Sepasang mata perlahan terbuka, menatap sinar matahari yang masuk melalui celah tirai yang sedikit tergerai. Alarm yang berisik memecah keheningan pagi, mengisi ruangan yang terlihat sedikit berantakan, piring kotor menumpuk di meja samping tempat tidur, buku-buku berserakan di lantai. Jam di meja menunjukkan pukul tujuh pagi. Damar baru saja terbangun dari tidur yang berat. Dengan mata yang masih mengantuk, ia mengusap wajahnya dan bangkit dari tempat tidur, tubuhnya terasa kaku.
Ia mengusap rambutnya yang berantakan, lalu melangkah malas menuju jendela. Tirai dibuka lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari pagi menyapu ruangan yang gelap. Damar menatap ke luar sejenak, melihat langit biru yang cerah, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih membayangi.
Dengan langkah pelan, Damar mengambil handuk yang tergantung di kasur dan melemparkannya ke leher. Tanpa banyak berpikir, ia menuju dapur untuk meminum air. Ruang dapur yang sederhana dan tidak teratur seolah mencerminkan hari-harinya yang biasa saja, tidak ada yang spesial.
Setelah meneguk air, Damar kembali ke ruang tamu dan berhenti di depan dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan. Lukisan-lukisan itu tidak hanya sekadar gambar, setiap coretan warna yang ada di sana bercerita tentang perasaan dan mimpi-mimpinya yang terkubur. Beberapa lukisan terlihat setengah selesai, beberapa bahkan sudah mulai pudar warnanya. Tapi itu tidak masalah baginya, karena setiap goresan di kanvas itu adalah bagian dari dirinya yang tak ingin ia lupakan.