Karsa

Ananda Galih Katresna
Chapter #8

Storryteller : Coretan Penuh Cerita

"Pelajaran hari ini selesai. Apakah ada yang ingin ditanyakan?" Damar berdiri di depan kelas, matanya melirik satu persatu wajah muridnya. Suasana kelas pagi itu terlihat tenang, hanya sesekali terdengar suara bisik-bisik antar siswa. Kebanyakan dari mereka tampak serius mencatat di buku catatan, sementara beberapa siswa lainnya terlihat mengeluh karena sudah mulai merasa bosan.

"Tidak, Pak!" jawab beberapa siswa serentak, sementara beberapa lainnya hanya menggelengkan kepala, tanda mereka tidak memiliki pertanyaan lagi.

Damar tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Seperti biasa, pelajarannya hari itu tidak terlalu sulit. Hanya beberapa materi yang sudah sering diajarkan sebelumnya, dan sepertinya sebagian besar muridnya sudah memahami. "Tidak ada pertanyaan atau tidak paham?" tanya Damar dengan nada santai sambil mulai mengambil penghapus papan tulis. "Palingan kalau saya hapus papan tulis juga kalian langsung lupa pelajaran barusan," tambahnya sambil tertawa.

Ucapan Damar memicu tawa para siswa. Mereka mulai merasa lebih santai, bahkan beberapa dari mereka menaruh pena dan pensilnya. Suasana kelas yang tadinya tegang mulai berubah ceria. Dari pengeras suara terdengar suara bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa jam istirahat telah tiba. Damar masih sibuk menghapus papan tulis, sementara para siswa yang sudah selesai dengan pekerjaan mereka mulai membereskan alat tulis dan barang-barang mereka, bersiap untuk keluar kelas.

"Silahkan, kalian sudah boleh keluar," kata Damar sambil terus menghapus papan tulis. Murid-murid pun beranjak satu per satu, meninggalkan kelas dengan penuh kegembiraan.

Albertus, yang duduk di barisan depan, tidak langsung beranjak. Ia terlihat menatap papan tulis yang sekarang sudah bersih, seakan masih berpikir tentang sesuatu. Wajahnya serius, jauh dari senyum yang biasa ia tunjukkan di awal kelas. Ketika ia hendak bangkit, Damar menoleh ke belakang.

"Kamu tidak ke kantin bersama yang lainnya?" tanya Damar, suaranya ringan dan santai.

"Tidak, Pak, saya belum lapar," jawab Albertus pelan, suara dan ekspresinya menunjukkan sedikit keraguan.

Damar tersenyum simpul, seakan tahu apa yang sedang dirasakan Albertus. "Tidak lapar atau takut ketemu Dimas lagi?" tanya Damar, melemparkan gurauan sambil tertawa kecil.

Albertus terdiam sejenak, merasa sedikit terpojok oleh pertanyaan itu. Memang benar, ia masih merasa agak takut bertemu Dimas, kakak kelas yang selama ini bermasalah dengannya. Sejak perkelahian di hari pertama sekolah, Albertus memilih untuk menghindari Dimas dan teman-temannya. Ia belum merasa nyaman bergaul dengan teman-teman di kelas karena kejadian itu. Bahkan, saat ini, ia merasa lebih aman menyendiri, menghindari keramaian. Namun, Albertus tidak bisa menyangkal bahwa sarapan yang disiapkan ibunya pagi ini membawa sedikit ketenangan. Ibunya yang baru saja pulang dari Maumere memberikan rasa aman. Setidaknya, ada seseorang yang bisa melindunginya dari ayahnya, yang selama ini cukup menekan hidupnya.

Damar selesai mengemas buku-bukunya dan berjalan menuju pintu kelas. Albertus mengikutinya, membantu membawa beberapa buku yang ditugaskan untuk disimpan oleh Damar. Mereka berjalan bersama melewati koridor sekolah yang cukup ramai. Beberapa siswa menyapa Damar dengan senyuman, namun Albertus merasa beberapa mata menatapnya dengan rasa ingin tahu yang jelas. Pandangan itu membuatnya sedikit tidak nyaman, tetapi ia mencoba untuk tidak terlalu peduli.

Albertus menyadari bahwa dirinya memang menjadi pusat perhatian di SMA Karya sejak hari pertama. Bukan hanya karena insiden dengan Dimas, yang membuatnya terkenal di kalangan siswa, tetapi juga karena penampilannya yang khas, sangat Indonesia Timur. Albertus tahu bahwa banyak siswa yang mengenalinya hanya karena penampilannya. Meski demikian, ia memilih untuk tidak terlalu menghiraukan pandangan orang-orang itu. Sejak kecil, ibunya selalu memberitahunya bahwa pandangan orang tentang ras yang berbeda memang akan selalu ada, dan ia harus siap menghadapinya.

Namun, kali ini pandangannya lebih tertuju pada Intan, yang tampak sangat berbeda dari biasanya. Sejak tadi, Intan duduk sendiri di pojok koridor, sibuk dengan buku dan pensilnya. Padahal, Albertus tahu betul bahwa Intan adalah salah satu siswa yang dikenal di SMA Karya berkat prestasinya yang luar biasa dalam olimpiade. Keberhasilan Intan di bidang akademik membuatnya sangat dihormati di sekolah ini. Tetapi hari ini, Intan terlihat sangat pendiam, seolah terasing dari dunia sekitar.

"Pak! Kenapa Kak Intan terlihat sangat pendiam? Padahal di Sanggar dia sangat ceria dan cukup banyak bicara?" Albertus bertanya dengan mata yang masih mengarah pada Intan.

Damar yang berjalan di samping Albertus menanggapi dengan suara rendah, "Dia murid saya yang paling sulit dipahami."

"Maksudnya Pak?" Albertus semakin penasaran. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Intan kali ini.

Damar hanya menghela napas panjang. "Saya menghabiskan waktu cukup lama untuk bisa mengetahui bakatnya," jawab Damar dengan nada yang penuh pengertian.

Albertus tidak mengerti sepenuhnya, tetapi rasa penasarannya semakin besar. Dengan langkah ringan, Damar membuka pintu Ruang Guru dan masuk diikuti oleh Albertus.

Lihat selengkapnya