya diiringi suara alarm berdering yang terdengar diseisi kamar tidur yang cukup berantakan itu, waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Pria itu beranjak dari tempat tidur lalu membuka tirai mempersilahkan sinar matahari masuk sepenuhnya lalu bergegas mengambil handuk dan menggantungkannya di lehernya sambil berjalan ke arah dapur. Tak lama Ia kembali sambil membawa segelas air lalu sejenak ia menatap dinding yang di penuhi oleh lukisan-lukisan yang tergantung disana, coretan penuh warna yang sangat bermakna bagi dirinya.
Menjadi seorang pelukis memang sudah menjadi impian Damar sejak lama. Sejak kecil Damar sering menggambar apa saja yang ada di hadapannya entah itu burung, gedung bahkan sebuah bis yang sedang berhenti di Halte. Namun jiwa seni itu tumbuh di lingkungan yang tidak tepat. Ibunya selalu mendorongnya untuk fokus belajar dan meraih nilai bagus agar bisa menjadi berhasil, alih-alih untuk mengembangkan potensi melukisnya. Damar memang bukan berasal dari keluarga yang berada, sehingga mejadi seorang seniman dianggap bukan jalan yang tepat untuk menjadi manusia. Hingga dengan berat hati Damar harus mengubur mimpinya demi menghapus keraguan sang ibu akan masa depan.
Tak selang beberapa lama dering ponsel dari meja terdengar memecah lamunan Damar. Di layar ponsel tertulis "Bu Atut".
"Halo." Damar menjawab telepon dengan suara agak serak khas pria yang baru saja bangun tidur.
"Pak Damar, saya mengingatkan untuk membawa laporan yang saya minta kemarin."dengan nada tegas Bu Atut berbicara dan setelah itu langsung menutup telepon.
Dengan wajah malas, Damar melempar ponselnya ke arah tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Suara kucuran air dari keran terdengar mengisi keheningan.