Karsa

Ananda Galih Katresna
Chapter #4

Dunia Harapan

Albertus berjalan dengan langkah berat, meninggalkan sanggar kumuh yang ternyata menyimpan dunia yang sama sekali berbeda dengan apa yang dia bayangkan. Rasa bingung, cemas, dan sedikit terkejut masih menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti baru saja melihat dunia lain yang penuh dengan warna, namun sekaligus menimbulkan banyak pertanyaan yang lebih dalam. Kenapa mereka semua memiliki julukan aneh seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi di SMA Karya ini, tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi para pelajar, tapi justru penuh dengan aturan yang membingungkan?

Damar dan Andhika tampaknya sudah lama mengenal dunia seperti ini, namun Albertus merasa seolah ia baru saja dibawa ke sebuah dunia yang tidak pernah ia duga. Semua orang di sanggar itu terlihat seperti memiliki tujuan yang sama, mengekspresikan diri mereka dengan bebas, tanpa dibatasi oleh angka-angka di rapor atau label yang dipakai oleh sekolah. Namun, apakah Albertus siap untuk menjadi bagian dari dunia itu? Bagaimana jika dunia yang mereka tunjukkan hanya sebuah pelarian dari kenyataan yang lebih keras di luar sana? Apakah ia benar-benar bisa menyesuaikan diri di sini?

"Pak, saya harus pulang," Albertus akhirnya mengucapkan kata-kata yang sudah sejak tadi ingin ia sampaikan. Semua perasaan itu bercampur aduk, dan ia merasa ada yang mengganjal di hatinya. Ia tidak ingin membuat masalah lebih besar, terutama setelah insiden pagi yang membuatnya semakin merasa terasing.

Damar yang berdiri di dekat pintu mengangguk perlahan. "Kamu harus membuat keputusan sendiri, Albertus. Tidak ada yang memaksamu. Tapi jika suatu saat kamu ingin kembali, pintu ini akan selalu terbuka untukmu." Suara Damar terdengar tenang, namun penuh pengertian. Ia tahu bahwa Albertus sedang berada di persimpangan jalan yang sulit.

Andhika menatap Albertus dengan serius, tapi matanya penuh dengan pemahaman. "Gue tahu lo nggak siap. Nggak usah terburu-buru. Lo udah cukup banyak yang ngeliat lo hari ini. Tapi di sini, lo nggak perlu takut jadi diri lo sendiri."

Albertus hanya mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Sebelum ia berbalik, ia menatap sekeliling sanggar itu sekali lagi. Semua orang di sana tampak tidak seperti yang ia bayangkan. Mereka bukanlah orang-orang yang ingin merusak atau mempermalukan orang lain. Mereka adalah individu-individu dengan mimpi mereka sendiri, yang mencari cara untuk mengekspresikan diri mereka. Di sinilah tempat mereka bisa merasa diterima, jauh dari pandangan masyarakat luar yang kadang terlalu keras dan menuntut lebih dari yang mereka bisa beri.

Saat Albertus melangkah keluar, Boris berdiri dari kursinya dan berusaha menghampirinya. Tangan Boris terulur, namun gerakan itu terhenti saat Andhika memberi isyarat dengan kepala, menggelengkan sedikit untuk menunjukkan bahwa Albertus perlu waktu untuk sendiri. Tidak ada yang mengejar Albertus lagi, meskipun mereka bisa merasakannya, keputusan yang diambil oleh Albertus akan menentukan bagaimana hubungan mereka akan berkembang.

Boris berdiri terpaku sejenak, lalu duduk kembali di kursinya. Ia melihat Damar dan teman-temannya yang hanya diam, tidak mencoba untuk membujuk Albertus. Keputusan itu sudah diambil, dan mereka semua memahami bahwa Albertus sedang dalam masa pencarian dirinya sendiri. Mungkin hari ini bukan saatnya untuk memaksa, tetapi mereka percaya suatu hari nanti, Albertus akan kembali.

"Semoga dia kembali lagi," kata Boris pelan, namun penuh harapan.

Damar menatap ke luar pintu sanggar, mengikuti Albertus yang berjalan pergi. "Kita semua harus menemukan jalannya masing-masing. Tidak ada yang bisa dipaksakan," jawab Damar dengan suara yang lembut. Ia tahu, meskipun Albertus pergi sekarang, suatu saat ia mungkin akan kembalimencari sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna, yang tidak bisa diberikan oleh dunia luar yang kaku.

Intan, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Albertus punya potensi. Mungkin dia hanya perlu waktu untuk melihat bahwa di sini, kami semua bukan untuk mengejar angka-angka atau gelar. Di sini, kami bebas menjadi siapa saja yang kami inginkan."

Andhika mengangguk setuju. "Kadang, kita hanya butuh sedikit waktu untuk menemukan tempat kita. Tidak ada yang salah dengan itu."

