"Gawat! Boris!" Bima datang terburu-buru, napasnya terengah-engah, jelas menunjukkan betapa mendesaknya situasi yang baru saja terjadi. Matanya lebar dengan kekhawatiran yang jelas terlihat, dan wajahnya pucat seolah khawatir akan sesuatu yang lebih besar dari sekadar keributan biasa.
"Kamu tenang dulu. Boris kenapa?" Damar menjawab dengan wajah yang menahan panik, tatapannya tajam menuju Bima, mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia bisa merasakan gelagat buruk dalam nada suara Bima.
"Boris berantem di depan sekolah sama Dimas." Ujar Bima, mencoba mengatur napasnya yang terengah. "Itu... itu udah kacau banget, Pak. Mereka benar-benar bertengkar habis-habisan."
"Dimas bangsat!" Andhika bangkit dengan wajah kesal saat mendengar nama Dimas, seolah satu-satunya orang yang bisa mengacaukan suasana sekolah. Dengan langkah cepat, Andhika bergegas untuk keluar dari Sanggar, emosinya mulai meluap begitu saja.
Andhika setengah berlari, meninggalkan Sanggar dengan penuh amarah. Hatinya tidak bisa menahan kekesalannya saat mendengar nama Dimas. Bisa-bisanya setiap kali keributan terjadi, pasti ada nama Dimas yang ikut terlibat. Bukan hanya itu, emosinya semakin meluap karena dia tahu bahwa Dimas akan dengan mudah lolos tanpa konsekuensi di mata Bu Atut dan guru lainnya. Padahal, Andhika merasa sangat yakin bahwa sumber dari setiap keributan selalu berasal dari orang itu, Dimas, yang sering dianggap tidak bersalah, meskipun ia sering kali yang memulai semuanya.
Melihat Andhika yang pergi buru-buru dengan emosi yang meluap, Damar pun langsung bergegas mengejarnya. Di belakangnya, Bima ikut mengikuti dengan langkah cepat. Damar merasa cemas dengan emosi Andhika yang tak terkontrol. Dia tak ingin muridnya terjerumus lebih dalam dalam masalah yang lebih besar. Apalagi dengan reputasi Andhika yang sudah sangat buruk di mata Bu Atut dan sebagian besar guru lainnya. Damar tahu jika Andhika terlibat dalam perkelahian lagi, itu bisa menjadi bencana besar baginya.
Albertus yang sejak tadi hanya diam, merasa tidak tenang melihat Andhika berlari dengan emosi yang semakin membuncah. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa Bima begitu panik saat datang ke Sanggar. Namun, saat Albertus hendak ikut keluar, langkahnya terhenti oleh hadangan Tiara yang tiba-tiba menutup pintu Sanggar dan menghalanginya.
Albertus terkejut dan bingung mengapa Tiara malah menghadangnya. Matanya menatap Intan yang duduk dengan tenang, seakan tidak peduli dengan situasi yang baru saja terjadi. Albertus merasa ada yang aneh, kenapa kedua wanita itu terlihat begitu tenang sementara sahabat mereka dalam masalah besar?
"Kalo kita semua pergi kesana bakal nimbulin kecurigaan," ucap Tiara dengan nada yang serius, matanya tajam menatap Albertus.
"Maksudnya Kak?" Tanya Albertus bingung, masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Tiara.
"Yang jadi masalah, kalau ternyata di sana masih banyak guru-guru, terus ngeliat-liat anak baru yang pernah bermasalah sama Dimas dan partner olimpiadenya Dimas masih ada di sekolah jam segini, mereka bisa curiga nantinya," jelas Intan dengan tatapan serius pada Albertus. "Paham?" tegurnya dengan nada sedikit tegas.
Albertus menatap Intan dan Tiara dengan mata yang lebih tajam. Sepertinya, mereka berdua sudah memikirkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika mereka semua terlibat langsung dalam perkelahian itu. Ia mulai mengerti, dan saat itu juga, perasaan cemas mulai menyelimuti pikirannya.
"Kita tunggu aja kabarnya," Tiara menambahkan, suaranya lebih lembut namun penuh pengertian.
Sementara itu, di luar, Andhika sudah sampai di depan sekolah, dan ia melihat Pak Gugun, satpam sekolah, sedang memegangi Boris yang tampak sangat emosi. Boris berdiri di sana, wajahnya penuh dengan kekesalan, dan matanya terlihat berlinang air mata. Dia tampak seperti sedang menahan sesuatu yang besar di dalam hatinya. Di depan Boris, Dimas berdiri agak jauh, dengan ekspresi penuh amarah. Di antara mereka, terlihat Bu Atut yang juga memperlihatkan ekspresi kekesalan yang mendalam. Semua mata tertuju pada situasi yang memanas.
