"Pelajaran hari ini selesai. Apakah ada yang ingin ditanyakan?" Mata Damar menyapu satu persatu mata muridnya.
"Tidak Pak!" Beberapa murid serentak menjawab dan sisanya hanya menggelengkan kepala.
"Tidak ada pertanyaan atau tidak paham?" Senyum tipis Damar terpancar dari bibirnya sambil mengambil penghapus papan tulis dan berjalan ke arah papan tulis yang penuh dengan tulisan dan angka. "Palingan kalau saya hapus papan tulis juga kalian langsung lupa pelajaran barusan." Tambah Damar sambil tertawa.
Serentak para murid tertawa mendengar ucapan Damar. Dari pengeras suara, suara bel sekolah berbunyi menandakan jam istirahat tiba. Damar masih sibuk menghapus papan tulis, para murid dibelakangnya sibuk membereskan alat tulis dan barang mereka sebelum keluar kelas.
"Silahkan kalian sudah boleh keluar." Damar menoleh pada muridnya sambil masih menghapus papan tulis. Serentak para murid satu persatu keluar dari Ruang Kelas.
"Pak, biar saya saja yang menghapus papan tulis." Ucap Albertus sambil mengambil penghapus yang ada ditangan Damar.
"Kamu tidak ke kantin bersama yang lainnya?" Tanya Damar sambil memasukan buku-buku ke dalam tasnya.
"Tidak Pak, saya belum lapar."
"Tidak lapar atau takut ketemu Dimas lagi?" Ucap Damar mengejek Albertus sambil tertawa.
Albertus terdiam saat mendengar ucapan Damar lalu tersenyum malu-malu. Memang benar dirinya masih agak takut bertemu dengan kakak kelas yang bermaslah dengannya waktu itu. Selain itu, Ia masih belum bisa berbaur dengan teman-temannya dikelas akibat kejadian itu hingga Ia memilih menyendiri terlebih dahulu. Namun Albertus memang belum merasa lapar karena sudah sarapan di Rumah sebelum berangkat sekolah. Hari ini dirinya tidak perlu berangkat lebih pagi untuk menghindari Ayahnya karena sekarang ada Ibunya yang baru saja datang dari Maumere. Albertus senang karena setidaknya ada yang akan melindunginya dari sang ayah.
Damar berjalan keluar dari pintu kelas. Diikuti Albertus yang berjalan dibelakangnya sambil membantu membawakan beberapa buku. Mereka berdua berjalan bersamaan melewati koridor sekolah. Suasana koridor cukup ramai, para siswa terlihat sekedar mengobrol satu sama lain. Beberapa siswa yang sedang berada disana tersenyum dan menyapa Damar. Namun, beberapa siswa malah fokus pada Albertus sambil menatapnya dengan tatapan aneh. Wajar saja jika Albertus jadi pusat perhatian, dia sudah jadi siswa baru paling tenar di SMA Karya bahkan saat hari pertamanya sekolah. Bukan hanya karena perkelahianya dengan Dimas si anak kesayangan sekolah. Tapi juga karena penampakan fisiknya yang sangat khas Indonesia Timur hingga mudah di kenali oleh siswa lainnya.
Albertus tidak terlalu menghiraukan pandangan orang lain terhadapnya. Sejak dulu, Ibunya sudah sering memberitahu tentang pandangan aneh orang-orang terhadap ras yang berbeda. Albertus sudah biasa dan siap menerima itu. Sekarang fokusnya malah mengarah pada Intan yang kelihatan tidak bergaul dengan siapapun. Padahal wanita itu adalah seorang yang dikenal luas juga di SMA Karya karena prestasinya yang selalu menang olimpiade. Intan yang dilihatnya di jam sekolah sangat berbanding terbalik dengan Intan saat di Sanggar.
"Pak! Kenapa kak Intan terlihat sangat pendiam? Padahal ketika di Sanggar, dia sangat ceria dan cukup banyak bicara?" Tanya Albertus sambil matanya mengarah ke Intan yang sedang sibuk sendiri dengan pensil dan kertas ditangannya.
"Dia murid saya yang paling sulit dipahami." Jawab Damar sambil terus berjalan.
"Maksudnya pak?" Tanya Albertus penasaran.
"Saya menghabisakan waktu cukup lama untuk bisa mengetahui bakatnya." Damar membuka pintu Ruang Guru lalu masuk diikuti oleh Albertus.
Damar menyimpan tasnya dimeja miliknya lalu mengambil buku yang dibawa oleh Albertus untuk menyimpannya juga. Kemudian, tangannya mengambil sebuah buku dari tasnya. Damar membuka buku itu lalu mengambil sebuah kertas yang terselip diantara halaman buku. Sebuah kertas buram yang dilipat menjadi dua bagian.