Karsa

Ananda Galih Katresna
Chapter #9

The Clown : Sang Penghibur

"Gawat! Boris!" Ucap Bima yang datang terburu-buru dengan nafas terengah.

"Kamu tenang dulu. Boris kenapa?" Ucap Damar dengan raut wajah menahan panik.

"Boris berantem didepan Sekolah sama Dimas." Ujar Bima sambil coba mengatur nafasnya.

"Dimas bangsat!" Andhika bangkit dengan wajah kesal saat mendengar nama Dimas lalu bergegas untuk keluar dari Sanggar.

Andhika setengah berlari meninggalkan Sanggar itu. Emosinya meluap saat mendengar nama Dimas. Bisa-bisanya setiap keributan yang sampai ditelinganya selalu ada nama orang itu ikut terlibat. Bukan hanya karena itu emosinya meluap, tapi juga karena Ia tahu Dimas akan dengan mudah menjadi orang tidak bersalah dimata Bu Atut dan guru lainnya. Padahal dirinya sangat yakin sumber setiap keributan pasti dari orang itu.

Melihat Andhika yang pergi buru-buru dengan emosi yang meluap-luap. Damar pun bergegas mengejarnya dan diikuti Bima di belakangnya. Damar khawatir akan emosi muridnya itu yang malah akan memperkeruh suasana. Ia tak mau melihat murid asuhannya terlibat hal seperti itu lagi. Apalagi Andhika yang namanya sudah sangat dipandang buruk oleh Bu Atut dan guru lainnya.

Albertus pun bangkit dan mencoba menyusul mereka yang pergi. Ia ingin tahu apa yanh sebenarnya terjadi hingga Bima sampai terlihat begitu panik saat tiba di Sanggar. Namun, langkahnya terhenti oleh hadangan Tiara yang menutup pintu Sanggar dan menghalanginya. Albertus bingung kenapa Kakak kelasnya itu malah menghadangnya. Matanya menatap Intan yang juga terlihat tidak bergeming dari tempat duduknya. Albertus heran mengapa dua wanita ini seakan tidak perduli pada temannya yang sedang terkena masalah.

"Kalo kita semua pergi kesana bakal nimbulin kecurigaan." Ucap Tiara.

"Maksudnya Kak?" Tanya Albertus bingung.

"Yang jadi masalah kalo ternyata disana masih banyak guru-guru terus ngeliat liat anak baru yang pernah bermasalah sama Dimas dan partner olimpiadenya Dimas masih ada di sekolah jam segini. Mereka bisa curiga nantinya." Ucap Intan dengan tatapan serius pada Albertus. "Paham?" Tegasnya.

"Kita tunggu aja kabarnya." Tiara menambahkan.

Disisi lain Andhika baru saja sampai di depan Sekolah dan melihat Pak Gugun satpam Sekolah sedang memegangi Boris yang terlihat emosi sambil menatap Dimas yang berada agak jauh didepannya. Sekilas terlihat Mata boris berlinang air mata dengan nafas yang memburu. Diantara mereka semua ada Bu Atut yang juga memperlihatkan ekspresi kekesalan pada wajahnya.

Tak lama, Damar dan Bima datang dan langsung berdiri disamping Andhika. Mata Damar langsung terfokus pada wajah Boris yang kelihatan sangat marah. "Masalah utama disini bukan perkelahian. Ini lebih besar." Ucap Damar sambil terus menatap Boris.

"Pak Damar benar." Bima menjawab.

Andhika mulai mengerti maksud dari guru dan temannya itu. Ia paham bahwa Boris tidak mungkin menangis seperti itu hanya karena berkelahi. Pasti ada masalah yang lebih besar terjadi sebelumnya. Perkelahian itu hanya luapan kekesalan Boris yang sudah tak terbendung sejak lama yang kebetulan terpancing oleh perilaku Dimas padanya. Tapi dirinya belum tahu masalah apa yang sebenarnya menimpa Boris.

