Dentingan bel sekolah yang terdengar keras menggema di seluruh penjuru sekolah, menandakan bahwa jam istirahat telah tiba. Suasana yang selalu dinanti oleh hampir setiap siswa selain saat pelajaran olahraga. Dari pintu setiap kelas, satu per satu guru dan murid keluar, termasuk Damar yang baru saja menyelesaikan tugasnya di ruang guru. Di belakangnya, Albertus tampak mengikuti, berjalan menuju kantin, sementara Damar berbalik ke arah lain, menuju ruang guru.
Letak kantin dan ruang guru yang terpisah cukup jauh membuat mereka berpisah arah. Albertus berjalan bersama teman barunya menuju kantin. Ketegangan hari pertama sekolah mulai mereda, digantikan oleh rasa lapar dan keinginan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. SMA Karya, meskipun dikenal sebagai sekolah yang cukup elit, menawarkan fasilitas yang tak sedikit. Setiap hari, siswa mendapatkan makan siang yang sudah disiapkan oleh sekolah. Ini menjadi kebiasaan bagi siswa-siswa di sini, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kaya, seperti Albertus.
Suasana kantin begitu ramai, penuh dengan siswa yang sedang makan siang, sementara beberapa lainnya hanya duduk santai, bercanda dan tertawa bersama teman-teman. Albertus berusaha beradaptasi dengan suasana tersebut, memberikan senyuman kepada siapa saja yang berpapasan dengannya. Namun, ia tak bisa menghindari tatapan penasaran dari beberapa siswa, terutama karena penampilannya yang khas Indonesia Timur, sesuatu yang jarang ditemukan di sekolah ini.
Albertus merasa sedikit canggung, tetapi ia berusaha terlihat percaya diri. Ayahnya adalah seorang pengusaha tambang batu bara, dan meskipun status keluarganya membuat Albertus berbeda, ia merasa harus menunjukkan sikap ramah dan bersahabat.
"Terima kasih, Bu," ucap Albertus kepada penjaga kantin sambil menerima paket makanannya, mengangguk hormat. Ia membawa baki makanan itu, matanya melirik ke sekitar mencari tempat duduk yang kosong. Kantin yang penuh sesak membuatnya sedikit kesulitan, dan karena dia masih baru, ia merasa ragu untuk menumpang duduk di meja yang sudah diisi oleh kakak kelasnya.
Albertus akhirnya menemukan sebuah meja kosong di ujung kantin. Ia dan temannya berjalan menuju meja tersebut, berusaha memecah kerumunan siswa yang masih menikmati makan siang mereka. Namun, saat ia melangkah lebih dekat, Dimas, siswa kelas tiga yang sedari tadi memperhatikannya, membentangkan kakinya di depan Albertus, menghalangi jalan.
Albertus terkejut, dan dalam sekejap, kakinya tersandung, tubuhnya terjatuh dengan keras. Tangan yang sedang memegang baki makanan tidak siap untuk menahan berat tubuhnya yang jatuh, sehingga makanan yang dibawanya berceceran, menempel di lantai dan sepatu-sepatu beberapa siswa yang berdiri di sekitar situ. Albertus merasakan nyeri di bahunya yang membentur lantai, namun lebih dari itu, ia merasa malu. Seragam barunya yang semula putih bersih kini kotor oleh tumpahan makanan, dan pandangan tajam dari teman-teman sekelas membuatnya merasa seolah seluruh kantin sedang menatapnya.
Senyuman sinis Dimas terdengar jelas di tengah keramaian. Beberapa siswa yang melihat kejadian itu berusaha menahan tawa, sementara beberapa lainnya tertawa tanpa peduli. Albertus mengumpulkan kekuatannya untuk bangkit, tetapi ketegangan mulai muncul dalam dirinya.
"Maksud kau apa?" tanya Albertus, mencoba menahan kemarahannya, sambil mendorong Dimas cukup keras.
"Anak baru udah berani ya!" Dimas balas dengan nada mengejek, lalu menendang kaki Albertus dengan sepatunya yang terkotori makanan, menambah kemarahan Albertus.
"Jangan mentang-mentang aku anak baru, jadi bisa seenaknya, ya!" Albertus berkata dengan suara penuh tekanan, menunjuk ke wajah Dimas dengan jarinya. Tatapan matanya tajam, penuh dengan kekesalan yang sudah lama dipendam.
Dimas, yang merasa dihina, mengubah raut wajahnya yang tertawa menjadi serius. "Terus lo mau gimana? Mau gue minta maaf?" katanya dengan nada merendahkan, lalu mencolek tumpahan makanan yang ada di baju Albertus dan mengoleskannya ke wajah Albertus.
"PUKIMAI!" Albertus tidak bisa menahan dirinya lagi. Dengan emosi yang meluap, ia melontarkan pukulan kuat ke wajah Dimas, membuat Dimas terjatuh ke lantai dengan keras.
Seketika, perkelahian pun meletus. Dimas, yang sudah jatuh, bangkit dengan marah, dan berlari menuju Albertus. Ia menendang Albertus dengan kasar. Tanpa ragu, keduanya saling serang, adu fisik tanpa henti, di tengah kerumunan siswa yang menyaksikan kejadian itu dengan beragam ekspresi.
