Sekitar dua tahun lalu, Andhika baru saja masuk sebagai siswa baru di SMA Karya. Ia berhasil masuk melalui jalur prestasi atas prestasi dalam bidang basket yang didapatnya yang langsung membuatnya terdaftar dalam tim basket sekolah. Bukan hanya itu, diawal menajdi siswa disana, dirinya langsung mendapat kepercayaan untuk ikut serta pada kompetisi basket antar SMA tingkat kota. Bukan tanpa alasan, Andhika sudah sering ikut berlatih bersama anggota tim basket SMA Karya bahkan sebelum dirinya mencapai tingkat SMA. Sebuah kebanggaan yang dirasakan Andhika juga kehormatan bisa langsung menjadi bagian dari tim sekolahnya.
"Andhika! Kamu masuk ganti nomor 7." Seru pelatih pada Andhika yang duduk di bangku cadangan.
"Siap!" Andhika berdiri lalu bersiap di pinggir lapangan untuk bermain.
Riuh suara penonton memenuhi seluruh penjuru gelanggang olahraga tempat kompetisi basket diselenggarakan. Tribun penonton dipenuhi penonton yang didominasi oleh para siswa yang mendukung sekolahnya, namun ada juga penonton yang datang bukan dari kalangan siswa. Suara gemuruh dari tabuhan drum di sertai sorak-sorai dari penonton mengiringi poin demi poin yang tercipta partai final kompetisi basket bergengsi itu.
Siswa SMA Karya cukup banyak yang hadir memenuhi tribun penonton saat itu. Wajar saja karena ini adalah final pertama yang didapatkan oleh tim basket sekolah mereka dikompetisi ini dan juga ada diakhir pekan. Pihak SMA Karya sangat ketat dalam memberi izin siswanya untuk dispensasi dalam kejuaraan olahraga seperti ini apalagi jika hanya untuk menonton pertandingan. Bukan tanpa alasan, Bu Atut yang saat itu baru saja menjabat menjadi kepala sekolah disana tidak menyukai para siswa yang aktif dalam bidang olahraga ataupun seni. Menurutnya, para siswa yang aktif pada ekstarkulikuler tersebut hanyalah berisi siswa yang kurang dalam pelajarannya di kelas. Malah sering kali tersebar berita jika para siwa terlibat perkelahian antar sekolah akibat tidak terima saat timnya kalah.
Papan skor menunjukan angka 60 - 61, SMA Karya tertinggal satu poin dari lawannya dan waktu hanya tersisa 24 detik di kuarter ke empat itu. Suporter SMA Karya sejenak terdiam karena ketertinggalan poin dan juga disisa waktu yang sedikit itu tim mereka malah sedang dalam keadaan tertekan karena serangan dari tim lawan. Situasi yang sangat menegangkan bagi tim SMA Karya di final pertamanya itu.
Andhika yang saat itu sedang bertahan melihat kesempatan untuk melakukan blok saat lawannya berusaha melakukan shoot. Ia melompat dan berhasil menepis bola hingga terlempar ke arah rekan satu timnya. Andhika tidak hanya diam, Ia berlari untuk membuka ruang dan melakukan serangan balik. Rekan satu tim nya melihat pergerakan itu lalu melemparkan bola jauh pada Andhika yang sedang berlari dan diterima dengan baik olehnya. Namun waktu terus berjalan, Andhika malah diam setelah mendapatkan bola karena Ia sadar kecepatan larinya pun tidak akan bisa mengalahkan waktu yang terus berjalan. Seketika kedua matanya menatap ring yang masih sangat jauh itu, lalu melemparkan bola sekuat tenaga. Suara penoton hening seketika begitupula tubuh Andhika yang diam walau jantungnya terus berdegup kencang saat bola yang dilemparkannya mengudara. Waktu serasa melambat saat semua mata tertuju pada arah bola yang terus mendekati ring. Bola itu masuk dengan mulus kedalam ring bersamaan dengan suara bel yang menandakan waktu pertandingan usai.
Andhika hanya diam terpaku seakan tidak percaya saat sebuah peluang yang hampir tidak mungkin namun bisa Ia manfaatkan dengan baik. Tubuhnya masih terdiam namun matanya melirik ke arah papan skor yang menunjukan angka 63 - 61 untuk kemenangan SMA Karya. Sebuah tembakan keberuntungan berhasil menyelamatkan timnya dari kekalahan dipartai final.