Setelah berdiam sejenak, Damar berlalu dari tempatnya berdiri menghampiri orang-orang yang sedang tersulut emosi itu. Dirinya mendekat berlagak seperti berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi disana. Namun tujuan utamanya adalah untuk berada dipihak Boris karena Ia tahu tidak akan ada yang berani membelanya disana. Bahkan Pak Gugun satpam sekolah yang memihak pada Boris pun hanya terlihat melerai. Wajar saja, karena lawan dari Boris disana adalah Dimas yang pasti mendapat pembelaan penuh dari Bu Atut.

"Ada apa ini Bu?" Tanya Damar polos seolah dirinya tidak tahu apapun.

"Siswa ini membuat onar. Sudah dua kali saya melihat Dimas menjadi sasaran para siswa bermasalah seperti ini." Tangan Bu Atut menunjuk ke arah Boris. "Saya akan beri kamu peringatan!" Wajah Bu Atut terlihat kesal.

"Mungkin sebaiknya jangan dulu mengeluarkan peringatan. Biar saya yang coba berbicara pada anak ini." Ucap Damar menyarankan sambil merangkul Boris.

"Orang kaya dia gausah dikasih kelonggaran Bu. Dia udah nyerang saya sampe ngerusak HP saya." Ucap Dimas berusaha memprovokasi sambil menunjukan layar ponselnya yang pecah.

Damar mengencangkan rangkulannya pada Boris berusaha menenangkannya setelah melihat Boris yang mulai tersulut kembali emosinya. Damar merasakan degup jantung muridnya itu semakin keras memompa juga nafasnya yang agak terisak menahan tangis. Damar mulai merasa curiga, mengapa muridnya sampai merusak barang milik orang lain seperti itu. Ia yakin ada sesuatu hal besar yang membuat Boris sampai bertindak demikian.

"Sekarang sudah semakin sore. Sebaiknya kita selesaikan masalah ini besok." Ucap Damar.

"Saya minta Pak Damar beri dia pemahaman agar tidak membuat kegaduhan seperti itu." Ucap Bu Atut pada Damar. "Dan masalah ponsel Dimas yang rusak biar kita selesaikan besok." Nada bicara Bu Atut masih terdengar kesal.

Damar merangkul Boris menggiringnya berjalan untuk pergi dari tempat itu. Damar pun melihat Bu Atut menaiki mobilnya lalu pergi keluar dari area sekolah. Dimas yang masih terlihat kesal pergi mengambil sepeda motornya lalu pulang. Di area Sekolah sekaranh hanya menyisakan Damar beserta para murid asuhannya dan juga Pak Gugun yang menjaga sekolah.

Damar berjalan bersama para muridnya itu ke arah Sanggar. Semuanya terdiam, tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Terutama Boris yang berjalan tertunduk dan masih memendam berbagai emosi dalam dirinya. Pertanyaan besar terus menghantui pikiran Damar. Apa masalah yang sebenarnya menimpa muridnya yamg satu ini.

Tak lama, sampailah mereka ke Sanggar. Boris langsung duduk menyendiri dengan kepala yang tertunduk. Nafasnya mulai berubah menjadi sesenggukan. Air matanya satu persatu mulai menetes jatuh ke lantai. Di sekitarnya, Tiara, Intan dan Albertus sudah menunggu sedari tadi untuk tahu tentang apa yang terjadi. Bukan hanya mereka, bahkan Damar dan Andhika yang melihat langsung ke depan sekolah pun belum tau masalah sebenarnya. Hanya Bima yang sepertinya mengetahui masalah apa yang menimpa Boris.

Rasa penasaran yang ada di setiap orang yang ada disana perlahan memudar tergantikan oleh perasaan kasihan pada Boris yang terduduk meneteskan air mata sendirian. Mereka seakan tidak percaya melihat seorang siswa paling ceria dan selalu menghibur kini tertunduk lesu. Sosok komedian yang mereka miliki ternyata menyimpan kesedihan yang besar. Wajah ceria yang selalu Ia tunjukan untuk menghibur teman-temannya ternyata menutupi kesedihannya yang dalam.

Lihat selengkapnya