Karsa

Ananda Galih Katresna
Chapter #2

Hari Pertama

"Pak Damar! Selamat pagi!" seru sekumpulan siswa SMA Karya yang berlari kecil di trotoar jalan menuju sekolah. Suara mereka mengisi udara pagi yang segar, seiring langkah kaki mereka yang tergesa-gesa menuju gerbang sekolah.

"Cepat! Keburu gerbang sekolahnya ditutup!" teriak salah seorang dari mereka, berusaha memberi semangat pada teman-temannya.

Damar tersenyum mendengar teriakan itu. Ia mengangguk ke arah mereka sambil membunyikan lonceng sepeda yang menggema di sepanjang jalan sepi. Dengan langkah pelan, ia melaju di trotoar, memperlambat sedikit laju sepedanya agar bisa memberi ruang bagi para siswa yang sedang terburu-buru.

Seperti hari-hari biasa, Damar selalu berangkat menggunakan sepeda karena jarak rumahnya dengan sekolah memang cukup dekat. Ia menikmati kebiasaan ini, tidak hanya untuk sekadar berolahraga, tetapi juga untuk memberi kesempatan pada dirinya untuk berinteraksi lebih dekat dengan para murid yang sering terlambat. Biasanya, ia akan datang bersama mereka yang sedang berlari, memberi mereka semangat agar mereka bisa masuk tepat waktu.

Damar dikenal sebagai guru yang tidak biasa di SMA Karya. Berbeda dengan guru-guru lain yang lebih senang menghargai murid-murid pintar dan berprestasi, Damar selalu memberikan perhatian lebih kepada mereka yang tertinggal. Ia tahu betul bagaimana rasanya merasa diremehkan di sekolah. Itu sebabnya, ia berusaha menjadi guru yang bisa membantu mereka yang sering terabaikan, membantu mereka menemukan potensi diri mereka yang mungkin tersembunyi.

"Pagi, Pak Damar!" sapa seorang satpam yang berjaga di depan gerbang sambil membukakan pintu gerbang sekolah.

Damar turun dari sepedanya dan berhenti sejenak, menatap barisan siswa yang masih berlari menuju gerbang. "Tunggu mereka masuk dulu, baru tutup gerbangnya," katanya dengan suara tenang, namun tegas.

Satpam itu mengangguk, tersenyum seakan sudah terbiasa dengan rutinitas pagi Damar. Beberapa detik kemudian, gerombolan siswa berlarian melewati gerbang, wajah mereka penuh keringat dan nafas terengah-engah. Mereka tersenyum lebar ke arah Damar, seolah ucapan terima kasih tanpa kata. Damar membalas dengan senyuman lebar, merasa puas bisa membantu mereka meskipun dalam cara yang sederhana.

Namun, matanya tertuju pada seorang siswa yang tampak masih jauh di kejauhan, berlari dengan cepat. Tanpa ragu, Damar memanggilnya.

"Andhika! Cepat, udah telat!" teriak Damar dengan suara lantang sambil melambaikan tangan ke arah Andhika yang tampak tertawa terengah-engah, masih jauh di ujung jalan.

Suara keras dari dalam sekolah memecah keheningan pagi itu. "Pak Satpam! Tutup gerbangnya!" teriak Bu Atut, kepala sekolah yang sudah keluar dari ruangannya, suaranya menggema sampai ke luar gerbang.

Bu Atut berjalan dengan langkah cepat menuju gerbang sekolah, wajahnya terlihat kesal. Satpam itu segera bergerak cepat menutup gerbang sekolah dengan raut wajah sedikit ketakutan.

"Udah jam segini harusnya gerbang sudah ditutup!" ujar Bu Atut dengan nada ketus, suaranya yang tegas dan tidak bisa dibantah membuat suasana semakin tegang.

"E-e-maaf, Bu..." satpam itu terbata-bata, jelas ketakutan.

