Albertus merasa bahwa setiap orang di sana sudah saling mengerti rencana yang diberikan oleh Damar. Namun dirinya malah dihinggapi rasa ragu setelah mendengar rencana tersebut. Karena bagaimanapun, rencana itu seperti belum sempurna dan masih mungkin menjadi bumerang bagi mereka.
"Tapi apa kabaret ini akan berhasil? Walaupun cerita dalam kabaret ini memang nyata, tapi bisa saja pihak Sekolah bilang kalau ini kisah fiksi." Albertus kelihatan ragu.
"Disinilah rencana besarnya." Senyum tipis terpancar dari wajah Damar. "Kita harus bekerja sama mengumpulkan bukti-bukti untuk dihadirkan di pagelaran."
"Bukti itu dapat berupa foto, video, rekaman suara, ataupun berbentuk dokumen. Nantinya bukti berupa rekaman suara dan video akan dijadikan suara latar kabaret dan video latar belakang di panggung. Bukti berupa foto akan dijadikan lukisan oleh Intan," Tiara dengan cakap menjelaskan.
Albertus terlihat mulai menampakkan raut wajah yakin pada rencana itu. Keraguan dalam dirinya perlahan menghilang. Sekarang, pertanyaan dalam dirinya adalah tentang cara mendapatkan bukti itu. Karena mungkin akan sangat sulit untuk mendapatkan hal itu, apalagi baginya yang masih siswa baru. Dirinya belum terlalu mengetahui seluk beluk sekolahnya itu.
"Sebenarnya kita sudah punya beberapa bukti. Tapi bukti itu belum cukup kuat dan banyak," ucap Tiara.
"Sudah punya bukti? Memangnya apa?" Albertus penasaran akan bukti yang sudah mereka dapatkan.
"Hanya beberapa, belum banyak. Pertama, kita punya rekaman video saat upacara di hari pertama sekolah," ucap Tiara.
Saat pelaksanaan upacara di hari pertama, itu adalah awal dari rencana Damar dimulai. Andhika yang saat itu terlambat datang ke Sekolah adalah bagian dari skenario. Damar sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Bu Atut kepada para siswa terlambat itu. Dan benar saja, Bu Atut langsung mempermalukan mereka dan membandingkan dengan siswa pemenang olimpiade yang ada di depan lapangan upacara.
Dalam rencana itu, Tiara berperan sebagai pengambil bukti. Dari awal upacara berlangsung, dirinya berpura-pura seperti sedang bermasalah dengan perutnya dan harus bolak-balik kamar mandi. Kesempatan untuk tidak berada di barisan upacara itu menjadi kesempatannya untuk merekam video dari lantai dua salah satu gedung kelas yang berhadapan langsung dengan lapangan upacara. Hasilnya, Tiara berhasil mendapatkan bukti tanpa diketahui siapapun. Sebuah bukti penting tentang diskriminasi guru terhadap siswa.
"Bukti kedua itu kasus si anak baru kita." Sambil berbicara, mata Tiara melirik Albertus dengan senyuman terpancar di wajahnya.
"Memangnya itu juga skenario?" ucap Albertus.
"Bukan. Itu tragedi alami yang jadi bukti secara ga sengaja," ucap Andhika sambil merangkul Albertus. "Good job mamba!"
"Pas kejadian itu, gue emang ikut ngambil video setelah Andhika lari ke arah keributan. Tapi yang keren di kejadian itu, kita dapet video dari berbagai sudut secara gratis. Soalnya murid lain juga banyak yang rekam," ujar Tiara.
"Bodonya geng si Dimas itu, mereka upload video yang nunjukin kalau mereka udah nunggu lo lewat buat jadi korban," Andhika menatap Albertus yang ada di sebelahnya.
Dalam kejadian keributan Albertus dan Dimas tempo hari itu, Andhika memang sedang berdua dengan Tiara di kantin. Saat melihat keributan, Andhika memang berlari mendekat dengan tujuan untuk melerai keributan itu. Namun, dirinya malah ikut terbawa oleh keributan yang terjadi. Tiara yang sedari tadi merekam pun malah menjadi khawatir jika hal ini malah berakibat buruk bagi Andhika.
Namun bagi Andhika, kejadian itulah yang menjadi kesempatannya untuk mencari bukti kejanggalan perlakuan sekolah. Saat dipanggil ke Ruangan Bu Atut, ia sudah menyalakan perekam suara terlebih dahulu pada ponselnya. Tujuannya karena ia sudah tahu pasti bahwa Dimas akan lepas dengan mudah dari masalah itu. Ternyata tebakannya benar, setiap percakapan yang terjadi di sana terekam jelas oleh Andhika. Dari mulai percakapan Bu Atut dengan Dimas, hingga perlakuan diskriminatif Bu Atut yang tidak mendengarkan dulu alibi dari Albertus.
"Jadi itu alasan Kak Andhika diam saja saat itu?" tanya Albertus.
"Kalo gue diem emang karena males aja ngelakuin sesuatu yang percuma," jawab Andhika.
"Bukti yang kita miliki sekarang masih sangat sedikit dan belum terlalu kuat untuk menarik simpati dari dunia luar. Dan tugas kita sekarang adalah untuk mencari semua bukti kuat terlebih dulu," ucap Damar.
Damar melepaskan lukisan yang terpasang pada papan tulis itu lalu menyimpannya di atas meja. Ia mengambil sebuah kapur dari atas meja lalu mulai menuliskan sesuatu pada papan tulis yang sudah tidak tertutupi lukisan itu. Damar mulai membuat sebuah mind map pada papan tulis itu. Semua yang ada di sana penasaran dengan apa yang sedang Damar coba beritahukan lagi pada mereka.