Sepasang mata terbuka, menatap sinar matahari yang menyelinap di antara tirai. Damar baru saja terbangun dari tidurnya, diiringi suara alarm berdering yang terdengar di seisi kamar tidur yang cukup berantakan itu. Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Hari ini Damar bangun lebih pagi dari biasanya.
Tidak seperti pagi hari yang biasa dijalaninya, hari ini ia tidak langsung membuka tirai karena memang di luar masih gelap. Namun, kebiasaannya untuk langsung mengambil air minum dan berdiri sejenak untuk menatap lukisan yang tergantung di dinding masih tetap sama. Bedanya, hari ini tatapannya adalah tatapan keyakinan, seolah memberi pesan pada semua lukisan ciptaannya bahwa petualangan tentang mimpi-mimpi besar akan dimulai hari ini.
Satu per satu buku dan alat peraga untuk mengajar ia masukkan ke dalam tas tanpa terlewat. Bedanya hari ini, Damar membawa sebuah tabung gambar yang biasa dipakai seorang arsitek untuk membawa gambar rancangan bangunan. Di dalamnya ada sebuah rencana yang sudah dipersiapkannya sejak lama, rencana yang dibuatnya bersama Andhika dan Tiara, murid pertamanya di Sanggar itu.
Terlalu sibuk mempersiapkan segala hal yang akan dibawanya, membuatnya lupa waktu. Tak terasa, ia sudah menghabiskan hampir satu jam hanya untuk itu semua. Dengan tergesa, Damar mengambil handuk lalu bergegas mempersiapkan dirinya.
Pagi ini, ia berangkat jauh lebih pagi dari biasanya. Tujuannya adalah agar dirinya bisa mempersiapkan segala hal terlebih dahulu di Sanggar sebelum presentasi tentang rencana besarnya nanti sore dimulai. Jika ia terlambat, guru lain mungkin akan curiga melihat barang bawaan Damar yang lebih banyak dari biasanya. Ia tak mau jika hal itu sampai terjadi. Lagi pula, rencana persiapan ini pun sudah dipikirkannya dengan matang.
Seperti biasa, Damar pergi menggunakan sepedanya. Sebetulnya ia memiliki kendaraan bermotor di rumahnya. Namun, menurutnya hanya akan sia-sia menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Lagi pula, sepeda yang selalu digunakannya adalah pemberian sang ibu saat Damar masih menempuh pendidikan. Memang bukan sepeda yang mewah dan mahal, tetapi bagi Damar, sepedanya memiliki sesuatu yang spesial dan tidak akan ditemukan di sepeda lain. Yaitu nilai perjuangan seorang ibu yang membesarkannya sendirian, juga rasa kasih sayang seorang ibu pada anaknya.
Walaupun dahulu mimpi Damar menjadi seorang pelukis terhalang oleh permintaan sang ibu, namun hal itu tak pernah membuatnya kecewa, karena ibunya memang tidak pernah melarang mimpi Damar itu. Semua itu karena kesadaran Damar bahwa bagi keluarga yang kurang mampu seperti mereka saat dulu, menjadi pelukis bukanlah jalan untuk menjadi manusia. Sekarang, tujuannya adalah membuat mimpi anak-anak di luar sana tidak harus berakhir seperti dirinya dulu.
Lamunannya terpecah oleh sapaan dari Pak Gugun, satpam sekolah yang saat itu berjaga. "Tumben pagi banget, Pak!" sapa Pak Gugun dengan suara ramah.
"Saya sedang bersemangat. Ini hari penting, Pak!" jawab Damar seraya tersenyum, namun tanpa menghentikan sepedanya.
Pak Gugun balas tersenyum, seolah memahami maksud perkataan Damar yang sangat bersemangat itu. Damar dan Pak Gugun memang terbilang punya hubungan yang akrab. Itu sebabnya, Pak Gugun setiap pagi selalu setia membukakan gerbang sekolah saat Damar sengaja terlambat demi menunggu muridnya yang terlambat. Pak Gugun tersadar sesuatu.
"Pak Damar!" Pak Gugun berteriak memanggil, namun Damar sudah cukup jauh.