Melihat ketegangan itu, Damar segera berusaha menenangkan suasana. "Satpam, buka gerbang buat saya, Bu. Saya yang telat," kata Damar dengan suara tenang, mencoba meredakan ketegangan yang tercipta.

"Pak Damar, rumah deket dari sekolah, masih aja telat," Bu Atut membalas dengan nada yang masih ketus, tak sedikitpun mengubah ekspresi wajahnya yang tampak kecewa.

"Maaf, Bu, air dirumah saya mati jadi..." Damar berusaha memberikan penjelasan, tetap sambil tersenyum, meskipun ia tahu jawaban itu tidak akan membuat Bu Atut lebih sabar. Namun, kata-kata Damar dipotong cepat oleh Bu Atut.

"Cepat ke lapangan, upacara pertama dengan murid baru!" Bu Atut berkata sambil bergegas menuju lapangan, meninggalkan Damar yang masih berdiri di depan gerbang.

Damar menoleh dan melihat Andhika yang baru saja sampai dengan wajah memerah dan nafas terengah-engah akibat berlari. "Pak, bukain gerbangnya!" seru Andhika, berharap bisa mendapatkan izin untuk masuk.

"Telat," jawab Damar sambil menoleh dengan wajah yang mengejek. Senyum kecil muncul di wajahnya. Satpam yang melihat kelakuan Damar pun tidak bisa menahan tawanya.

Damar kemudian melanjutkan perjalanan, mendorong sepedanya masuk ke dalam sekolah. Ia melewati gerbang yang kini sudah tertutup rapat. Andhika, yang masih di luar, berusaha merayu satpam agar dibukakan pintu gerbang. Damar, yang sudah merasa puas membantu mereka yang terlambat, tidak lagi menghiraukan.

Damar memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus guru, berdampingan dengan mobil-mobil milik guru lain. Damar adalah satu-satunya guru yang memakai sepeda untuk pergi ke sekolah. Bahkan di saat siswa-siswa lain sudah menggunakan kendaraan bermotor, Damar masih setia dengan sepedanya, yang ia anggap sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan dengan murid-muridnya.

Suara gemuruh para siswa yang berada di lapangan upacara terdengar sampai ruang guru. Begitu juga dengan suara Bu Atut yang berbicara di pengeras suara. Di ruang guru, suasana terlihat sepi. Semua guru sudah berada di lapangan untuk melaksanakan upacara. Damar baru saja masuk dan berjalan menuju mejanya yang berada di ujung ruangan. Ia menyimpan barang-barangnya, merapikan sedikit ruangannya yang terlihat cukup berantakan.

Setelah menyimpan barang-barangnya, Damar melangkah menuju lapangan upacara. Ia berdiri di samping guru-guru lainnya, menatap barisan para siswa yang sedang berbaris rapi. Lapangan sekolah dipenuhi dengan para siswa yang berdiri tegap, mengenakan seragam yang masih tampak baru.

Damar melirik ke ujung kiri barisan yang diisi oleh para siswa baru. Seragam mereka terlihat begitu bersih dan rapih, seolah mereka baru saja membeli pakaian itu. Meskipun seragam mereka hampir sama dengan yang dikenakan oleh siswa lain, Damar dapat membedakannya hanya dengan melihat dari jauh. Dari sudut mata, ia juga bisa melihat Andhika yang berbaris di barisan paling kanan, bersama para siswa yang terlambat datang ke sekolah.

Sebagian besar dari mereka adalah siswa kelas dua, anak tengah sekolah yang sedang dalam masa nakalnya. Namun, ada satu wajah yang Damar kenali di antara mereka, yaitu Andhika, seorang siswa kelas tiga yang tetap berada di sana meskipun usianya sudah lebih matang. Damar tahu bahwa Andhika selalu menjadi murid yang sedikit berbeda, berani, dan tidak bisa dianggap remeh.

Lihat selengkapnya