Hari itu terasa seperti hari-hari lainnya bagi banyak siswa di SMA Karya. Suasana istirahat yang biasanya dipenuhi dengan obrolan, tawa, dan suara gaduh dari kantin kini terasa berbeda bagi Andhika dan Tiara. Mereka berdua tidak seperti siswa lainnya yang memilih untuk makan atau beristirahat. Sebaliknya, mereka keluar dari kelas dengan terburu-buru, mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas penting yang diberikan oleh Damar. Mereka sudah membuat janji dengan beberapa narasumber yang menjadi saksi dalam peristiwa keributan yang terjadi selama turnamen basket lebih dari dua tahun yang lalu.
Meskipun Andhika dan Tiara sudah tahu dengan pasti apa yang mereka lakukan hari ini, tetap saja rasa gugup dan antisipasi terasa. Mereka perlu mewawancarai teman-teman mereka yang menjadi saksi, mengumpulkan bukti, dan merekam percakapan untuk rencana besar mereka. Seperti yang sudah direncanakan, mereka memutuskan untuk melakukannya di Pos Satpam sekolah karena di sana mereka bisa berbicara dengan tenang tanpa gangguan dari keramaian Kantin.
Andhika dan Tiara berjalan menuju depan sekolah, langkah mereka penuh tekad meskipun dalam hati masing-masing ada sedikit kecemasan. Mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan hari ini adalah bagian dari upaya besar untuk menggugah kesadaran tentang ketidakadilan yang terjadi di SMA Karya, yang sudah lama tidak diungkapkan dengan benar.
Sesampainya di Pos Satpam, Andhika langsung menyadari bahwa mereka datang lebih awal, sesuai dengan perkiraan mereka sebelumnya. Tempat itu memang sepi, dan itulah alasan mengapa mereka memilihnya. Tidak banyak orang yang lewat, dan Andhika yakin mereka akan dapat berbicara dengan tenang tanpa gangguan. Tiara duduk dengan santai di pelataran Pos Satpam, sementara Andhika mengawasi keadaan sekitar, menunggu teman-teman yang akan menjadi narasumber mereka datang.
"Sesuai perkiraan, di sini pasti nggak terlalu rame," ucap Andhika dengan senyum tipis.
"Terus, mana mereka?" Tiara mengajukan pertanyaan dengan sedikit rasa penasaran. Mereka berdua memang sudah menjadwalkan wawancara ini dengan teman-teman mereka sebelumnya, tapi tetap saja, ada rasa ketidakpastian dalam diri Tiara.
"Bentar lagi juga datang. Tunggu aja," jawab Andhika sambil menoleh ke arah jalan.
Mereka berdua duduk dengan tenang, menikmati ketenangan yang ada di sekitar mereka, meskipun Andhika tetap merasa sedikit gelisah. Namun, tak lama setelah itu, dari kejauhan, Andhika melihat seorang siswa berjalan ke arah mereka. Itu adalah salah satu dari narasumber yang telah dijanjikan, dan senyuman mulai mengembang di wajah Andhika saat menyadari bahwa wawancara yang mereka rencanakan akan segera dimulai.
Namun, di luar dugaan, perhatian Andhika dan Tiara tiba-tiba tertuju pada sosok lain yang terlihat berjalan di kejauhan. Itu adalah Dimas. Dia berjalan sendirian, matanya langsung tertuju pada mereka berdua yang duduk di Pos Satpam. Andhika menyadari bahwa Dimas sudah mulai memperhatikan gerak-gerik mereka. Tanpa ragu, dia pun tahu bahwa Dimas mungkin merasa curiga dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Di tengah keramaian yang ada di sekolah, Dimas terlihat berbeda. Dia bukan salah satu siswa yang tampak sedang menikmati waktu istirahat dengan teman-temannya. Alih-alih, dia berjalan sendirian, seolah sedang mengawasi sesuatu yang sedang terjadi di sekitar sekolah. Dimas menatap Andhika dan Tiara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Andhika tak terlalu memperdulikan Dimas dan tetap fokus pada tugas mereka. Tiara juga tak menunjukkan reaksi yang mencurigakan. Mereka sudah tahu bahwa Dimas adalah seseorang yang sering berusaha membuat masalah bagi mereka, namun kali ini, mereka berdua tidak ingin terjebak dalam permainan Dimas yang selalu ingin memprovokasi.
"Kenapa Dimas ada di sini?" Tiara akhirnya mengerutkan kening, menyadari bahwa keberadaan Dimas tak biasa. "Sepertinya dia penasaran dengan kita."