Damar memarkirkan sepedanya di tempat yang biasa. Bedanya, hari ini hanya ada sepedanya di sana, dan tak ada kendaraan lain. Dirinya langsung bergegas berjalan agak cepat menuju Sanggar. Berkali-kali Damar melirik ke arah jam tangannya untuk memastikan masih ada waktu untuknya sebelum guru dan siswa mulai berdatangan. Ia agak menyesal karena kegiatannya tadi pagi menyita terlalu banyak waktunya. Sekarang, dirinya jadi terburu-buru karena ulahnya sendiri.
Damar sampai di Sanggar itu dengan napas terengah-engah. Seketika ia tersadar kalau dirinya lupa meminta kunci Sanggar ke Pak Gugun. Bisa-bisanya, akibat terlalu terburu-buru, ia bisa melupakan hal kecil seperti itu. Damar berbalik arah untuk kembali mengambil kunci ke Pak Gugun yang tadi ditemuinya di depan sekolah.
"Pak! Cepat banget jalannya saya sampai kecapekan. Pak Damar lupa ambil kunci." Tangan Pak Gugun mengasongkan kunci pada Damar, seraya mencoba mengatur napas.
"Waduh, terimakasih banyak, Pak. Saya yang kelupaan." jawab Pak Damar seraya tertawa canggung.
"Saya tadi manggil-manggil, tapi nggak kedengeran kayaknya," tawa ramah keluar dari mulut satpam itu. "Yasudah, saya izin kembali ke pos. Sebentar lagi murid dan guru mulai berdatangan," tambahnya sambil berjalan kembali.
Ada perasaan tidak enak dalam diri Damar karena keteledorannya yang sampai merepotkan orang lain. Bisa-bisanya, suara panggilan Pak Gugun padanya bisa sampai tak terdengar, padahal suasana sekolah masih sangat sepi. Untungnya, Pak Gugun mengerti tujuannya, jadi setidaknya tak harus mengulur lebih banyak waktu untuk kembali ke depan sekolah mengambil kunci.
Damar bergegas membuka pintu Sanggar lalu masuk dan membuka tabung yang sedari tadi dibawanya. Ia mengeluarkan selembar kertas berukuran besar dari dalam tabung itu. Dengan cekatan, Damar membentangkan kertas itu di papan tulis yang berada di sana, lalu merekatkan setiap ujungnya dengan selotip. Setelah selesai, Damar mengambil kain hitam besar yang tersimpan rapi di sudut ruangan, lalu menutupkannya pada papan tulis hingga tertutup tanpa celah. Setelah dirasa semuanya selesai, Damar pun keluar dari sana dan berjalan kembali ke Ruang Guru. Keteledorannya belum berakhir, hampir saja kunci Sanggar itu tertinggal masih menggantung di lubang kunci pada pintu.
Damar berjalan sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Untung saja pagi itu udaranya dingin. Jika tidak, mungkin tubuh Damar sudah bercucuran keringat. Bukan tanpa sebab Damar terburu-buru, ia hanya tidak ingin menimbulkan kecurigaan dari orang lain jika melihatnya, terutama guru. Pasalnya, Damar dikenal selalu terlambat datang ke sekolah. Jika guru lain melihatnya datang sepagi itu, akan ada kecurigaan padanya.
Suasana sekolah saat itu sudah tak sesepi saat ia datang tadi pagi. Beberapa siswa satu per satu mulai berdatangan, begitu pun guru. Rasa khawatirnya berubah nyata, beberapa murid yang datang paling pagi melihatnya berjalan lalu menyapanya. Bukan masalah pikirnya, lagi pula murid yang menyapanya bersikap biasa saja. Ketakutan utamanya muncul saat ia lanjut berjalan, lalu matanya saling bertatapan dengan Bu Atut yang berada di kejauhan, yang saat itu baru turun dari mobil.
Rasa cemas dalam dirinya meningkat. Otaknya tak bisa berpikir jernih, ia takut Bu Atut mencurigainya. Pasalnya, Bu Atut tahu jika Damar memang setiap hari datang terlambat. Lalu, apa yang akan ada di pikiran Kepala Sekolah itu saat melihatnya di sekolah sepagi itu?