Damar dan Bima datang dan langsung berdiri di samping Andhika. Damar melirik ke arah Boris yang tampaknya semakin marah. "Masalah utama di sini bukan perkelahian. Ini lebih besar," kata Damar, sambil terus menatap Boris dengan tatapan serius.
"Pak Damar benar," Bima menambahkan dengan suara yang penuh keprihatinan.
Andhika mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Damar dan Bima. Ia sadar bahwa Boris tidak mungkin menangis seperti itu hanya karena perkelahian kecil. Ada masalah lebih besar yang sudah lama menggerogoti Boris, dan perkelahian itu hanyalah luapan emosional yang tidak tertahankan lagi. Boris pasti merasa terpojokkan, dan saat ini, Dimas hanya menjadi pemicu terakhir dari semua kekesalan yang sudah lama terpendam. Namun, Andhika belum tahu apa masalah yang sebenarnya menimpa Boris.
Setelah beberapa saat berdiam diri, Damar akhirnya melangkah maju dan mendekat ke kerumunan orang yang sedang tersulut emosinya itu. Ia tampak berlagak seperti ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tujuan utama Damar adalah untuk mendekati Boris, karena ia tahu tidak ada yang akan berani membela Boris di sana. Bahkan Pak Gugun, yang memihak Boris, hanya terlihat berusaha melerai keributan dengan pasrah. Wajar saja, karena lawan dari Boris di sana adalah Dimas, yang selalu mendapat pembelaan penuh dari Bu Atut.
"Ada apa ini, Bu?" tanya Damar dengan nada polos, berusaha memberi kesan bahwa ia tidak tahu apapun tentang apa yang terjadi.
"Siswa ini membuat onar. Sudah dua kali saya melihat Dimas menjadi sasaran para siswa bermasalah seperti ini," jawab Bu Atut dengan nada kesal, tangan menunjuk ke arah Boris. "Saya akan beri kamu peringatan!" wajah Bu Atut terlihat sangat marah.
"Mungkin sebaiknya jangan dulu mengeluarkan peringatan. Biar saya yang coba berbicara pada anak ini," Damar menyarankan dengan nada lembut, sambil merangkul Boris agar ia merasa lebih tenang.
"Orang kaya seperti dia nggak usah dikasih kelonggaran, Bu! Dia udah nyerang saya sampai ngerusak HP saya!" Dimas memprovokasi, sambil menunjukkan layar ponselnya yang pecah.
Damar mengencangkan rangkulannya pada Boris, mencoba menenangkan muridnya yang mulai tersulut emosinya. Ia bisa merasakan degup jantung Boris yang semakin keras, napasnya yang semakin sesak, seakan menahan tangis. Damar mulai merasa curiga. Ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi, yang membuat Boris bertindak seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada muridnya ini?
"Sekarang sudah semakin sore. Sebaiknya kita selesaikan masalah ini besok," kata Damar dengan suara tenang, mencoba mengurangi ketegangan yang semakin memuncak.
"Saya minta Pak Damar beri dia pemahaman agar tidak membuat kegaduhan seperti itu," Bu Atut berbicara dengan nada tajam, tampaknya masih sangat kesal. "Dan masalah ponsel Dimas yang rusak biar kita selesaikan besok."
Damar merangkul Boris dan mulai menggiringnya untuk pergi dari tempat keributan itu. Ia melihat Bu Atut menaiki mobilnya dan pergi, sementara Dimas, yang masih kesal, segera mengambil sepeda motornya dan pulang. Sekolah kini sepi, hanya tersisa Damar, murid-muridnya, dan Pak Gugun yang menjaga sekolah.
Damar berjalan bersama para muridnya menuju Sanggar. Selama perjalanan, suasana sangat hening. Tak ada yang berbicara. Boris hanya berjalan dengan wajah tertunduk, masih terbungkus dalam rasa kecewa dan amarah yang besar. Damar merasakan ada sesuatu yang sangat berat yang ditanggung oleh muridnya ini. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Boris?
Akhirnya, mereka sampai di Sanggar. Boris langsung duduk di pojok ruangan, dengan kepala tertunduk. Nafasnya semakin sesak, dan tak lama kemudian, air matanya mulai menetes. Di sekitar mereka, Tiara, Intan, dan Albertus sudah menunggu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bima tampaknya tahu lebih banyak dari yang lainnya, namun ia tidak mengatakan apa-apa.
Melihat Boris yang begitu kesakitan, semua yang ada di ruangan itu merasa perasaan mereka ikut terluka. Mereka tahu bahwa Boris, yang selalu ceria dan menjadi penghibur teman-temannya, kini merasa sangat hancur. Wajah ceria yang selama ini ia tampilkan hanya untuk menyembunyikan kesedihannya yang mendalam. Boris adalah seseorang yang sangat peduli dengan teman-temannya, namun kini dia sendiri yang membutuhkan bantuan mereka.