Pagi semuanya! Saya bawa pizza." Sapa Damar penuh semangat saat memasuki pintu Sanggar. Matanya langsung tertuju pada Albertus yang berada disana. "Wah anggota sudah lengkap. Maaf saya cuma bawa pizza satu box." Damar melanjutkan.
"Tenang Pak, Albertus udah bawain cemilan juga." Andhika menimpali ucapan Sambil matanya melirik bungkus gorengan yang dibawa Albertus.
"Cocok!" Seru Damar bersemangat.
Kekhawatiran yang sedari tadi menyelimuti diri Albertus perlahan hilang. Dia senang atas penyambutannya hari ini, bahkan sikap Damar seperti menunjukan tidak ada kejadian apapun kemarin. Albertus menyimpan gorengan yang dibawanya diatas meja bersampingan dengan pizza yang dibawa Damar. Lalu Ia berdiri hadapan orang-orang disana bersiap untuk menyampaikan sesuatu.
"Maafin sikap ku kemarin. Setelah pulang dari sini aku terfikir perkataan kalian tentang perlakuan orang lain itu benar." Albertus sedikit tertunduk saat berbicara.
"Udah santai aja." Boris menimpal.
"Kalau boleh sedikit cerita. Di hari pertama sekolah, aku jadi paham banyak hal. Dimulai penghinaan dari Dimas, lalu sikap Bu Atut. Bahkan kemarin ayahku sendiri lebih percaya laporan Bu Atut daripada ucapan anaknya. Memang hubunganku dengannya sudah tidak baik sejak dulu. Hanya kalian yang bersikap baik." Mata Albertus berkaca-kaca menahan emosinya."Apalagi Kak Andhika yang ikut disalahkan padahal dikejadian kemarin, cuma dia satu satunya orang yang tidak bersalah."
Tatapan mata setiap orang disana pada Albertus penuh simpati. Bisa-bisanya seorang anak yang bahkan usianya dibawah mereka punya beban sebesar itu. Tak sepatah kata pun terucap dari mereka, bahkan Damar pun hanya diam.
"Lagi pula mimpi ku ingin menjadi musisi bukan pengusaha tambang seperti permintaan ayah. Dan kemarin Kak Intan bilang kalau disini kita bebas berekspresi sesuai bakat." Kepala Albertus berubah tegak dengan tatapan yakin pada ucapannya.
"Kalo gitu tunjukin bakat kamu sekarang." Tiara mencoba mencairkan suasana.
"Tapi aku penasaran, kenapa semua orang disini harus punya julukan?" Tanya Albertus.
"Julukan itu bukan kemauan kami. Semua julukan itu dari Andhika, makanya dia pun ngasih julukan ke dirinya sendiri." Ucap Damar.
"Si paling narsis." Celetukan mengundang tawa keluar dari mulut intan yang sedari tadi hanya diam.
Saat semua orang disana mentertawakan Andhika, Albertus berjalan ke sisi ruangan ke arah sebuah piano yang setegah tertutup oleh kain. Kain dibuka lalu Ia menyalakanya hingga memancing perhatian semua yang ada disana. Jarinya menyentuh satu persatu tuts piano dan piano pun berbunyi normal.
"Aku ingin punya julukan juga." Ucap Albertus pada Andhika.
Andhika menatapnya lalu menganggukkan kepala sebagai isyarat pada Albertus untuk mulai menunjukan bakatnya. Semua orang disana terdiam tak sabar untuk tahu kemampuan siswa baru itu. Albertus menatap tuts pianonya sambil menghela nafas panjang. Konser keduanya akan segera dimulai. Ia pun bernyanyi dengan diiringi alunan merdu piano membawakan lagu Somebody to Love milik Queen.
"Can anybody find me somebody to love?
Ooh, each morning I get up I die a little
Can barely stand on my feet
Take a look in the mirror and cry
Lord, what you're doing to me
I have spent all my years in believing you
But I just can't get no relief, Lord!
Somebody ooh somebody
Can anybody find me somebody to love?
I work hard every day of my life
I work 'til I ache in my bones
At the end
I take home my hard earned pay all on my own
I get down on my knees