"Sudah saatnya rencana dimulai." Wajah Damar tampak begitu serius, dengan tatapan penuh tekad.
"Rencana? Rencana apa?" Albertus semakin penasaran, matanya tak lepas dari Damar, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Tapi ini sudah terlalu sore, kita lanjut besok," kata Damar sambil mengambil tasnya dan berdiri dari tempat duduknya.
Wajah Albertus berubah kecewa mendengar ucapan Damar. Ia menatap teman-temannya, yang malah tertawa melihat Albertus yang dibiarkan penasaran sendirian. Albertus merasa semua orang di sana sudah mengetahui rencana yang dimaksud oleh Damar. Ia menyadari ada sesuatu yang besar yang sedang mereka rencanakan, namun ia belum tahu apa itu. Dalam benaknya semakin menyimpan tanya, apa sebenarnya yang sedang direncanakan oleh Damar dan kawan-kawannya.
"Kayaknya ada yang udah penasaran nih," ejek Bima sambil melirik ke arah Albertus, kemudian merangkulnya dengan cara yang santai.
Mereka semua keluar dari Sanggar dan berjalan terpisah untuk pulang. Albertus, yang hari itu tidak membawa sepedanya, pulang bersama dengan Bima dan Boris. Boris mengajaknya karena kebetulan arah pulang mereka sama, dan Bima memang membawa mobil ke sekolah. Selama perjalanan, Albertus terus memikirkan rencana apa yang sebenarnya dimaksud oleh mereka di Sanggar tadi. Kebingungannya itu ternyata dilihat oleh Boris dan Bima.
"Keliatannya lo kepikiran soal rencana Pak Damar," ucap Bima, yang sedang menyetir dan melihat Albertus yang duduk di kursi belakang lewat kaca spion.
"Kalau aku boleh tanya, memangnya itu rencana apa?" tanya Albertus dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kalau itu harus Pak Damar yang kasih tau," jawab Boris, menoleh ke arah Albertus dari kursi penumpang di depan. "Sekarang mending kita sedikit cerita. Kau mau tahu gimana kita bisa diajak bergabung oleh Pak Damar?" tambahnya, dengan nada yang penuh misteri.
"Boleh, aku mau tahu!" Albertus menjawab antusias, matanya berbinar ingin mendengar cerita lebih lanjut.
Boris mulai membuka kisahnya.
***
Kurang lebih satu tahun yang lalu, Boris dan Bima pertama kali menjadi murid SMA Karya. Mereka sudah berteman sejak kecil, sejak sekolah dasar mereka selalu berada di sekolah yang sama. Hal itu bukanlah sebuah kebetulan; sejak dulu, Boris selalu ingin berada di satu sekolah dengan Bima karena hanya Bima lah teman yang tahu tentang masalah dalam keluarganya. Bahkan, sejak sekolah menengah pertama, Boris sudah sering tinggal di rumah Bima lebih lama daripada di rumahnya sendiri. Orang tua Bima pun sudah mengerti keadaan Boris hingga selalu mengizinkannya untuk tinggal di rumah mereka. Boris bahkan sudah menganggap orang tua Bima sebagai orang tuanya sendiri.
Awalnya, orang tua Bima heran mengapa anak itu begitu sering menginap di rumah mereka, bahkan sampai berminggu-minggu. Yang lebih membuat mereka aneh adalah, bagaimana mungkin anak seusia Boris bisa mendapat izin untuk menginap selama itu tanpa ada yang mencari atau mengkhawatirkannya? Bima pun menjelaskan kepada orang tuanya bahwa kondisi keluarga Boris tidak baik-baik saja, dan meminta izin agar temannya itu bisa tinggal bersamanya. Orang tua Bima pun merasa iba sekaligus marah. Bisa-bisanya seorang anak kecil seusia Boris yang baru saja beranjak remaja, punya masalah sebesar itu. Perasaan itu membuat mereka menerima Boris dengan tangan terbuka, bahkan memperlakukannya seperti anggota keluarga mereka sendiri.
Selama tinggal di rumah Bima, Boris terbilang sangat rajin. Ia selalu membantu setiap pekerjaan rumah, dari mulai bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, hingga terkadang memasak untuk seluruh anggota keluarga. Padahal orang tua Bima sering kali melarang Boris melakukan pekerjaan rumah itu, mengingat dia hanyalah seorang tamu. Namun, semua yang dilakukan Boris semata-mata adalah caranya berterima kasih atas perlakuan baik semua anggota keluarga Bima padanya.
Boris terbilang anak yang pintar. Berbeda dengan Bima, yang agak kurang dalam pelajaran, Boris selalu membantu Bima belajar, meskipun ia tahu Bima lebih senang membaca buku tentang sulap dan mempelajarinya daripada mempelajari buku pelajaran sekolah. Terkadang Boris kesal melihat kebiasaan Bima itu, namun setidaknya ia tahu, temannya itu tetap belajar walaupun lebih tertarik pada hobi sulapnya daripada pelajaran sekolah.
Selain selalu berada di sekolah yang sama, mereka pun selalu menjadi teman sekelas dan duduk bersama. Karena Boris tahu temannya itu kurang dalam pelajaran, maka setiap ujian ia selalu membantu Bima dengan memberikan jawaban padanya. Meskipun terkadang ia merasa takut aksi mereka akan ketahuan oleh guru yang mengawasi, Boris tetap melakukannya. Setidaknya, hanya itu cara untuk membalas jasa sahabatnya yang selalu berbuat baik padanya.
Namun, saat mereka memasuki bangku sekolah menengah atas, keadaan sedikit berbeda yang mengharuskan mereka berdua tidak berada di kelas yang sama lagi. Awalnya, hal itu tidak terasa sebagai masalah besar, hingga ujian semester tiba. Bima yang sejak dulu selalu mendapat bantuan dari Boris saat mengerjakan ujian, sekarang harus berusaha dengan kemampuan sendiri.
"Sial! Gara-gara kita beda kelas, sekarang gue nggak bisa minta jawaban lagi pas ujian!" Bima terlihat kesal.
"Mau gimana lagi. Sekarang kau belajar lah!" Seru Boris memerintahkan Bima untuk belajar.
Namun, Bima tidak pernah kehabisan akal. Bukannya berpikir untuk belajar, ia malah menemukan cara lain. Selain meminta temannya mengajarinya tentang pelajaran sekolah, ia juga meminta temannya untuk menuliskan materi yang mungkin akan keluar dalam ujian, namun secara singkat dan di dalam kertas yang kecil.
"Maksud kau contekan?" Tanya Boris dengan nada khas Bataknya yang terdengar khas.