"Pagi semuanya!" Sapa Damar penuh semangat pada para muridnya yang ada di Sanggar itu.
"Sekarang sore pak." Ucap Tiara, seorang siswi berparas cantik yang sedang berdiri menatap Damar dari sebuah cermin besar di dinding Sanggar.
"Ya maaf." Jawab Damar diiringi tawa.
Semua yang ada disana terlihat senang, pancaran senyum dan tawa terpampang jelas di wajah mereka. Hanya Albertus yang berdiri terpaku, diam dalam kebingungannya sendiri. Pasalnya, ekspektasi dirinya pada sebuah sanggar yang sangat kumuh diluar berbanding terbalik dengan keadaan didalamnya. Di pikirannya sanggar ini hanya berisi tumpukan meja dan barang yang sudah usang diselimuti sarang laba-laba layaknya di film horor. Namun matanya takjub melihat seisi Sanggar yang sangat bersih dan tertata rapi. Cerimin besar menempel kokoh pada dinding Sanggar. Peralatan seni seperti drum, piano hingga kanvas lukis tertata rapi di sudut-sudut ruangan. Albertus makin menerka-nerka, sebenarnya tempat apa ini, dan siapa orang-orang ini.
"Woy, malah bengong." Lamunan Albertus terpecah oleh tepukan Andhika pada pundaknya.
"Asik ada anggota baru nih." Ucap Bima, siswa bertubuh kurus yang terlihat senang akan kedatangan Albertus.
"Siapa kalian?" Lagi-lagi kepala Albertus seperti kesulitan memilah pertanyaan hingga sebuah pertanyaan bodoh terlontar lagi dari mulutnya menancing tawa orang-orang disana.
"Harusnya kita yang nanya gitu" Ejek Andhika sambil berlalu pergi dan menduduki Sofa di sisi ruangan.
"Kok cuma kalian, Boris mana?" Damar mencari muridnya yang lain.
"Lagi beli gorengan Pak." Jawab Intan, seorang siswi berparas cantik dengan rambut sebahu khas Polwan.
Albertus mengenali wajah Intan dan ingat bahwa Intan adalah salah satu siswa yang dipuji Bu Atut saat upacara karena menjuarai olimpiade matematika. Ia heran, mengapa dia ada disini bersama orang-orang ini juga Andhika yang terkenal bermasalah.
"Gorengan Mang Ujang masih hangat!" Seorang siswa dengan logat batak yang khas datang membawa dua bungkus gorengan ditangannya. Matanya langsung tertuju pada Albertus yang sedari tadi masih diam. Siswa itu bergegas menyimpan bawannya di meja lalu menghampiri Albertus.
"Aku Boris." Sambil menjulurkan tangannya pada Albertus.
"Aku Bertus, Albertus." Tangannya menyambut tangan Boris bersalaman.
"Oh jadi nama lu Albertus." Ucap Tiara.
"Lah, kalian belum kenalan? Jadi aku yang pertama? Berati aku teman pertama Bertus disini."
Keramahan Boris membuat suasana hati Albertus yang bingung mencair. Walaupun Ia belum bisa menebak tujuan mereka berkumpul. Setidaknya, Ia percaya orang-orang ini tidak akan menjahili dan menghinanya seperti Dimas.
"Biar saya yang memperkenakan." Ucap Damar sambil membuka bungkus gorengan yang ada di depannya lalu memberikannya pada Boris untuk di bagikan pada yang lainnya.
"Setiap murid disini punya julukan masing-masing. Yang sedang membagikan gorengan itu Boris. The Clown." Telujuk Damar mengarah pada Boris yang langsung berbalik dan melambaikan tangan pada Albertus.
"Yang itu Tiara, Dancing Queen." Telunjuk Damar beralih pada Tiara yang melambaikan tangannya seperti puteri indonesia.
"Lelaki yang saat jam istirahat kebawa-bawa masalah kamu itu Andhika. Dia ini serba bisa." Damar menatap Andhika yang memasang wajah sombong.
"Serba bisa ya, bukan serba jago." Ejek Tiara.
"Sialan!" Balas Andhika dengan tatapan kesalnya pada Tiara yang mengejeknya sambil menjulurkan lidah.
Damar tertawa melihat tingkah muridnya. "Sesuai permintaannya sendiri, dia ingin disebut Renaissance Man."
"Itu Little Magician, namanya Bima." Damar menatap Bima yang sedang memainkan kartu ditangannya.
"Yang terakhir Intan, Storyteller." Intan hanya menganggukan kepalanya saat Damar menunjuknya.
"Pak Damar, guru kita tersayang itu julukannya, Mentor." Tiara menambahkan.
Pikiran Albertus mulai mengerucut pada sebuah kesimpulan tentang siapa mereka dan apa yang mereka lakukan disini. Tapi dirinya tidak sepenuhnya yakin akan hal itu. Albertus pun ingin meyakinkan kesimpulannya. "Kenapa semua orang disini punya julukan?"
"Apa kamu sama sekali tidak bisa menebak?" Ucap Damar.
"Klub pahlawan super?" Albertus mencoba menebak.
"Kau benar wahai anak muda." Ucap Boris dengan nada bicara serius dan wajah yang meyakinkan.