Andhika, yang sedari tadi melihat dari kejauhan, berlari melintasi kerumunan untuk mencoba melerai. Namun, teman-teman Dimas, yang mengira Andhika ikut berkelahi, langsung menyalahartikan niat Andhika. Mereka mengira Andhika bergabung dalam perkelahian, dan kericuhan pun semakin besar. Seperti tawuran dalam sekolah, para siswa tidak berusaha melerai, malah sebagian malah mundur dengan ketakutan, sementara beberapa lainnya mulai merekam kejadian tersebut menggunakan ponsel mereka.
Suaranya yang keras dan penuh amarah memecah kekacauan itu. "APA-APAAN INI?!" teriak Bu Atut, yang baru saja tiba di kantin dengan wajah merah padam. Suaranya yang menggema membuat seluruh kantin hening dalam sekejap. Tatapan tajamnya mengarah pada Dimas, Albertus, dan Andhika yang terlibat dalam perkelahian.
Begitu Bu Atut muncul, semuanya terhenti seketika. Dimas, Albertus, dan Andhika berdiri dengan wajah terengah-engah, tubuh mereka berantakan. Seragam mereka compang-camping, bahkan dua kancing baju Albertus terlepas. Mereka masih tampak marah, namun tidak ada yang berani melanjutkan setelah Bu Atut datang.
Para siswa yang sebelumnya menonton, buru-buru berhamburan pergi dari tempat kejadian. Mereka merasa takut, tak ingin terlibat lebih jauh dengan masalah yang sedang terjadi. Namun, beberapa dari mereka masih menatap dari kejauhan, penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Semuanya ikut saya ke kantor, SEAKARANG!" Bu Atut berbicara dengan suara penuh amarah, menuntut agar semua yang terlibat datang ke ruangannya. Tidak ada yang berani menanggapi. Perasaan takut sudah menguasai suasana.
Albertus, Dimas, dan Andhika berjalan dengan langkah berat, sementara siswa lainnya hanya menyaksikan dari jauh. Tidak ada yang berani membuka mulut. Bu Atut mengikuti mereka dengan tatapan tajam yang tidak bisa digambarkan, dan suasana kantin yang tadinya ramai kini sepi, seolah-olah peristiwa tadi hanyalah sebuah mimpi buruk yang segera dilupakan.
Di dalam kantor kepala sekolah, ketegangan semakin terasa. Damar, yang sudah mendengar desas-desus tentang perkelahian itu, segera bergegas menuju ruang kantor. Damar merasa harus ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk meredakan keadaan ini. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa ini adalah momen penting untuk mempertanyakan kembali bagaimana sekolah ini memperlakukan murid-muridnya yang berjuang, yang berbeda dari kebanyakan siswa lainnya.
***
Setelah kejadian yang penuh ketegangan di kantin, Albertus, Andhika, Dimas, dan dua kawannya kini berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan Bu Atut yang duduk di kursi kantornya. Rasa malu dan takut mendominasi perasaan mereka. Albertus, yang baru saja masuk ke SMA Karya, merasa bahwa hari pertamanya tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Ia merasa sangat bingung, terutama karena merasa dituduh atas sesuatu yang bukan sepenuhnya salahnya.
"Selama saya di sini, tidak pernah ada kejadian memalukan seperti ini," Bu Atut memecah keheningan dengan nada yang sangat tajam. Tatapannya penuh dengan rasa marah dan kekecewaan, sementara kepalanya sedikit menggelengkan, mengisyaratkan betapa kecewanya dia dengan kejadian ini. Semua murid di ruangan itu merasakan ketegangan yang membekap.
Bu Atut benar-benar marah, dan bukan tanpa alasan. Di bawah kepemimpinannya, SMA Karya selalu dikenal sebagai sekolah yang rapi dan teratur. Tidak ada tempat untuk perkelahian atau keributan. Dimas, meskipun sering jahil kepada siswa baru, tidak pernah ada yang berani melawan atau melaporkan tingkah lakunya. Namun, Albertus, yang baru tiba di sekolah ini, berbeda. Meskipun dia tahu bahwa tindakan melawan akan membuat masalah besar, Albertus tidak bisa diam ketika harga dirinya diinjak oleh Dimas. Ia merasa lebih baik menghadapi masalah daripada terus-menerus dihina di depan umum.
Rasa kesal Albertus semakin membengkak, namun ia memilih untuk tetap diam, tidak berani berbicara di depan Bu Atut yang sangat dihormati di sekolah ini.
Saat suasana hening itu hampir memuncak, pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan Damar masuk ke dalam. Ia melihat barisan murid dengan penampilan yang acak-acakan, dan ekspresi wajahnya yang biasanya tenang berubah menjadi bingung. Ia segera menilai situasi dan bertanya dengan hati-hati.
"Permisi, Bu..." Damar memulai, namun matanya langsung menangkap kondisi para siswa yang terlibat. "Ada apa ini, Bu?" Ia bertanya dengan penuh perhatian, berusaha mengerti apa yang sedang terjadi.
"Siswa baru, Pak Damar, membuat onar di hari pertama sekolah," jawab Bu Atut, masih dengan tatapan tajam yang langsung mengarah ke Albertus, membuatnya semakin merasa terpojok.
"Bukan saya! Dia yang mulai!" Albertus tidak bisa menahan diri. Telunjuknya terarah ke Dimas, mencoba membela diri.