"JUARA!!" Teriak Andhika dengan penuh semangat sambil merentangkan kedua tangannya.
Suara penonton yang hening seketika berubah menjadi riuh. Anggota tim basket SMA Karya berlarian menghampiri Andhika lalu mengangkatnya dan merayakan kemenangan bersamanya. Sorak-sorai penonton terdengar menyerukan nama Andhika yang menjadi pahlawan tak terduga bagi sekolah di hari itu. Sebuah kebahagiaan yang dirasakan karena berhasil menyumbangkan piala pertama bagi sekolah barunya.
Namun kemenangan itu tidak disambut serupa oleh tim yang kalah. Salah satu pemain tim lawan berlari ke arah Andhika lalu mendaratkan pukulan di wajahnya. Pemain itu menganggap selebrasi yang dilakukan oleh SMA Karya terutama Andhika yang berteriak setelah mencetak angka adalah sebuah provokasi. Karena kejadian itu, kericuhan pun tidak terbendung. Saat para pemain sedang bersitegang, beberapa penonton menyelinap masuk ke area lapangan lalu ikut menambah besar kericuhan yang terjadi.
Panitia berhamburan ke area lapangan berusaha untuk memisahkan para manusia yang sedang tersulut emosinya. Walaupun, rasanya sudah tidak mungkin jumlah panitia dapat melerai perkelahian yang lebih seperti tawuran itu. Beberapa anggota kepolisian yang berjaga disana masuk ke kerumunan berbekal tongkat besi lalu menarik beberapa orang yang dianggap sebagai provokator termasuk Andhika. Hal itu membuat kericuhan mulai mereda, siswa yang terlibat keributan berlarian meninggalkan gelanggang.
"Kami sedang melakukan selebrasi, tapi salah satu dari mereka menghampiri kami dan memulai keributan." Ucap Andhika menjelaskan dengan wajah yang mulai membiru dan darah sedikit keluar dari bibir bawahnya.
"Itu bukan selebrasi, itu provokasi!" Ucap seorang pemain yang memukul Andhika di lapangan.
"Semuanya salah, saya akan buat laporan pada pihak sekolah terkait kejadian ini." Ucap seorang anggota polisi yang menangkap Andhika.
"Tapi Pak! Disini saya korban." Andhika mencoba membela diri.
"Jangan mengaku jadi korban, kalian semua ini pelaku." Polisi itu menatap mata Andhika tajam. "Saya sudah sering melihat kejadian seperti ini." Lanjutnya.
***
"Kompetisi Basket Antar SMA Berujung Ricuh. Suporter dan Pemain Saling Serang."
Begitulah tulisan tajuk utama pada sebuah surat kabar yang sedang dibacakan oleh Bu Atut di upacara bendera pada hari senin setelah kejadian keributan itu. Andhika dan seluruh anggota tim basket SMA Karya berdiri terpisah dari barisan siswa lainnya. Wajah Bu Atut terlihat sangat kesal terhadap berita memalukan yang tersebar dan mencoreng nama SMA Karya.
"Berita kericuhan menjadi tajuk utama surat kabar ternama dan membawa nama SMA Karya. Saya harus bangga? Atau kecewa?" Bu Atut tegas berbicara di depan barisan para siswa. "Ini alasan saya tidak setuju dengan ekstrakulikuler. Karena kejadian ini, saya akan menutup semua ekstrakulikuler kecuali klub matematika, sains dan komputer." Tambahnya.
"Ibu ga bisa seenaknya gitu dong!" Andhika berbicara dengan keras sambil maju keluar dari barisanya. "Kami sudah berhasil membawa piala untuk sekolah tapi Ibu malah menutup ekstrakulikuler? Ini ga adil! Lagi pula, keributan itu bukan kami yang buat, tapi sekolah lawan." Wajah Andhika kesal dengan tatapan tajam pada Bu Atut.
"Untuk apa piala jika nama sekolah jadi tercoreng? Sudah sering saya mendengar masalah dari siswa seperti kalian. Kalian bersekolah untuk berprestasi, bukan membuat malu nama sekolah." Ucap geram Bu Atut.