Andhika hanya tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa Dimas pasti punya maksud tersembunyi. "Biarkan saja. Kita tetap lanjut dengan rencana."
Beberapa saat setelah itu, Andhika dan Tiara melihat dua orang pria dan seorang wanita yang berjalan menghampiri mereka. Rasa penasaran di dalam diri Dimas semakin besar. Dia melihat ketiga orang itu berjalan menghampiri Andhika dan Tiara dengan senyuman yang ramah. Mereka bersalaman dan mulai berbicara serius tentang sesuatu yang tidak diketahui Dimas. Namun, Dimas tetap tidak bisa mendekat terlalu jauh, karena dia khawatir akan ketahuan jika terlalu mencolok.
Namun, rasa ingin tahu Dimas tetap menggebu. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam percakapan mereka dari kejauhan. Meskipun posisinya cukup jauh, Dimas masih berusaha menangkap setiap detil dari pembicaraan yang sedang terjadi. Dia berharap bisa mengetahui informasi lebih banyak tentang apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan.
Tiara mengeluarkan ponsel dan mulai merekam percakapan mereka. Dimas langsung bisa menebak bahwa ini adalah kegiatan wawancara yang sedang dilakukan oleh Andhika dan Tiara. Namun, dirinya masih belum bisa mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, karena jaraknya cukup jauh.
"Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting," gumam Dimas pada dirinya sendiri. "Aku harus mendekat."
Namun, Dimas tidak berani terlalu dekat. Dia takut jika dia diketahui sedang mengawasi mereka, dan dia memutuskan untuk menunggu. Saat itulah ide cemerlang muncul dalam benaknya.
Dengan cepat, Dimas berjalan menuju seorang siswa yang kebetulan sedang melintas di dekatnya. "Bro! Bantu gue dong," ujar Dimas dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
Siswa itu berhenti sejenak dan menatap Dimas dengan heran. "Kenapa?" jawab siswa itu dengan nada datar.
"Lo liat mereka disana?" Dimas menunjuk ke arah Andhika dan yang lainnya. "Coba lo lewat kesana terus dengerin sekilas apa yang lagi diomongin mereka," pintanya dengan suara sengaja dibuat rendah agar tidak terdengar oleh orang lain.
Siswa itu terlihat ragu. "Nguping maksud lo? Ogah dah," jawabnya ketus, seraya melangkah pergi.
Dimas merasakan kekesalan mulai merayap dalam dirinya. Ia merasa frustasi karena tidak mendapatkan bantuan dari siswa itu. Tapi Dimas adalah orang yang tidak mudah menyerah. Dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih cerdik. Dengan cepat, Dimas merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu. Ia mendekati siswa itu lagi, kali ini dengan senyuman penuh harapan.
"Cuma lewat doang. Ini imbalannya," ujar Dimas sambil menyodorkan uang tersebut.
Siswa itu terhenti sejenak dan melihat uang yang ada di tangan Dimas. "Cuma segitu?" jawab siswa itu dengan nada meremehkan, tampak tidak tertarik.
Namun Dimas tidak tinggal diam. Dia merogoh saku celananya lagi dan mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu. Meskipun harapannya untuk menemukan uang pecahan yang lebih kecil itu hilang, ia tetap merasa yakin bahwa uang tersebut akan cukup memotivasi siswa itu. Tanpa menunggu, Dimas menyodorkan uang itu ke depan wajah siswa tersebut.
Siswa itu melihat uang itu dengan sedikit ragu, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. "Tunggu disini!" ujarnya sambil bergegas berjalan ke arah Pos Satpam.
Dimas menghela napas panjang. Ia merasa sedikit kesal karena harus mengeluarkan lebih banyak uang dari yang ia inginkan. Namun, tujuan utamanya tercapai, dan ia merasa lebih dekat untuk mengungkapkan apa yang sedang dibicarakan oleh Andhika dan Tiara.
Dengan hati-hati, Dimas terus mengamati dari kejauhan. Dia melihat siswa suruhannya itu berjalan perlahan melewati kelompok yang sedang wawancara di Pos Satpam. Dan benar, mereka tidak menyadari kehadirannya. Dimas merasa puas karena rencananya berjalan lancar.
Tak lama setelah itu, siswa itu kembali menghampiri Dimas. "Yang gue denger cuma turnamen basket sama keributan," ucapnya dengan sedikit kebingungan.