Karsa

Ananda Galih Katresna
Chapter #5

Young Mamba : Awal Mula Sebuah Mimpi

"Pagi semuanya! Saya bawa pizza!" seru Damar dengan penuh semangat, saat memasuki pintu Sanggar. Kehadiran Damar selalu menjadi penyegar suasana. Kali ini, dia membawa sebuah kotak pizza besar yang aromanya sudah mulai menggoda perut orang-orang yang ada di dalam ruangan. Damar melangkah cepat, matanya langsung tertuju pada Albertus yang sedang duduk di sudut ruangan bersama teman-temannya, tampak sedikit canggung.

"Wah, anggota sudah lengkap, ya? Maaf, saya cuma bawa pizza satu box," lanjut Damar sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Tenang Pak, Albertus sudah bawain cemilan juga," jawab Andhika dengan nada santai sambil matanya melirik bungkus gorengan yang dibawa Albertus.

"Cocok!" seru Damar bersemangat. Suasana yang tadinya sedikit kaku kini terasa lebih hangat.

Kekhawatiran yang sejak kemarin menyelimuti diri Albertus perlahan menghilang. Ia merasa sedikit lebih tenang melihat sambutan hangat dari teman-temannya. Kelegaan mulai menyelimuti hati Albertus, yang seolah-olah merasa diterima dengan sepenuh hati. Sikap Damar seperti menunjukkan bahwa tak ada kejadian buruk yang terjadi kemarin. Ini memberi Albertus secercah harapan bahwa, meskipun hidupnya sedang penuh dengan masalah, setidaknya ada tempat di mana ia bisa merasa dihargai.

Albertus meletakkan gorengan yang dibawanya di atas meja, bersanding dengan kotak pizza Damar. Setelah itu, ia berdiri di depan mereka, bersiap untuk menyampaikan sesuatu yang ia pendam sejak kemarin.

"Maafin sikapku kemarin. Setelah pulang dari sini, aku jadi merenung tentang perkataan kalian. Tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang lain," ucap Albertus, suara terdengar sedikit bergetar. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan rasa sesak yang perlahan mengisi dadanya. Ini adalah saat pertama kalinya ia merasa cukup berani untuk membuka diri kepada orang lain.

"Udah santai aja," jawab Boris, mencoba meredakan ketegangan dengan senyum ramah.

Albertus mengangguk pelan, lalu melanjutkan ceritanya. "Kalau boleh sedikit cerita, di hari pertama sekolah aku jadi paham banyak hal. Mulai dari penghinaan yang datang dari Dimas, sikap Bu Atut yang sangat merendahkan, sampai kenyataan kemarin, ketika ayahku lebih percaya pada laporan Bu Atut daripada perkataanku. Memang hubungan aku dengan ayah sudah tidak baik sejak dulu. Hanya kalian yang masih bersikap baik padaku," ujarnya, mata mulai berkaca-kaca. Ia bisa merasakan emosi yang mulai meluap, namun ia menahan agar tidak sampai menangis di depan mereka.

Apalagi, lanjut Albertus, "Kak Andhika yang ikut disalahkan padahal di kejadian kemarin, cuma dia satu-satunya orang yang tidak bersalah." Tetesan air mata mulai merembes, namun ia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan.

Tatapan mata setiap orang di sana penuh dengan simpati. Bisa-bisanya seorang anak yang bahkan usianya jauh di bawah mereka harus memikul beban sebesar itu. Mereka semua terdiam. Tak sepatah kata pun terucap dari mereka. Bahkan Damar pun hanya diam, memberi ruang bagi Albertus untuk berbicara dengan hati yang terbuka.

"Lagi pula," Albertus melanjutkan, "mimpiku ingin menjadi musisi, bukan pengusaha tambang seperti yang diminta ayah. Dan kemarin, Kak Intan bilang kalau di sini kita bebas berekspresi sesuai dengan bakat." Kepala Albertus kini tegak, tatapannya penuh keyakinan. Ia merasa telah menemukan tujuan hidupnya yang sesungguhnya.

"Kalo gitu, tunjukin bakat kamu sekarang," kata Tiara mencoba mencairkan suasana dengan sedikit tertawa. Semua mata tertuju padanya, menanti apa yang akan dilakukan Albertus selanjutnya.

"Tapi aku penasaran, kenapa semua orang di sini harus punya julukan?" tanya Albertus dengan sedikit kebingungan, matanya menyapu ruangan yang penuh dengan teman-temannya.

"Julukan itu bukan kemauan kami, kok. Semua julukan itu dari Andhika, makanya dia pun ngasih julukan ke dirinya sendiri," ucap Damar, sambil tertawa kecil, mencoba menjelaskan kebiasaan aneh itu.

"Si paling narsis," celetuk Tiara sambil menyeringai, dan tawa pun pecah di antara mereka, menghilangkan ketegangan yang sempat ada.

Saat semua orang disana tertawa, Albertus merasa sedikit bingung dengan kebiasaan ini. Namun, tak lama setelah itu, matanya tertuju pada sebuah piano yang terletak di sudut ruangan. Piano itu sebagian tertutup kain, seolah-olah menunggu untuk dimainkan. Ia berjalan dengan langkah pelan ke arah piano itu, membuka kain penutupnya, dan mulai menyentuh tuts-tuts piano satu per satu, menghasilkan bunyi yang sangat merdu.

"Aku ingin punya julukan juga," ucap Albertus pelan, dengan mata yang memancarkan semangat dan tekad.

Andhika menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Ia memberikan izin tanpa kata-kata, cukup dengan anggukan kepala. Albertus, dengan percaya diri yang baru ditemukan, menatap piano di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya. Konser keduanya akan segera dimulai.

Dengan iringan melodi piano yang semakin mengalun merdu, Albertus mulai menyanyikan lagu Somebody to Love dari Queen. Suaranya yang jernih dan penuh perasaan memukau semua orang yang ada di sana. Ia menyanyikan setiap kata dengan sepenuh hati, seolah lagu ini adalah cerminan dari apa yang ia rasakan.

"Can anybody find me somebody to love?

Ooh, each morning I get up I die a little

Can barely stand on my feet

Take a look in the mirror and cry

Lord, what you're doing to me"

Setiap kata yang diucapkan Albertus menyentuh hati semua yang mendengarnya. Mereka bisa merasakan perjuangan yang ia hadapi, ketidakadilan yang ia rasakan dalam hidupnya. Lagu ini bukan sekadar nyanyian, tetapi sebuah ungkapan dari dalam hati.

"I work hard every day of my life

I work 'til I ache in my bones

At the end

Lihat selengkapnya