Suasana di sanggar itu kembali terasa tenang, seolah semuanya mengerti bahwa Albertus sedang dalam perjalanan panjang untuk memahami dirinya sendiri. Damar memandang ke arah teman-temannya, merasa bangga dengan apa yang telah mereka ciptakan di tempat ini. Tempat di mana mereka semua bisa mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian dari dunia luar. Mereka mungkin hanya segelintir orang yang menginginkan kebebasan dalam segala bentuknya, tetapi mereka adalah orang-orang yang memahami satu sama lain, lebih dari sekadar label atau nilai yang diberikan oleh sekolah.

"Semoga suatu hari dia tahu, di sini kita semua adalah diri kita sendiri," kata Damar, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapapun yang ada di sekitarnya.

Dengan perlahan, mereka semua kembali melanjutkan aktivitas mereka, menunggu hari-hari berikutnya di mana Albertus mungkin akan menemukan jalannya sendiri.

***

Albertus berjalan di sepanjang jalan komplek perumahan, langkahnya pelan dan pikirannya jauh. Kepalanya tertunduk, matanya hanya mengarah pada jalanan yang ada di depannya, mengikuti setiap langkah dengan rasa bingung dan cemas yang menyelubungi dirinya. Selama perjalanan pulang, ia tidak bisa berhenti memikirkan hari pertamanya di SMA Karya, sebuah hari yang penuh kejutan dan kekecewaan. Hari yang seharusnya menjadi awal yang penuh harapan, justru malah dipenuhi dengan perkelahian, tuduhan, dan konflik.

Semua siswa baru lainnya pasti sedang sibuk mengenal sekolah baru mereka, menjalin pertemanan, dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, Albertus justru dipaksa untuk melihat sisi lain dari sekolahnya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di saat teman-teman sekelasnya masih ragu-ragu dalam berinteraksi, ia malah terjebak dalam perkelahian yang membuatnya merasa seolah-olah menjadi musuh dari seluruh sekolah, bahkan dari orang tuanya sendiri.

Saat langkahnya membawa Albertus sampai di depan gerbang rumahnya, ia mendongak. Rumah bergaya modern dengan halaman luas itu tampak begitu kontras dengan perasaan yang ada dalam dirinya. Sebuah rumah besar yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk kembali, malah kini terasa begitu jauh dan asing. Satpam yang bertugas membuka gerbang untuknya dengan ramah, namun Albertus hanya berjalan masuk dengan wajah yang kosong, tidak merespons dengan antusias seperti biasa. Kepalanya tetap tertunduk, membawa beban perasaan yang berat.

Pintu rumah terbuka, dan Albertus masuk ke dalam. Suasana di rumahnya tidak jauh berbeda dengan perasaan yang ia rasakan. Ayahnya sudah menunggunya di ruang tengah. Albertus yang belum sempat mengucapkan salam, tiba-tiba merasa sebuah tamparan mendarat keras di pipi kanannya. Suara tamparan itu seolah menggema di ruangan, dan Albertus hanya terdiam kaget, merasakan sensasi sakit yang menyusup ke dalam hati dan tubuhnya.

"Anak tolol!" bentak Ayah Albertus dengan suara keras, mata yang melotot penuh amarah seakan ingin keluar dari tempatnya.

Albertus terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dengan lemas, ia hanya bisa menjawab, "Ayah, kenapa?"

"Ayah sudah bekerja keras untuk memberikan yang terbaik untukmu!" suara Ayah Albertus semakin tinggi, penuh kekesalan. "Sia-sia ayah mendaftarkan kamu ke sekolah ternama! Maksud kamu mukulin kakak kelas apa? Mau jadi jagoan?"

Albertus menunduk, merasa lemah di hadapan ayahnya. "Bukan aku, dia yang mulai..." Albertus mencoba membela diri, meskipun suaranya pelan dan tidak berani menatap langsung mata ayahnya.

"Gausah bohong! Kepala sekolah kamu yang kasih tau Ayah!" bentak Ayahnya, wajahnya semakin merah karena marah. "Kamu sekolah di sana untuk belajar, biar bisa masuk universitas bagus dan meneruskan usaha pertambangan, bukannya buat sok jago! Ayah kecewa!"

Kepala Albertus terasa seperti dihantam keras. Ia menahan tangis yang hampir pecah, mencoba untuk menahan perasaan sakit yang datang dari setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Air mata perlahan mengalir di matanya, namun ia berusaha menahannya. "Kenapa semua orang menuduh Albertus seperti penjahat?" pikirnya dalam hati. "Bahkan Ayah sendiri."

Rasa marah, kesal, sedih, dan kecewa mulai membaur dalam dirinya. Tanpa bisa menahan lagi, Albertus menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh luka. "Ga ada yang percaya Albertus!" teriaknya dengan suara pecah, menumpahkan semua perasaan yang terpendam. "Semua orang menuduh Albertus layaknya penjahat, bahkan Ayah Albertus sendiri. Ayah benar, Albertus memang anak tolol!"

Lihat selengkapnya